Sejumlah media beberapa waktu yang lalu banyak memberitakan rencana pemerintah mengundang asing mengelola Bandara Soekarno-Hatta (Soetta).
Menurut Menteri BUMN Mustafa Abubakar, asing perlu diundang terutama untuk meningkatkan pelayanan kepada publik. Kualitas pelayanan dan kemampuan SDM bandara sangat rendah yang berakibat pada sering putusnya aliran listrik, tidak optimalnya perangkat radar, rusaknya sebagian bangunan, dan terbatasnya kapasitas bandara. Namun, dia mengatakan bahwa negara tidak memiliki dana untuk semua kebutuhan tersebut. Belum diketahui bagaimana pola kerja sama yang akan ditempuh dengan asing. Pemerintah hanya menjelaskan akan mendirikan anak perusahaan milik Angkasa Pura II yang kelak akan membentuk suatu joint venture, PT, bersama si asing. PT baru ini akan berfungsi sebagai operator bandara.
Sedangkan hak pengelolaan bandara, menurut menteri, tetap berada di tangan Angkasa Pura II. Kami kesulitan memahami bagaimana mungkin memberikan hak operatorship kepada PT ini bisa terwujud, tanpa dibarengi dengan pemberian hak pengelolaan. Namun, lebih jauh dari itu, kami sangat prihatin dengan niat pemerintah mempersilakan asing mengelola bandara kita. Itulah alasan mengapa artikel ini kami tulis.
Dominasi Asing
Mengundang asing untuk berinvestasi pasti diimbangi dengan penyerahan saham milik negara kepada si asing. Jika Menteri Mustafa mengatakan pemerintah tidak punya dana, demikian pula halnya dengan anak perusahaan Angkasa Pura II. Kondisi dana yang terbatas akan sebanding dengan pemilikan saham yang kecil. Dengan demikian, mayoritas saham PT baru tersebut kelak pasti dikuasai oleh si asing. Lagipula, tidak akan ada asing atau strategic patner yang akan bersedia berinvestasi untuk hanya menjadi pelengkap penderita.
Si asing akan berkuasa dominan mengendalikan operasi bandara. Pemerintah diminta agar tidak menyembunyikan fakta akan terjadi dominasi asing dengan mengatakan bahwa “hak pengelolaan” masih di tangan Angkasa Pura II. Dengan menjadi operator, si asing akan menguasai bandara sehingga Angkasa Pura II sudah tidak mempunyai peran lagi walau diberi label “pengelola” bandara. Dalam hal ini, yang terjadi adalah privatisasi: penyerahan pengelolaan bandara kepada asing melalui penjualan saham anak perusahaan. Langkah ini diduga diambil untuk menghindari exposure informasi dan prosedur keuangan yang transparan, namun berpotensi merugikan negara.
Penjualan saham negara seperti ini pernah terjadi pada PT Telkom yang menjual 35% saham anak perusahaannya, Telkomsel, kepada Temasek oleh segelintir pejabat tanpa izin legislatif. Hasilnya, karena Telkomsel penyumbang terbesar keuntungan (creme de la creme) bagi Telkom, sebagian keuntungan tersebut dinikmati oleh Temasek. Sekitar tiga bulan yang lalu Pertamina pernah merencanakan menjual saham anak perusahaan yang juga penghasil utama pendapatannya, Pertamina E&P, dengan cara yang sama. Hal ini jelas akan merugikan bangsa: saham perusahaan milik negara yang strategis dan sangat menguntungkan dijual secara serampangan dan tertutup.
Akibatnya, negara sangat dirugikan dan sebagian keuntungan negara dinikmati asing. Cara penjualan saham secara tertutup ini harus dihentikan. Bandara Soetta adalah sarana pelayanan publik penghasil pendapatan terbesar Angkasa Pura II. Selain itu, Bandara Soetta juga merupakan gerbang yurisdiksi, pintu masuk utama, bagi bangsa lain yang datang ke Indonesia. Bandara Soetta mempunyai nilai yang sangat strategis, menyangkut aspek sekuriti negara, dan merupakan simbol yang mencerminkan keberadaan dan kemajuan bangsa. Sudah sedemikian rendahkah harga diri bangsa ini sehingga sarana sepenting dan sestrategis bandara Soetta harus diserahkan kepada asing?
