Oleh : Joko Susanto
Menjelang berakhirnya tahun 2010, realisasi penerimaan pajak tampaknya masih belum berada dalam kondisi benar-benar aman.
Padahal, pada 2011 pemerintah menargetkan penerimaan negara dari sektor perpajakan Rp 839,5 triliun atau sekitar 77 persen dari total pendapatan negara. Menurut RAPBN, penerimaan perpajakan ini terdiri dari penerimaan Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai. Jumlah itu, berarti mengalami kenaikan sebesar Rp96,2 triliun, atau sekitar 13 persen dari target penerimaan perpajakan tahun 2010.
Tahun ini, segenap aparat prajurit mesin keuangan negara khususnya jajaran Direktorat Jenderal Pajak -sebagai primadona penentu penerimaan- masih harus berjuang ekstra keras mengejar short fall pencapaian penerimaan negara 2010 dari pajak non migas masih belum aman. Pencapaian penerimaan pajak hingga akhir November baru berkisar 80 persen dari target yang ditentukan dalam APBNP 2010. Adapun penerimaan pajak yang masih belum maksimal adalah PPN dan PPnBM.
Data Ditjen Pajak per 30 November 2010 menyebutkan, total penerimaan pajak tanpa PPh migas mencapai Rp 487,137 triliun atau baru 80,4 persen dari target APBNP-2010 yang sebesar Rp 606,116 triliun. Namun angka itu tercatat naik 13,7 persen dibanding periode yang sama tahun 2009 yang sebesar Rp 428,443 triliun. Total penerimaan pajak plus PPh migas per 30 November 2010 Rp 533,574 triliun atau baru 80,7 persen dari target APBNP2010 yang sebesar Rp 661,498 triliun. Angka tersebut juga berarti naik 12,5 persen dari periode yang sama pada tahun 2009 sebesar Rp 474,095 triliun.
Kita tentu telah mengetahui, pemerintah Indonesia hingga detik ini masih sulit melepaskan diri dari tradisi utang. Dengan berbagai bentuk maupun namanya, utang diandalkan sebagai "penyelamat" untuk menutup defisit APBN yang masih terjadi. Menurut data statistik Ditjen Pengelolaan Utang, saat ini total utang Indonesia mencapai Rp 1.650 triliun dan angka itu masih terus bertambah.
Meskipun penerimaan pajak terus meningkat, kepatuhan wajib pajak (WP) orang pribadi dalam menyerahkan SPT masih rendah. Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mencatat rasio kepatuhan Wajib Pajak (WP) dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan hingga April 2010 mencapai 54,84 persen atau 7,73 juta Wajib Pajak. Jumlah SPT diterima mencapai 7.733.271 dari total WP terdaftar wajib menyampaikan SPT Tahunan PPh sebesar 14.101.933.
Kepatuhan WP masih sangat rendah sehingga harus terus ditumbuhkan. Ditjen pajak harus terus melaksanakan sosialisasi dan konseling ke semua pihak. Pada 2010 Ditjen Pajak dipatok target Rp 611,2 Triliun dan rencananya Rp 1.000 triliun pada 2013.
Mengamankan Andalan Penerimaan
Kini sistem penghitungan pajak telah berubah. Setelah berganti dengan self assesment system, masyarakatlah yang paling menentukan dalam melaksanakan kewajiban perpajakan, mulai dari mendaftarkan diri sebagai wajib pajak, menghitung besarnya pajak yang terutang, membayar pajaknya sendiri ke bank atau kantor pos, dan melaporkannya ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP).
Intitusi pajak hanya melakukan fungsi pengawasan dan pembinaan, apakah masyarakat telah melaksanakan kewajiban perpajakannya sesuai UU Perpajakan. Pembangunan daerah khususnya dan nasional umumnya sebagai agenda berkelanjutan baik moral maupun material jelas perlu pembiayaan besar. Banyak alternatif yang dapat dijadikan pilihan.
Diakui atau tidak, pemasukan pajak telah berperan dalam penyediaan dana segar pembangunan. Bahkan menjadi tulang punggung penerimaan negara. Namun keberadaannya sering dianggap dilematis, antara dibenci dan dirindu, dihindari dan diburu. Hingga menjelang akhir tahun, para prajurit mesin keuangan negara khususnya jajaran Direktorat Jenderal Pajak masih harus berjuang ekstra keras mengejar short fall pencapaian penerimaan pajak 2010. Dengan waktu tersisa sekitar 1 bulan ini, bisakah target itu terlampaui?
Peningkatan kualitas dan profesionalitas SDM pajak tampaknya perlu menjadi perhatian serius. Salahsatu caranya, dapat dilakukan pengembangan SDM melalui peningkatan kapasitas, integritas dan kompetensi pegawai dengan didukung teknologi informasi dan komunikasi. Tujuannya, kegiatan perbaikan yang meliputi aspek core business Ditjen Pajak dapat segera diwujudkan.
