SEBAGAI anak bangsa, sungguh sulit menerima rangkaian parade penyimpangan dan penyelewengan kekuasaan yang tampil begitu vulgar dalam bentuk lomba mengeruk kekayaan negara. Korupsi demi korupsi terjadi secara berlapis. Belum tuntas penuntutan sebuah kasus perkara korupsi, muncul lagi kasus korupsi yang lain. Negara ini tak ubahnya seperti puding untuk diiris dan dinikmati dalam pesta megakorupsi yang tidak berujung.
Jika korupsi selama ini biasa terjadi pada level elite, baru-baru ini Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan rekening gendut milik PNS yang usia pengabdiannya masih sangat muda. Secara kalkulasi, perbandingan gaji dan usia pengabdiannya, tidak memungkinkan mreka memiliki nilai rekening sebesar itu. Semuanya menjadi mungkin manakala menggunakan jalan pintas: korupsi. Karena itu, korupsi akan terus jadi model bagi upaya percepatan pengerukan keuangan negara untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain.
Maka benar kiranya ketika mantan ketua KPK Busyro Muqoddas menyentil bahwa pejabat publik kita terasuki hedonisme komunal yang mempertontonkan kemegahan dan kemewahan di atas keterbatasan ekonomi rakyat. Hedonisme ini merupakan penyakit birokrasi paling berbahaya sebab merangsang seseorang mengeruk kekayaan untuk melayani nafsu keserakahan yang tidak terbatas. Ukurannya bukan lagi kebutuhan melainkan kesenangan; mobil mewah, fasilitas berlebih, kenyamanan, dan menuntut dilayani.
Merujuk Satjipto Rahardjo (2010), hedonisme mengakumulasi korupsi dalam dua bentuk yang berjalan bersamaan. Pertama; terjadinya korupsi konvensional, berupa pengerukan kekayaan negara secara membabi-buta untuk melayani kesenangan diri. Jenis ini mudah dipahami dan dipantau publik. Kedua; korupsi kekuasaan dengan menempatkan sistem otoritas yang dimiliki bertentangan dengan keinginan rakyat, yaitu penyelewengan kekuasaan, tidak peduli pada rakyat.
Jika jenis pertama hanya berkaitan dengan aset, jenis kedua lebih mengarah pada penggunaan otoritas tidak pada tempatnya. Sistem otoritas ini cenderung menjadi alat negosiasi yang memiliki potensi ekonomi sangat besar. Fakta ini bisa dibaca dalam jual-beli perizinan, kebijakan impor garam saat petani panen garam, atau impor beras saat panen raya gabah. Tindakan atau kebijakan semacam ini merupakan bentuk korupsi kekuasaan yang mengingkari keinginan dan kebutuhan rakyat.
Sesungguhnya, secara formal kita memiliki regulasi yang tegas melarang korupsi. Ada UU mengatur mengenai hal itu sebagaimana tertuang dalam UU Antikorupsi (UU Nomor 31 Tahun1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001). Kita juga memiliki Satgas Pemberantasan Mafia Hukum dan lembaga yang angker yakni KPK. Namun, perangkat hukum dan keangkeran lembaga itu masih kurang efektif mencegah korupsi. Bahkan korupsi kian merajalela sehingga menimbulkan pesimisme terhadap masa depan pemberantasannya.
Alat Legitimasi
Jika hukum hanya dianggap kumpulan pasal demi pasal maka korupsi kekuasaan tidak akan pernah tersentuh oleh tajamnya pisau hukum. Pasalnya UU Antikorupsi hanya menyebut kerugian keuangan negara. Padahal ada kerugian lain dari korupsi kekuasaan, yaitu terjadinya kesengsaraan pada lapis masyarakat karena mereka dikorbankan melalui kebijakan negara atau kebijakan yang dibuat oleh pemangku otoritas negara.
Kelemahan sistem seperti ini, mengutip Nonet Selznick, menyebabkan hukum terisolasi dari kepentingan sosial. Seolah hukum tidak memiliki daya respons terhadap basis dasar kebutuhan masyarakat dan hukum semacam ini tidak dapat dijadikan alat untuk mencapai keadilan substantif. Karena itu, perilaku pejabat yang hedonis, memperjualbelikan kebijakan, atau komersialisasi perizinan, tidak akan pernah tersentuh oleh formula hukum konvensional.
Sebagai upaya penyempurnaan sistem hukum demi terberangusnya korupsi maka Nonet-Selznick menawarkan beberapa formula, yakni keadilan substantif sebagai dasar legitimasi hukum; peraturan sebagai subordinasi keadilan dan kebijakan; pertimbangan hukum harus berorientasi pada tujuan dan kemaslahatan masyarakat; memupuk sistem kewajiban sebagai ganti dari sistem paksa; kekuasaan untuk mendukung vitalitas hukum dalam melayani masyarakat; serta keterbukaan dan akomodasi aspirasi publik untuk menjaga integrasi advokasi hukum dan cita sosial.
Jika prinsip-prinsip ini bisa diterapkan maka korupsi dalam berbagai bentuknya mudah dijinakkan melalui instrumen hukum sehingga hukum benar-benar dapat diandalkan sebagai alat legitimasi bagi kebaikan dan keadilan substantif secara komunal. (10)
– Dr Gunarto SH MHum, Wakil Rektor II Unissula, dosen Magister Ilmu Hukum
Wacana Suara Merdeka 12 Desember 2011
11 Desember 2011
Korupsi yang Tidak Mati-mati
Thank You!