17 Desember 2010

» Home » Lampung Post » Opini » Respons Aparat dan Kemandirian Seniman

Respons Aparat dan Kemandirian Seniman

Nadia Raissofi H.
HMI Komisariat Hukum Unila
Mudeng beteng poso bisu (memutari Keraton sambil berpuasa bisu) yang dilakukan oleh para Abdi Dalem setiap satu Sura adalah kesusasteraan yang hidup. Poso bisu, yaitu tidak berbicara dengan suatu keyakinan penyucian, inilah yang dilakukan Nabi Zakaria as. untuk memohon lahirnya Nabi Yahya dari rahim istrinya yang mandul. Mudeng beteng yang bermakna mengitari Keraton dengan spiritualitas yang terpadu dalam denyut kesusasteraan kultural.
Mengapa penulis selalu mengkaitkannya dengan kesusasteraan, karena apa yang diimplementasi dari ritualisme ini adalah bagian dari serat di era Amangkurat dan Mocopat Sinom dalam Serat Kalitida.
Betapa pun, tebersit teologis dalam kesusasteraan atau kesusasteran yang tersempal dalam semangat spiritual. Apa pun latarnya, setidaknya nuansa teologi dalam kesusasteraan Jawa Kuno, kenyataannya tidak lagi bernilai dalam kalkulasi angka pragmatis, dalam arti apa yang mereka lakukan hanya sebagai peristiwa ritual tanpa mengundang komoditas.
Karena bukan komoditias itulah yang kemudian berbuntut panjang sampai sekarang. Bayangkan, bila Anda seorang seniman, pastilah akan kecewa. Mulai dari perupa, teaterawan, sastrawan, dan penulis buku. Terbit kabar kabar buku berbahasa Raden Intan II karya Rudi Suhaimi Kalianda versi bahasa Lampung dan beberapa karya puisi bahasa Lampung misalnya, tidak bisa terbit karena tidak ada respons dari instansi terkait.
Begitu pula bila diadakan pagelaran teater atau pameran lukisan, dari buku tamu yang ada, aparat paling hanya membuka acara lalu ngeloyor pergi, tidak mau tahu kreativitas generasi penuh semangat itu. Padahal, bila dibayangkan, semangat yang berkelebihan akan materi dewasa ini, terutama yang diusung kaum tua, sesungguhnya merupakan semangat hedonis yang terbawa arus tanpa nilai kultural edukatif sama sekali. Dalam konteks inilah, agaknya perlu diketuk hati kaum elite kita, apakah eksekutif, legislatif ataupun yudikatif. Bahwa, kesenian, apa pun bentuknya lebih membawa ke arah kemanusiaan, kepedulian sosial yang kini semakin langka.
Kerap para kaum elite yang terhormat itu merampok kesenian dengan dalih menggalakkan budaya dan pariwisata, seniman yang dibawa seniman exhausted (kehabisan tenaga) hanya sebagai serimoni belaka, toh acara ini mengandung proyek, proyek berarti identik dengan uang, ini pulalah yang menyebabkan kebocoran finansial disetiap birokrasi, ini bila dilihat dari aspek institusi, tetapi bila dilihat dari diplomasi kebudayaan, ya, lumayanlah.
Kita memang akhir akhir ini cukup beruntung mempunyai Gubernur yang tanggap terhadap kebudayaan daerah sehingga apa-apa yang dilakukan Bang Oedin diikuti pula oleh daerah lain, hanya sayangnya (mudah-mudahan ini lumrah), berbagai pertunjukan atau gebyar kebudayaan hanya bersifat seremonial tanpa arah dan esensi untuk perspektif generasi muda, kendati kita tentu saja masih cukup bersyukur.
Kalau paparan di atas menunjuk pada aparatur, maka barangkali sebagai seniman, kita juga patut muhasabah, patut instrospeksi, apakah sebagai seniman, meski bebas nilai, kita telah melakukan yang terbaik untuk memperkenalkan provinsi ini di mata luar. Apakah dalam berkesenian kita juga telah melakukan mutual simbiosis dengan institusi dan instansi terkait, pertanyaan-pertanyaan ini tentu kita patut jawab bersama.
Opini Lampung Post 18 Desember 2010