17 Desember 2010

» Home » Opini » Suara Merdeka » Sindrom karena Selalu Dikalahkan

Sindrom karena Selalu Dikalahkan

GEGAP gempitanya masyarakat Indonesia menyambut kegemilangan Timnas dalam laga Piala AFF di Jakarta kali ini boleh jadi bukan karena murni masalah sepak bola, namun dapat ditarik ke garis belakang yang paling ekstrem, yakni sebuah simbol sindroma orang-orang yang selalu dikalahkan. Bangsa yang memiliki sejarah peradaban gemilang ini, saat ini nyaris terpuruk di berbagai bidang kehidupan.

Kita hanya dapat menikmati sisa-sisa kejayaan Majapahit, Sriwijaya, Singosari, dan Mataram. Bangsa ini adalah bangsa yang besar,  bahkan konon kita ini nenek moyangnya bangsa-bangsa di dunia karena Benua Atlantis yang legendaris —yang hilang hingga kini— disinyalir para ilmuwan Barat adalah Indonesia. Hasil tes DNA di beberapa situs fosil manusia purba, ternyata dinyatakan kita lebih tua dibanding DNA bangsa Mesir kuno yang juga dikagumi peradabannya itu.

Bocoran Wikileaks menunjukkan bahwa bangsa ini sudah masuk dalam jajaran bangsa yang disetir bangsa lain, terutama dari sisi perdagangan. Sebut saja para kapitalis asing yang menguasai tambang-tambang kita, hak pengusahan hutan, jalur perdagangan, dan aneka kepentingan politik asing lainnya.

Bangsa ini tengah menjadi bulan-bulanan kapitalisme asing. Baru saja ajang Asian Games juga menunjukkan keterpurukan perolehan medali kita, yang bahkan tetap di bawah Malaysia dan Thailand, apalagi jika dibandingkan Jepang dan Korea. Cabang andalan bulu tangkis juga kalah, dan yang menang ‘’hanya’’ cabang perahu naga.
Bangsa yang kaya raya ini kini banyak dijadikan perasan bangsa lain, dan kebanyakan suporter bola umumnya adalah masyarakat menengah ke bawah yang sehari-hari sudah kalah, stres, susah mencari penghidupan.

Di dalam kelompok suporter mereka menemukan komunitasnya sehingga dapat menumpahkan segala kesumpekan hidup.
Dalam logika Prof Satjipto Rahardjo, orang yang memiliki pekerjaan layak, sejelek apapun wataknya, ia tidak akan terangsang untuk melakukan kejahatan, dan sebaliknya. Hal senada juga dikatakan Barington Moore (1978) bahwa kepatuhan atau perlawanan kaum muda banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial atau kekuasaan, pembagian barang dan jasa. Sedangkan Kuntowijoyo (1990) menyebutkan, keadaan akan makin buruk jika hierarkhi-hierarkhi baru yang terbentuk akibat proses industrialisasi ini membentuk kelompok marginal yang tidak mampu berperan dalam proses ini, hingga mengancam stabilitas sosial.

Jadi Ekspresi

Dalam karya sastra Eropa banyak digambarkan orang yang terpecah jiwanya akibat keputusasaan, sampai lahir beberapa tirani fasisme. Manusia akan terpecah jiwanya, mengalami keterasingan, mereka tidak takut menerjang siapa saja karena logikanya sederhana saja: ‘’Tidak akan kehilangan apa-apa jika ia mati’’. Inilah barangkali gambaran suporter bola, mereka kalah di mana saja. Jangankan untuk hidup, sekadar untuk datang ke Senayan, ribuan bonek harus berkelahi dengan penjaga stasiun. Mereka nekat tidak membawa uang sepeser pun. Hidup bagainya adalah perjuangan yang maha berat, apapun caranya dijalani, termasuk untuk marah kepada keadaan.

Dalam sepak bola ada penghormatan simbol-simbol dan bendera klub atau negara, lagu kebangsaan, tempat-tempat sakral bagi pemain dan ofisial. Perilaku penonton yang mengaplaus atau mengikuti ‘’imam’’ sang atlet menunjukkan satu kor yang ajaib.

Dalam olahraga akan ditemukan unsur-unsur daya juang, kedisiplinan, seberapa jauh terpeliharanya emosi, gerak teratur yang indah, ketertiban, sportivitas, dan fair play. Sesama pemain saling menghormati, demikian pula antara pemain, penonton, ofisial, wasit, semuanya dalam rangka membuat irama permainan yang indah dan fair. Soal kalah menang, itu hanya risiko dari siapa yang paling siap dan terampil. Sepak bola menjadi katarsis pelarian sekaligus ekpresi kerinduan akan ‘’kemenangan’’ di segala bidamg kehidupan. (10)

— Saratri Wilonoyudho, peminat masalah sosia, dosen Universitas Negeri Semarang, anggota Dewan Riset Daerah Jawa Tengah 
Opini Suara Merdeka 18 Desember 2010