Oleh : Harmada Sibuea
drama seri betajuk "rekayasa kasus kriminalisasi terhadap KPK", ternyata masih belum menemukan kata usai.
Paradigma masyarakat yang mengira bahwa drama yang mengundang kekesalan dan kekhawatiran berkepanjangan tersebut telah usai dengan adanya keputusan Kejaksaan Agung (Kejagung) mendeponering kasus Bibit-Chandra beberapa waktu lalu, terbantahkan sudah. Masyarakat ternyata tidak sadar kalau selama ini hanya dijanjikan selesai, namun sesungguhnya masih jauh dari finish. Happy ending yang diperkirakan masyarakat selama ini, ternyata tak lebih dari sekedar kamuflase belaka. Deponering, yang digadang-gadang akan mengembalikan "kejayaan" KPK, ternyata belum jelas keabsahannya.
SKP3 ala DPR
Babak baru yang tak kalah penuh intrik dan rekayasa pun, kembali dimulai. Adalah DPR dan Kejagung yang ingin berperan sebagai aktor dalam "pembredelan" terhadap KPK tersebut. Setelah tekanan publik khususnya terhadap Kejagung mereda seiring keputusan lembaga tersebut men-deponering kasus Bibit-Chandra, kini DPR yang kembali menunjukkan atraksinya. Menurunnya intensitas tekanan publik tersebut dijadikan momentum oleh DPR untuk mengumandangkan babak baru untuk terus "menyandera" KPK. Suara-suara "sumbang" ala DPR kini kembali mengisi ruang dengar publik tanah air. Mulai dari usulan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) hingga usulan untuk menuntaskannya lewat pengadilan.
Alasan klasik namun penuh intrikpun dikumandangkan. Benny K. Harman, Ketua Komisi III DPR, mengatakan bahwa deeponering tidak akan menghapuskan tindak pidana yang pernah dituduhkan dan malah akan membelenggu hak konstitusional Bibit-Chandra. Menurut para punggawa yang merasa dirinya mewakili rakyat tersebut, opsi deponering akan membuat status tersangka pada Bibit-Chandra akan melekat seumur hidup sehingga akan merusak reputasi kedua orang tersebut, khususnya KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi. Alasan yang tak kalah "peduli" adalah agar kasus ini dibuktikan sehingga tidak berlarut-larut.
Sekilas berbagai usulan lengkap dengan alasannya tersebut, seakan menyatakan bahwa DPR paling peduli dengan status dan masa depan KPK khususnya dua pimpinannya, Bibit dan Chandra. Sayangnya, publik sudah kadung curiga dengan semua intrak-intrik politik DPR. Apalagi DPR ditengarai sebagai salah satu lembaga yang ikut "menyemarakkan" kriminalisasi terhadap KPK sewaktu baru bergulir setahun lalu.
Kini tudingan tersebut pun semakin menguat mengingat DPR baru "menggonggong" setelah publik sudah terlanjur yakin bahwa keputusan deponering ala Kejagung sudah final. Artinya, setelah publik merayakan "pesta" selesainya kriminalisasi terhadap KPK, tak disangka-tak diduga tiba-tiba DPR tampil bak pahlawan mengutak-atik kembali pilihan deponering. Suatu langkah yang mengusik rasa ketenangan publik.
Anehnya, sikap kontra deponering tersebut bertolak belakang dengan sikap politisi DPR ketika desakan deponering menghangat beberapa waktu lalu. Tidak sedikit dari para politisi senayan tersebut yang juga mendukung publik dan mendesak Kejagung untuk segera mengeluarkan putusan deponering. Benny K. Harman adalah salah satu diantaranya. Menurut Benny, deponering adalah langkah tepat untuk menjawab persoalan hukum Bibit-Chandra. Benny juga mendesak agar Kejagung sesegera mungkin mengeluarkan deponering sebagai jawaban atas persoalan hukum Bibit-Chandra. Namun entah kenapa, para politisi yang merasa dirinya wakil rakyat tersebut secepat kilat berubah. Mungkin saja sudah "masuk angin" atau sudah dijadikan alat politisasi kepentingan tertentu.
Akal-akalan Kejagung
Parahnya, sikap "nakal" DPR ini bak gayung bersambut pula dengan sikap "setengah hati" Kejagung. Keinginan DPR mengutak-atik deponering kasus Bibit-Chandra terbuka lebar karena ternyata Kejagung sendiri mengakui bahwa keputusan yang sempat melegakan publik tanah air tersebut ternyata belum final alias belum sah karena belum ditanda-tangani oleh Jaksa Agung. Alasannya pun simpel, "masih perlu dipertimbangkan lagi". Dengan demikian, Kejagung telah berhasil "mengakal-akali" publik sejauh ini. Dengan mengatakan sudah memutuskan deponering, padahal belum sama sekali.
Kelihatan jelas bahwa kedua lembaga ini memang sengaja mengulur-ulur kejelasan status dua unsur pimpinan KPK tersebut. Atau lebih tepatnya, tidak "rela" KPK bebas 100 persen.
Disamping itu, tidak tertutup kemungkinan bahwa otak-atik deponering di akhir episode ini sudah didesain jauh-jauh hari sebelumnya. Kelihatannnya, putusan depoonering yang disampaikan Plt Jaksa Agung, Darmono, pada waktu itu, tak lebih dari sekedar untuk meredakan ketegangan akibat tekanan publik yang begitu kencang. Setelah tekanan mereda, tampillah DPR mengotak-atik putusan yang paling diinginkan publik tersebut. Sedangkan Kejagung, cukup memberi ruang saja. Goyangan DPR dan celah dari Kejagung, sudah menjadi infratruktur yang sempurna untuk menutup lembaran sejarah bernama deponering.
Akankah ini benar-benar terwujud? Tergantung political will pemerintah khususnya Jaksa Agung bersama DPR, dan tekanan publik tentu saja. Presiden SBY harus menunjukkan keseriusannya dengan menginstruksikan agar Kejagung segera menuntaskan kejelasan deponering tersebut. Jangan lagi mempermain-mainkan kepercayaan masyarakat. Ini ibarat membangunkan gajah tidur. Jika Kejagung dan DPR nekat "bermain api", maka tidak tertutup kemungkinan letupan dan tekanan yang akan diterima pemerintah, Kejagung, dan DPR, jauh lebih besar daripada yang sebelumnya. Ini pilihan yang sangat rasional bagi Kejagung dan DPR, mengusik ketenangan publik atau memuluskan keinginan publik. Ini juga sekaligus menjadi ujian bagi jaksa Agung baru, Basrif Arif. Tak cukup hanya sekedar pikir-pikir menuntaskan persoalan. ***
Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik, aktif di Perkamen.
Opini Analisa Daily 17 Desember 2010