Proteksi Negara
Pada Februari 2006 publik dan Kongres Amerika Serikat (AS) bergolak mengecam keputusan Presiden Bush yang menyetujui rencana pengelolaan enam kota pelabuhan di Amerika (New York, Miami, Newark, Philadelphia, New Orleans, dan Baltimore) oleh Dubai Ports World (DPW). DPW adalah perusahaan milik pemerintah United Arab Emirates (UAE) yang berada di bawah kendali Sheikh Mohammed bin Rashid Al Maktoum yang juga PM UAE.
DPW telah mengoperasikan sejumlah fasilitas pelabuhan di seluruh dunia, dari Australia, China, Korea, Malaysia, Jerman, dan Inggris, hingga Kanada, Argentina, dan Venezuela. Sebelum persetujuan Presiden Bush, rencana tersebut telah dievaluasi oleh Komite Investasi Luar Negeri AS dan lembaga-lembaga terkait lainnya. Karena alasan keamanan negara dan DPW adalah perusahaan asing, sejumlah anggota Kongres, media, dan publik menolak rencana tersebut. Setelah gugatan publik yang masif dan tiga minggu perdebatan sengit di Kongres yang tidak menginginkan sarana strategis negara dikelola asing, DPW akhirnya mengundurkan diri. Keputusan DPW pada 9 Maret 2006 tersebut sangat melegakan rakyat AS.
Ternyata bagi rakyat AS yang telah hidup sekian lama dalam sistem ekonomi yang sangat liberal sekalipun, sektor yang strategis dan vital seperti pelabuhan, sangat penting untuk dijaga dan dikelola oleh negara, minimal oleh perusahaan bangsa sendiri. Hal yang sama sebenarnya pernah terjadi pada 1990-an, saat British Telecom (BT) akan mengakuisisi perusahaan telekomunikasi Amerika, MCI. Meskipun Amerika dan Inggris/British berasal dari nenek moyang yang sama, Anglo-Saxon, rakyat dan Kongres Amerika bersatu menolak kehadiran BT. Akhirnya saham MCI diakuisisi oleh perusahaan domestik Amerika, Worldcom, dan muncullah perusahaan telekomunikasi baru Amerika, MCIWorldcom.
Pemerintah RI seharusnya belajar dari kasus DPW dan MCIWorldcom ini. Bangsa Indonesia, yang konon sering menyebut diri bangsa yang besar, seharusnya lebih mandiri, bertindak strategis, dan menjaga harkat dan martabat bangsa. Dengan begitu, kita terhindar dari sikap yang rela menggadaikan aset-aset strategis bangsa kepada asing. Sumberdaya alam telah banyak digadaikan. Indosat dan geostatisioner orbit satelit telah diobral. Apakah masih akan “dilanjutkan” dengan penyerahan bandara Soetta?
Kemampuan Sendiri
Jika Mustafa mengatakan tidak mempunyai dana, pemerintah bisa mengerahkan potensi BUMN dan partisipasi perusahaan nasional. Pemerintah pun bisa berutang untuk proyek yang menjanjikan return yang feasible secara bisnis seperti bandara, yang memang mengutip pajak dan fee yang tinggi kepada penumpang dan maskapai penerbangan. Hal ini mungkin berbeda jika berutang untuk pembangunan jalan pusat/provinsi yang tidak memberikan pendapatan langsung kepada negara. Rakyat akan mendukung jika kita terpaksa berutang untuk membangun bandara. Toh, saat pembangunan Soetta pertama kali, yang membutuhkan dana lebih besar, Indonesia mampu. Kenapa sekarang tidak?
Kami berpendapat, meskipun SDM kita mungkin belum mencapai kualitas yang diinginkan, solusinya bukanlah dengan menyerahkan pengelolaan kepada asing. Teknologi bisa dibeli, tenaga ahli asing dapat kita “sewa”, dan bangsa sendiri bisa kita tingkatkan kemampuannya. Yang juga sangat penting adalah memberikan kesempatan penuh kepada manajemen Angkasa Pura II mengelola perusahaan berdasarkan kaidah-kaidah good corporate governance, bebas KKN, independen, dan tidak mempan diintervensi oknum-oknum pejabat dari luar.
Sebaliknya, para oknum pejabat atau oknum partai berkuasa dari luar perusahaan juga harus menahan diri untuk tidak memanfaatkan posisi guna memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok dengan mengintervensi BUMN. Bandara Soetta bukan untuk asing dan harus bebas dari investor asing.Niat privatisasi bandara harus dibatalkan. Sejalan dengan itu, BUMN (bandara) harus dijalankan secara profesional dan bebas dari oknum penguasa yang berpikir pendek dan bertindak sebagai broker penjual saham dalam rangka mencari untung besar dalam waktu singkat.
