ACARA buka luwur Sunan Kudus tahun ini dipuncaki pada 10 Muharam atau Selasa, 6 Desember 2011, yaitu prosesi mengganti mori pembungkus jirat, nisan, dan cungkup Sunan Kudus. Tanggal 10 Muharam sebenarnya acara pemasangan luwur yang baru, dan buka luwur-nya sendiri sejak beberapa tahun terakhir diadakan tiap 1 Muharam.
Puncak acara tersebut memberi kesan bagi masyarakat bahwa pada tanggal itu merupakan hari wafatnya Sunan Kudus. Kesan itu timbul karena rangkaian acara pelepasan dan pemasangan baru mori pembungkus itu ditandai dengan tahlilan, yang identik dengan acara haul pada umumnya.
Padahal sebenarnya tanggal itu bukan tanggal wafatnya Sunan Kudus karena sampai sekarang belum ada keterangan yang pasti. Kepastian itu baru menyangkut tahun, yaitu wafat tahun 1555. Dengan begitu, prosesi buka luwur sebenarnya acara haul yang dikemas untuk menghindari anggapan bahwa tanggal tersebut merupakan wafatnya Sunan Kudus (Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual, 2006, hal.56-58).
Acara rutin itu sejatinya merupakan pesta rakyat karena merekalah yang aktif menggelar kegiatan itu. Mereka mengumpulkan bahan makanan yang diperlukan, memasak, dan membagikan kepada masyarakat yang hadir. Berbagai keperluan seperti kain mori, kelambu demikian juga sumbangan kerbau, kambing, beras, gula pasir, garam, kelapa dan lain-lainnya, semuanya dari masyarakat. Tidak pernah ada proposal dari panitia karena masyarakat yang berinisiatif menyelenggarakan.
Rangkaian prosesi yang sudah tersusun akan diikuti partisipasi masyarakat tidak saja dari Kudus tapi juga dari daerah lain. Saat prosesi penggantian mori, masyarakat bersukacita dengan adanya pembagian nasi berbungkus daun jati dengan lauk daging kerbau dan kambing. Untuk mendapatkan paket nasi tersebut, masyarakat rela antre berdesakan.
Sunan Kudus sebagai salah satu Walisongo merupakan teladan bagi masyarakat Islam pada umumnya, baik yang berada di Kudus maupun di daerah lainnya. Tradisi buka luwur merupakan suatu penghormatan kepada para wali dan boleh dikatakan merupakan kearifan lokal yang semestinya terus dijaga keberlangsungannya, asal tidak melanggar aturan agama.
Sunan Kudus yang mempunyai lama lain Jaffar Shadiq mempunyai nilai khusus yang perlu diteladani bagi kita semua. Umumnya masyarakat berpendapat bahwa Sunan Kudus adalah putra Raden Usman Haji yang bergelar Sunan Ngudung dari Jipang Panolan, yang terletak di utara kota Blora, meski ada yang berpendapat dia berdarah China, terlahir dengan nama Ja Tik Su (Slamet Muljana, 2005).
Dia adalah salah satu imam atau penghulu dari masjid Kerajaan Demak. Kalus dan Guillot (2008) menyebutnya sebagai kadi, yaitu pemimpin agama tertinggi di suatu kerajaan.
Gus Jigang
Tetapi yang fenomenal adalah penamaan kota Kudus atas perannya karena merupakan satu-satunya kota di Indonesia yang namanya berasal dari Bahasa Arab, yaitu al-Quds, nama lain dari Baitul Muqaddas. Masjidnya sering disebut Masjid Menara (al-Manar) yang dalam prasasti dibangun tahun 956 H (1549 M).
Teladan lainnya dari Sunan Kudus adalah penyebar agama yang sangat memperhatikan kearifan budaya lokal. Masjid Menara yang dibangun Sunan Kudus memiliki bentuk menara yang unik karena mirip candi agama Hindu. Warga Kudus sampai sekarang tidak berani menyakiti sapi, dalam arti tidak akan menyembelih untuk dikonsumsi dagingnya karena konon untuk menghormati warga setempat yang waktu itu mayoritas beragama Hindu dan Buddha.
Salah satu adopsi dari ajaran Buddha terlihat dari adanya padasan (tempat wudu) yang berjumlah delapan, adopsi dari ajaran Asta Sanghika Marga (Delapan Jalan Utama).
Teladan lainnya yang perlu diteliti adalah jiwa kewirausahaan dari warga Kudus, yang termasuk tinggi di Indonesia, apakah itu juga karena pengaruh Sunan Kudus. Misalnya gus jigang, tipologi pemuda ideal Kudus, yang merupakan akronim dari bagus (pekertinya), tekun mengaji, dan ulet berdagang.
Ada pula yang berpendapat gus berasal dari sebutan anak kiai atau panggilan untuk anak muda. Tradisi buka luwur sebagai bentuk kearifan lokal menghormati Sunan Kudus akan lebih bermakna kalau masyarakat bisa menjadi lebih suci (kudus) dalam arti mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. (10)
— Purbayu Budi Santosa, guru besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Undip, bermukim di Kudus
Wacana Suara Merdeka 6 Desember 2011