11 Desember 2011

» Home » Opini » Suara Merdeka » Banjir Pati ”Kemarau” Politik

Banjir Pati ”Kemarau” Politik

"Politikus Pati perlu belajar dari Jokowi yang sukses membangun Solo lewat pendekatan kebudayaan dan manajerial berbasis aspirasi rakyat"

MEMASUKI musim hujan kali ini, warga Pati dan sekitarnya mulai gelisah dengan ancaman banjir. Benar saja, Sabtu (3/12), banjir bandang menerjang Kecamatan Sukolilo, Kayen, dan Tambakromo, di kaki Pegunungan Kendeng. Sebanyak 15 rumah hancur, ratusan lainnya terendam lumpur, empat jembatan rusak, dan puluhan ternak hilang. Banjir bandang ini merupakan musibah tahunan di kawasan Pati selatan. Selain di Pati, banjir juga menggenangi kawasan kota dan jalanan protokol di Kudus (SM, 04/12/11).

Namun, tetap saja banjir di Pati menjadi tragik-komik yang terulang tiap tahun. Banjir tersebut merupakan air kiriman dari Pegunungan Kendeng Utara yang mulai gundul akibat penambangan liar. Selama beberapa tahun terakhir, kawasan pegunungan itu memang menjadi lahan kontestasi politik ekonomi. Dari pemerintah, oknum pejabat, pengusaha, hingga warga Kayen-Sukolilo yang menyuarakan aspirasi untuk mempertahankan lahan. Proyek eksploitasi semen sampai saat ini masih mengintai, seolah siap menerkam material di kawasan Kendeng. Padahal, warga sudah jelas-jelas menolak, dengan tujuan mempertahankan kehijauan dan kelestarian alam. Namun tetap saja, politik kepentingan dan kekuasaan bermain: tak ada pabrik semen, perusahan tambang lokal pun jadi.

Dalam beberapa tahun terakhir, pro-kontra pembangunan pabrik semen di kawasan Kendeng tak pernah surut. Warga Sukolilo-Kayen masih menyuarakan aksi penolakan terhadap rencana itu. Namun kekuasaan punya logika sendiri, oknum pejabat yang hanya ingin mengeruk keuntungan instan berupaya dengan segala cara: memeras keringat rakyat, permainan izin tambang, hingga jadi calo politik. Inilah musim ”kemarau politik” di Pati.

Sungguh, susah saya menemukan birokrat negarawan di Pati. Secara kasat mata, kenduri politik di Pati yang diulang-ulang memang memberikan gizi jangka pendek bagi pegawai pilkada, pamong desa, hingga relawan yang bergiat di posko politik. Namun jika dihitung jangka panjang, yang ada hanya kegelisahan.

Aspirasi Masyarakat

Banjir di kawasan Kayen-Sukolilo merupakan penanda di tengah kemarau politik di Pati. Pegunungan Kendeng dirusak sejak dari kebijakan pemerintah. Perusakan ini bermula dengan kegenitan makelar politik, permainan hukum, hingga kasus perizinan untuk perusahaan tambang lokal. Mengenai hal ini, perwakilan dari Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) mendatangi KPPT Kabupaten Pati karena mengeluarkan IUP eksplorasi untuk PT SMS selama dua tahun.

Dalam konteks ini, Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (KPPT) Pati dianggap melanggar UU Nomor 32 T ahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkunan Hidup. Instansi itu memberikan izin usaha pertambangan tahap eksplorasi, tanpa didasari dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

Izin yang dikeluarkan merupakan IUP eksplorasi batu kapur dan tanah liat berdasarkan SK Kepala KPPT Kabupaten Pati Nomor 542/002 dan Nomor 545/003. Izin ini sebagai payung hukum untuk eksploitasi kandungan mineral Gunung Kendeng. Eksplorasi batu kapur mencakup lahan 2.025 hektare di 10 desa di Kecamatan Kayen dan Tambakromo. Adapun eksplorasi tanah liat mencakup area seluas 663 hektare di empat desa di Kecamatan Tambakromo.

Namun di lain pihak, KPPT Kabupaten Pati menyatakan bahwa instansi mengeluarkan IUP itu berdasarkan rekomendasi Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah tanggal 5 Agustus 2011. Sebelumnya, 11 Maret 2011, muncul Surat Edaran Gubernur Nomor 503/05326 tentang Penerbitan IUP. Tentu, ada kejanggalan politik di sini. Hukum saling tumpang tindih, dan sangat jelas pola komodifikasi politiknya.

Tentu kita tidak ingin korban mental dan psikologis meluas di seluruh Pati. Korban fisik dan infrastruktur sudah ada, khususnya dari kisah banjir di kawasan Pati selatan. Warga di berbagai pelosok sudah berani keluar dari keterdiaman (silent action) menuju aksi ekspresif. Politikus Pati perlu belajar dari sosok Jokowi di Solo yang sukses membangun kota lewat pendekatan kebudayaan, potensi daerah, dan manajerial berbasis aspirasi rakyat. (10)


— Munawir Aziz, warga Pati, mahasiswa Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM
Wacana Suara Merdeka 6 Desember 2011