Kita pun tidak menginginkan adanya oknum penguasa yang justru membuat kebijakan dalam rangka menjalankan agenda asing atau oknum penguasa pemburu rente.(*)
Marwan Batubara
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS)
Menurut Menteri BUMN Mustafa Abubakar, asing perlu diundang terutama untuk meningkatkan pelayanan kepada publik. Kualitas pelayanan dan kemampuan SDM bandara sangat rendah yang berakibat pada sering putusnya aliran listrik, tidak optimalnya perangkat radar, rusaknya sebagian bangunan, dan terbatasnya kapasitas bandara. Namun, dia mengatakan bahwa negara tidak memiliki dana untuk semua kebutuhan tersebut. Belum diketahui bagaimana pola kerja sama yang akan ditempuh dengan asing. Pemerintah hanya menjelaskan akan mendirikan anak perusahaan milik Angkasa Pura II yang kelak akan membentuk suatu joint venture, PT, bersama si asing. PT baru ini akan berfungsi sebagai operator bandara.
Sedangkan hak pengelolaan bandara, menurut menteri, tetap berada di tangan Angkasa Pura II. Kami kesulitan memahami bagaimana mungkin memberikan hak operatorship kepada PT ini bisa terwujud, tanpa dibarengi dengan pemberian hak pengelolaan. Namun, lebih jauh dari itu, kami sangat prihatin dengan niat pemerintah mempersilakan asing mengelola bandara kita. Itulah alasan mengapa artikel ini kami tulis.
Dominasi Asing
Mengundang asing untuk berinvestasi pasti diimbangi dengan penyerahan saham milik negara kepada si asing. Jika Menteri Mustafa mengatakan pemerintah tidak punya dana, demikian pula halnya dengan anak perusahaan Angkasa Pura II. Kondisi dana yang terbatas akan sebanding dengan pemilikan saham yang kecil. Dengan demikian, mayoritas saham PT baru tersebut kelak pasti dikuasai oleh si asing. Lagipula, tidak akan ada asing atau strategic patner yang akan bersedia berinvestasi untuk hanya menjadi pelengkap penderita.
Si asing akan berkuasa dominan mengendalikan operasi bandara. Pemerintah diminta agar tidak menyembunyikan fakta akan terjadi dominasi asing dengan mengatakan bahwa “hak pengelolaan” masih di tangan Angkasa Pura II. Dengan menjadi operator, si asing akan menguasai bandara sehingga Angkasa Pura II sudah tidak mempunyai peran lagi walau diberi label “pengelola” bandara. Dalam hal ini, yang terjadi adalah privatisasi: penyerahan pengelolaan bandara kepada asing melalui penjualan saham anak perusahaan. Langkah ini diduga diambil untuk menghindari exposure informasi dan prosedur keuangan yang transparan, namun berpotensi merugikan negara.
Penjualan saham negara seperti ini pernah terjadi pada PT Telkom yang menjual 35% saham anak perusahaannya, Telkomsel, kepada Temasek oleh segelintir pejabat tanpa izin legislatif. Hasilnya, karena Telkomsel penyumbang terbesar keuntungan (creme de la creme) bagi Telkom, sebagian keuntungan tersebut dinikmati oleh Temasek. Sekitar tiga bulan yang lalu Pertamina pernah merencanakan menjual saham anak perusahaan yang juga penghasil utama pendapatannya, Pertamina E&P, dengan cara yang sama. Hal ini jelas akan merugikan bangsa: saham perusahaan milik negara yang strategis dan sangat menguntungkan dijual secara serampangan dan tertutup.
Akibatnya, negara sangat dirugikan dan sebagian keuntungan negara dinikmati asing. Cara penjualan saham secara tertutup ini harus dihentikan. Bandara Soetta adalah sarana pelayanan publik penghasil pendapatan terbesar Angkasa Pura II. Selain itu, Bandara Soetta juga merupakan gerbang yurisdiksi, pintu masuk utama, bagi bangsa lain yang datang ke Indonesia. Bandara Soetta mempunyai nilai yang sangat strategis, menyangkut aspek sekuriti negara, dan merupakan simbol yang mencerminkan keberadaan dan kemajuan bangsa. Sudah sedemikian rendahkah harga diri bangsa ini sehingga sarana sepenting dan sestrategis bandara Soetta harus diserahkan kepada asing?
