"Publik lebih memberi perhatian luar biasa terhadap kebijakan capres, terutama dalam bidang ekonomi"
PARTAI Amanat Nasional (PAN) pada 9-11 Desember 2011 menyelenggarakan rapat koordinasi nasional (rakornas) dan silaturahmi nasional (silatnas). Rakernas kali ini terasa berbeda dari sebelumnya karena ada dua isu utama yang diperkirakan jadi perbincangan serius di internal. Pertama; pencalonan ketua umum partai itu, Hatta Rajasa sebagai capres 2014. Kedua; posisi PAN di dalam Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi. Dua isu utama ini bisa memengaruhi konstelasi politik di tingkat nasional.
Isu pencapresan selalu menarik bagi publik, partai, dan media. Setelah Susilo Bambang Yudhoyono tak dapat lagi mencalonkan diri sebagai capres, pemilu 2014 menjadi wilayah tanpa tuan. Semua kandidat punya peluang sama untuk berkompetisi. Apalagi, hasil survei Jaringan Suara Indonesia (JSI) Oktober 2011 menunjukkan tidak ada figur kuat menjelang Pemilu 2014, selain Megawati dengan tingkat keterpilihan 19,6%.
Di bawahnya, berderet sejumlah nama, seperti Prabowo Subianto (10,8%), Aburizal Bakrie (8,9%), Wiranto (7,3%), Hamengku Buwono X (6,5%), Hidayat Nur Wahid (3,8%), Surya Paloh (2,3%), Sri Mulyani (2%), Ani Yudhoyono (1,6%), Hatta Rajasa (1,6%), Anas Urbaningrum (1,5%), Sutanto (0,2%), dan Djoko Suyanto (0,2%).
Dalam pemilu, tren perilaku pemilih selalu menjadi acuan bagi partai atau kandidat untuk merancang dan merumuskan strategi politik. Tak heran, bila survei persepsi publik kemudian menjadi instrumen untuk memetakan perilaku pemilih dan pergerakan opini publik.
Bagaimana dengan tren perilaku pemilih di Indonesia? Sejumlah riset telah dilakukan untuk melihat pola dan tren perilaku pemilih di Indonesia, terutama, sejak Pemilu 1999 sampai 2009. Di antaranya dilakukan oleh Saiful Mujani (Lembaga Survei Indonesia) dan R William Liddle (Ohio State University).
Studi Mujani dan Liddle (2010) menunjukkan tiga hal utama dalam memengaruhi perilaku pemilih. Yaitu, kepemimpinan, performa kabinet dan evaluasi publik terhadap kondisi ekonomi nasional. Mujani dan Liddle juga menemukan matinya politik aliran dalam Pemilu 1999, 2004, dan 2009. Menurut keduanya, agama, kelas, suku, dan wilayah tidak lagi menjadi faktor dominan dalam mempengaruhi perilaku pemilih.
Tahun 1999 misalnya, keberhasilan PDIP menunjukkan karisma kepemimpinan atau kesukaan pemilih terhadap figur-figur pemimpin. Pilihan publik terhadap PDIP dipengaruhi oleh identifikasi pemilih yang kuat terhadap sosok Megawati. Begitu juga pilihan terhadap PAN melalui figur Amien Rais, dan PKB lewat Gus Dur.
Pola ini juga terjadi pada 2004. Tingkat kesukaan publik terhadap figur calon berkorelasi positif terhadap pilihan pada partai. Pilihan publik terhadap Partai Demokrat misalnya dipengaruhi oleh kesukaan publik terhadap figur Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Bagaimana dengan Pemilu 2009? Pilihan terhadap capres lebih dipengaruhi oleh performa kabinet dan evaluasi positif publik terhadap kondisi perekonomian secara nasional (Mujani, Liddle, 2010). Jika menjelang 2014 perfoma dan kinerja kurang memuaskan dan situasi ekonomi juga tidak mengembirakan, publik akan memberi hukuman bagi Demokrat dan koalisi.
Dilema Koalisi
Sebagai partai yang tergabung dalam koalisi, partai-partai koalisi, seperti PAN akan mengalami dilema politik dalam menentukan positioning politiknya jelang 2014: bergabung atau memilih di luar. Dilema bertumpu pada kesulitan merumuskan orientasi dan perilaku, apakah menjadi policy-seeking party, vote-seeking party, atau office-seeking party?
Menurut Strom (1990), policy-seeking party adalah model perilaku partai yang menekankan pada kebijakan, isu, dan program partai. Vote-seeking party adalah perilaku partai yang menekankan aspek elektoral: unggul dalam perolehan suara. Adapun, office-seeking party menekankan aspek patronase dan pengamanan posisi strategis di pemerintahan.
Saya kira, sebagai partai koalisi, PAN harus memilih di antara tiga model tersebut. Apakah akan menekankan penguatan pada level isu, kebijakan, dan program untuk merebut dukungan pemilih atau memilih sebagai vote-seeking party yang selalu bermain dengan isu populis dalam merebut hati pemilih. Atau mempertahankan posisi dan patronase politik dengan partai penguasa?
Ke depan, saya melihat pertarungan isu dan gagasan mewarnai kampanye 2014. Meskipun karisma personal masih memengaruhi, publik lebih memberi perhatian luar biasa terhadap kebijakan capres, terutama dalam bidang ekonomi. (10)
— Arya Fernandes, analis dari Charta Politika Indonesia, fellow Paramadina Graduate School of Political Communication
Wacana Suara Merdeka 12 Desember 2011
11 Desember 2011
Hatta dan PAN di Setgab
Thank You!