Meski selama ini jajaran Ditjen Pajak tampak terus bergerak, ada beberapa hal yang pantas kita cermati. Pertama, harus diakui bahwa pasca terungkapnya mafia kasus pajak beberapa waktu lalu, citra institusi pajak belum pulih benar. Bahkan pada beberapa kesempatan, cercaan atau cemoohan terkait pajak masih terdengar nyaring. Momen ini harus dipandang sebagai cambuk untuk bekerja lebih keras dan memberi bukti nyata.
Kedua, masalah law enforcement. Jajaran institusi pajak harus menunjukkan kepada masyarakat terkait keseriusannya menegakkan hukum bagi yang salah (punishment). Oknum yang salah harus ditindak tegas. Pegawai yang berprestasi dan bermoral baik pantas diberikan rewards.
Ketiga, terus melakukan sosialisasi perpajakan baik peraturan maupun manfaatnya secara lebih massif karena terbukti kesadaran dan kepatuhan masyarakat masih tergolong rendah. Guna mendukung upaya ini perlu inovasi dan strategi baru agar sosialisasi pajak tidak berlangsung monoton. Bila diperlukan, kerjasama dengan pihak eksternal seperti kampus, LSM, institusi lain dan sebagainya.
Keempat, perlu meningkatkan kontribusi wajib pajak pribadi karena masih jauh lebih kecil daripada wajib pajak badan. Idealnya, seharusnya seperti negara maju, proporsi wajib pajak pribadi justru lebih besar daripada wajib pajak badan. Pembentukan kantor pajak khusus orang pribadi harus diperluas, tidak hanya di Jakarta saja seperti sekarang ini. Karena milyarder daerah juga tidak terhitung jumlahnya. Upaya jemput bola ini tentu efisien untuk menggenjot setoran pajak mereka.
Kita berharap institusi pajak dapat mengambil pelajaran berharga dari ulah oknumnya yang telah mencoreng citra institusinya. Caranya, dengan memberikan pelayanan prima kepada publik dan berjuang ekstra keras memenuhi target pencapaian pajak. Porsi kontribusi pajak 77 persen penerimaan harus diamankan agar tersedia dana segar untuk pembangunan di negeri ini. Langkah memperbesar hutang luar negeri hanyalah menyisakan masalah berkepanjangan dan menjadi warisan buruk bagi anak cucu kita kelak. ***
Penulis adalah Kontributor Buku "Berkah Modernisasi Pajak" Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Jakarta
Menjelang berakhirnya tahun 2010, realisasi penerimaan pajak tampaknya masih belum berada dalam kondisi benar-benar aman.
Padahal, pada 2011 pemerintah menargetkan penerimaan negara dari sektor perpajakan Rp 839,5 triliun atau sekitar 77 persen dari total pendapatan negara. Menurut RAPBN, penerimaan perpajakan ini terdiri dari penerimaan Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai. Jumlah itu, berarti mengalami kenaikan sebesar Rp96,2 triliun, atau sekitar 13 persen dari target penerimaan perpajakan tahun 2010.
Tahun ini, segenap aparat prajurit mesin keuangan negara khususnya jajaran Direktorat Jenderal Pajak -sebagai primadona penentu penerimaan- masih harus berjuang ekstra keras mengejar short fall pencapaian penerimaan negara 2010 dari pajak non migas masih belum aman. Pencapaian penerimaan pajak hingga akhir November baru berkisar 80 persen dari target yang ditentukan dalam APBNP 2010. Adapun penerimaan pajak yang masih belum maksimal adalah PPN dan PPnBM.
Data Ditjen Pajak per 30 November 2010 menyebutkan, total penerimaan pajak tanpa PPh migas mencapai Rp 487,137 triliun atau baru 80,4 persen dari target APBNP-2010 yang sebesar Rp 606,116 triliun. Namun angka itu tercatat naik 13,7 persen dibanding periode yang sama tahun 2009 yang sebesar Rp 428,443 triliun. Total penerimaan pajak plus PPh migas per 30 November 2010 Rp 533,574 triliun atau baru 80,7 persen dari target APBNP2010 yang sebesar Rp 661,498 triliun. Angka tersebut juga berarti naik 12,5 persen dari periode yang sama pada tahun 2009 sebesar Rp 474,095 triliun.
Kita tentu telah mengetahui, pemerintah Indonesia hingga detik ini masih sulit melepaskan diri dari tradisi utang. Dengan berbagai bentuk maupun namanya, utang diandalkan sebagai "penyelamat" untuk menutup defisit APBN yang masih terjadi. Menurut data statistik Ditjen Pengelolaan Utang, saat ini total utang Indonesia mencapai Rp 1.650 triliun dan angka itu masih terus bertambah.
