17 Desember 2010

» Home » AnalisaDaily » Opini » Penarikan Guru PNS dari Sekolah Swasta, Perlukah?

Penarikan Guru PNS dari Sekolah Swasta, Perlukah?

Oleh : Yusrin
Pemerintah merencanakan untuk menarik seluruh guru PNS yang diperbantukan di Sekolah swasta pada tahun 2011. Penarikan ini tentu menimbulkan masalah tersendiri bagi sekolah-sekolah swasta yang masih membutuhkan tenaga guru PNS tersebut.
Disamping guru PNS yang diperbantukan di sekolah swasta digaji oleh Pemerintah-tentu saja akan menghemat anggaran sekolah swasta-tentu saja guru-guru PNS itu juga akan mendongkrak pamor sekolah-swasta karena diyakini memiliki kualitas yang memadai.
Kebijakan ini akan menuai resistensi dari sekolah-sekolah swasta yang masih membutuhkan guru PNS tersebut, misalnya sekolah-sekolah swasta di pinggiran dan sekolah-sekolah swasta yang baru berdiri. Banyak sekolah-sekolah swasta akan kelimpungan kalau penarikan guru-guru PNS dilakukan secara serentak dan tidak bertahap. Sebagaimana kita ketahui, banyak guru-guru PNS yang memegang peranan penting dalam sekolah-sekolah swasta, misalnya menjadi kepala sekolah. Apabila mereka ditarik dari sekolah tersebut, tentu sekolah itu akan kerepotan dan morat-marit mencari kepala sekolah baru yang telah berpengalaman.
Permasalahannya tidak berakhir di situ, beberapa guru PNS yang diperbantukan di sekolah swasta, apabila ditarik dari sekolah swasta, pasti akan mengalami kekurangan jam mengajar untuk memenuhi syarat sertifikasi. Sepertinya persoalannya ini akan menjadi Pekerjaan Rumah (PR) bagi dinas pendidikan setempat yang akan menerapkan kebijakan Pemerintah. Tentu ini PR yang tidak boleh dianggap remeh oleh Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) apabila tidak menyiapkan langkah-langkah mengatasi persoalan ini. Di lain pihak, kalau kebijakan ini diterapkan secara serentak, maka tindakan Pemerintah seperti "kacang lupa akan kulitnya". Sesungguhnya, masalah pendidikan merupakan tanggung jawab dari Pemerintah dan hal ini telah termaktub dalam UUD 1945 hasil Amandemen. Pasal 31 Ayat 1 berbunyi "Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan." Pasal 31 ayat 2 "Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya." Pasal 31 ayat 3, "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur undang-undang." Pasal 31 ayat 4 "Pemerintah memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Pasal 31 ayat 5 "Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk memajukan peradaban serta kesejahteraan umat manusia."
Dari Pasal 31 tersebut telah jelas peranan dan tanggung jawab Pemerintah dalam dunia pendidikan, sedangkan peranan sekolah swasta hanya membantu penyediaan sarana pendidikan yang belum dapat disediakan sepenuhnya oleh Pemerintah. Untuk itu, Pemerintah harus berterima-kasih terhadap sekolah swasta yang turut membantu Pemerintah dalam hal turut mencerdaskan kehidupan bangsa.
Amnesia Sejarah
Sekolah swasta sudah ada, jauh sebelum adanya sekolah negeri. Sekolah Taman Siswa adalah sekolah yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara pada tanggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Taman Siswa didirikan jauh sebelum negara Indonesia terbentuk dan merdeka. Prinsip-prinsip dasar dari Taman Siswa seperti: Ing Ngarso Sung Tulodo (di depan memberi contoh), Ing Madya Mangun Karso (di tengah-tengah membangun prakarsa dan bekerja sama) serta Tut Wuri Handayani (dari belakang memberi dorongan dan semangat). Ketiga prinsip ini masih dipergunakan dan dipakai sebagai panduan dalam dunia pendidikan kita.