Meskipun penerimaan pajak terus meningkat, kepatuhan wajib pajak (WP) orang pribadi dalam menyerahkan SPT masih rendah. Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mencatat rasio kepatuhan Wajib Pajak (WP) dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan hingga April 2010 mencapai 54,84 persen atau 7,73 juta Wajib Pajak. Jumlah SPT diterima mencapai 7.733.271 dari total WP terdaftar wajib menyampaikan SPT Tahunan PPh sebesar 14.101.933.
Kepatuhan WP masih sangat rendah sehingga harus terus ditumbuhkan. Ditjen pajak harus terus melaksanakan sosialisasi dan konseling ke semua pihak. Pada 2010 Ditjen Pajak dipatok target Rp 611,2 Triliun dan rencananya Rp 1.000 triliun pada 2013.
Mengamankan Andalan Penerimaan
Kini sistem penghitungan pajak telah berubah. Setelah berganti dengan self assesment system, masyarakatlah yang paling menentukan dalam melaksanakan kewajiban perpajakan, mulai dari mendaftarkan diri sebagai wajib pajak, menghitung besarnya pajak yang terutang, membayar pajaknya sendiri ke bank atau kantor pos, dan melaporkannya ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP).
Intitusi pajak hanya melakukan fungsi pengawasan dan pembinaan, apakah masyarakat telah melaksanakan kewajiban perpajakannya sesuai UU Perpajakan. Pembangunan daerah khususnya dan nasional umumnya sebagai agenda berkelanjutan baik moral maupun material jelas perlu pembiayaan besar. Banyak alternatif yang dapat dijadikan pilihan.
Diakui atau tidak, pemasukan pajak telah berperan dalam penyediaan dana segar pembangunan. Bahkan menjadi tulang punggung penerimaan negara. Namun keberadaannya sering dianggap dilematis, antara dibenci dan dirindu, dihindari dan diburu. Hingga menjelang akhir tahun, para prajurit mesin keuangan negara khususnya jajaran Direktorat Jenderal Pajak masih harus berjuang ekstra keras mengejar short fall pencapaian penerimaan pajak 2010. Dengan waktu tersisa sekitar 1 bulan ini, bisakah target itu terlampaui?
Peningkatan kualitas dan profesionalitas SDM pajak tampaknya perlu menjadi perhatian serius. Salahsatu caranya, dapat dilakukan pengembangan SDM melalui peningkatan kapasitas, integritas dan kompetensi pegawai dengan didukung teknologi informasi dan komunikasi. Tujuannya, kegiatan perbaikan yang meliputi aspek core business Ditjen Pajak dapat segera diwujudkan.
Meski selama ini jajaran Ditjen Pajak tampak terus bergerak, ada beberapa hal yang pantas kita cermati. Pertama, harus diakui bahwa pasca terungkapnya mafia kasus pajak beberapa waktu lalu, citra institusi pajak belum pulih benar. Bahkan pada beberapa kesempatan, cercaan atau cemoohan terkait pajak masih terdengar nyaring. Momen ini harus dipandang sebagai cambuk untuk bekerja lebih keras dan memberi bukti nyata.
Kedua, masalah law enforcement. Jajaran institusi pajak harus menunjukkan kepada masyarakat terkait keseriusannya menegakkan hukum bagi yang salah (punishment). Oknum yang salah harus ditindak tegas. Pegawai yang berprestasi dan bermoral baik pantas diberikan rewards.
Ketiga, terus melakukan sosialisasi perpajakan baik peraturan maupun manfaatnya secara lebih massif karena terbukti kesadaran dan kepatuhan masyarakat masih tergolong rendah. Guna mendukung upaya ini perlu inovasi dan strategi baru agar sosialisasi pajak tidak berlangsung monoton. Bila diperlukan, kerjasama dengan pihak eksternal seperti kampus, LSM, institusi lain dan sebagainya.
Keempat, perlu meningkatkan kontribusi wajib pajak pribadi karena masih jauh lebih kecil daripada wajib pajak badan. Idealnya, seharusnya seperti negara maju, proporsi wajib pajak pribadi justru lebih besar daripada wajib pajak badan. Pembentukan kantor pajak khusus orang pribadi harus diperluas, tidak hanya di Jakarta saja seperti sekarang ini. Karena milyarder daerah juga tidak terhitung jumlahnya. Upaya jemput bola ini tentu efisien untuk menggenjot setoran pajak mereka.
Kita berharap institusi pajak dapat mengambil pelajaran berharga dari ulah oknumnya yang telah mencoreng citra institusinya. Caranya, dengan memberikan pelayanan prima kepada publik dan berjuang ekstra keras memenuhi target pencapaian pajak. Porsi kontribusi pajak 77 persen penerimaan harus diamankan agar tersedia dana segar untuk pembangunan di negeri ini. Langkah memperbesar hutang luar negeri hanyalah menyisakan masalah berkepanjangan dan menjadi warisan buruk bagi anak cucu kita kelak. ***
Penulis adalah Kontributor Buku "Berkah Modernisasi Pajak" Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Jakarta
Opini Analisa Daily 17 Desember 2010