Berkaca dari sejarah, masalah pendidikan sesungguhnya telah menjadi pemikiran dari cerdik-pandai dan cendekia pada masa itu sehingga mereka mewujudkannya dalam sebuah lembaga pendidikan. Ketika itu Sekolah swastalah yang pertama memegang peranan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tanpa ada bantuan dari Penguasa.
Peranan sekolah-sekolah swasta yang didirikan prakemerdekaan Indonesia, tidak dapat dimungkiri memberikan sumbangsih yang cukup besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Banyak sekolah-sekolah swasta yang dinasionalisasikan menjadi sekolah negeri pasca-kemerdekaan. Untuk itu, jangan sekali-sekali kita melupakan peranan sekolah-sekolah swasta dalam usaha turut mencerdaskan kehidupan bangsa.
Penarikan Secara Bertahap
Penarikan guru-guru PNS dari sekolah swasta secara serentak pasti memiliki implikasi-implikasi yang merugikan bagi sekolah swasta. Pertama, apabila kebijakan itu diterapkan tanpa memerhatikan daerah-daerah atau sekolah-sekolah yang masih membutuhkan guru-guru PNS tersebut maka dipastikan banyak sekolah-sekolah swasta yang akan kolaps karena kekurangan guru berkualitas dan membengkaknya anggaran yang harus dikeluarkan oleh yayasan. Kedua, banyaknya guru-guru yang ditarik dari sekolah swasta akan kesulitan memenuhi jam mengajar untuk mengejar syarat sertifikasi. Hal ini akan menimbulkan permasalahan tersendiri bagi guru-guru yang ditarik dari sekolah swasta.
Sebaiknya Pemerintah bertindak bijak dalam masalah ini, apalagi ada ancaman sanksi dari Kementerian pendayagunaan aparatur negara melalui surat edarannya, bagi guru-guru yang tidak di tarik dan masih mengajar di sekolah swasta. Bagi sekolah-sekolah yang sudah tidak membutuhkan guru-guru PNS lagi, sebaiknya dipulangkan saja ke Dinas Pendidikan dan Dinas membantu proses dan prosedur pemulangan tersebut. Namun, bagi sekolah-sekolah yang masih membutuhkan diberikan rentang waktu. Misalnya, diberikan kesempatan bantuan 5 tahun lagi, setelah sekolah itu siap baru di tarik sehingga tidak mengganggu kelangsungan hidup dan proses belajar-mengajar di sekolah. Gangguan terhadap kegiatan belajar-mengajar akan merupakan kerugian terbesar bagi siswa.
Kita berharap kebijakan ini tidak menambah kesulitan-kesulitan sekolah swasta, seperti kebijakan Ujian Nasional (UN) yang telah menimbulkan banyak problema dan persoalan serta menimbulkan polemik yang berkepanjangan. Kebijakan ini hendaklah dikaji untung dan ruginya terlebih dahulu sebelum diterapkan.
Pekerjaan rumah ini menambah deretan pekerjaan Kemendiknas, dimana kebijakan UN sampai hari ini masih menuai banyak kritik dan resistensi dari Pakar Pendidikan, guru, siswa, orangtua siswa dan anggota Dewan karena ditengarai kebijakan UN memasung kreatifitas belajar. Siswa-siswa yang belajar selama tiga tahun di jenjangnya masing-masing baik di SMP atau SMA, kelulusannya hanya diukur oleh beberapa mata pelajaran yang di-UN-kan. Hal ini menyebabkan, banyak pelaku-pelaku pendidikan menjadi panik, gugup, khawatir dan stres ketika hari-hari menjelang UN. Maka, sudah bukan menjadi rahasia lagi, banyak murid-murid yang terganggu psikologinya ketika menghadapi UN. Bukan itu saja, bahkan guru-guru banyak yang takut siswa-siswi tidak lulus sehingga melakukan perbuatan tidak terpuji seperti membocorkan jawaban kepada murid-muridnya. Kepala-kepala sekolah juga takut dipecat atau dipindahkan, apabila angka kelulusannya rendah, sedangkan untuk sekolah swasta banyak yayasan yang tertekan apabila jumlah kelulusan rendah, karena menyangkut kredibilitas sekolah. Kalau jumlah kelulusan rendah, kredibilitas sekolah turun, dan akibatnya jumlah siswa baru juga akan menurun. Kita berharap kebijakan ini membawa lebih banyak faedah daripada kerugian apabila diterapkan dengan bijak.***
Penulis adalah pemerhati pendidikan.
Opini Analisa Daily 17 Desember 2010