Proteksi Negara
Pada Februari 2006 publik dan Kongres Amerika Serikat (AS) bergolak mengecam keputusan Presiden Bush yang menyetujui rencana pengelolaan enam kota pelabuhan di Amerika (New York, Miami, Newark, Philadelphia, New Orleans, dan Baltimore) oleh Dubai Ports World (DPW). DPW adalah perusahaan milik pemerintah United Arab Emirates (UAE) yang berada di bawah kendali Sheikh Mohammed bin Rashid Al Maktoum yang juga PM UAE.
DPW telah mengoperasikan sejumlah fasilitas pelabuhan di seluruh dunia, dari Australia, China, Korea, Malaysia, Jerman, dan Inggris, hingga Kanada, Argentina, dan Venezuela. Sebelum persetujuan Presiden Bush, rencana tersebut telah dievaluasi oleh Komite Investasi Luar Negeri AS dan lembaga-lembaga terkait lainnya. Karena alasan keamanan negara dan DPW adalah perusahaan asing, sejumlah anggota Kongres, media, dan publik menolak rencana tersebut. Setelah gugatan publik yang masif dan tiga minggu perdebatan sengit di Kongres yang tidak menginginkan sarana strategis negara dikelola asing, DPW akhirnya mengundurkan diri. Keputusan DPW pada 9 Maret 2006 tersebut sangat melegakan rakyat AS.
Ternyata bagi rakyat AS yang telah hidup sekian lama dalam sistem ekonomi yang sangat liberal sekalipun, sektor yang strategis dan vital seperti pelabuhan, sangat penting untuk dijaga dan dikelola oleh negara, minimal oleh perusahaan bangsa sendiri. Hal yang sama sebenarnya pernah terjadi pada 1990-an, saat British Telecom (BT) akan mengakuisisi perusahaan telekomunikasi Amerika, MCI. Meskipun Amerika dan Inggris/British berasal dari nenek moyang yang sama, Anglo-Saxon, rakyat dan Kongres Amerika bersatu menolak kehadiran BT. Akhirnya saham MCI diakuisisi oleh perusahaan domestik Amerika, Worldcom, dan muncullah perusahaan telekomunikasi baru Amerika, MCIWorldcom.
Pemerintah RI seharusnya belajar dari kasus DPW dan MCIWorldcom ini. Bangsa Indonesia, yang konon sering menyebut diri bangsa yang besar, seharusnya lebih mandiri, bertindak strategis, dan menjaga harkat dan martabat bangsa. Dengan begitu, kita terhindar dari sikap yang rela menggadaikan aset-aset strategis bangsa kepada asing. Sumberdaya alam telah banyak digadaikan. Indosat dan geostatisioner orbit satelit telah diobral. Apakah masih akan “dilanjutkan” dengan penyerahan bandara Soetta?
Kemampuan Sendiri
Jika Mustafa mengatakan tidak mempunyai dana, pemerintah bisa mengerahkan potensi BUMN dan partisipasi perusahaan nasional. Pemerintah pun bisa berutang untuk proyek yang menjanjikan return yang feasible secara bisnis seperti bandara, yang memang mengutip pajak dan fee yang tinggi kepada penumpang dan maskapai penerbangan. Hal ini mungkin berbeda jika berutang untuk pembangunan jalan pusat/provinsi yang tidak memberikan pendapatan langsung kepada negara. Rakyat akan mendukung jika kita terpaksa berutang untuk membangun bandara. Toh, saat pembangunan Soetta pertama kali, yang membutuhkan dana lebih besar, Indonesia mampu. Kenapa sekarang tidak?
Kami berpendapat, meskipun SDM kita mungkin belum mencapai kualitas yang diinginkan, solusinya bukanlah dengan menyerahkan pengelolaan kepada asing. Teknologi bisa dibeli, tenaga ahli asing dapat kita “sewa”, dan bangsa sendiri bisa kita tingkatkan kemampuannya. Yang juga sangat penting adalah memberikan kesempatan penuh kepada manajemen Angkasa Pura II mengelola perusahaan berdasarkan kaidah-kaidah good corporate governance, bebas KKN, independen, dan tidak mempan diintervensi oknum-oknum pejabat dari luar.
Sebaliknya, para oknum pejabat atau oknum partai berkuasa dari luar perusahaan juga harus menahan diri untuk tidak memanfaatkan posisi guna memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok dengan mengintervensi BUMN. Bandara Soetta bukan untuk asing dan harus bebas dari investor asing.Niat privatisasi bandara harus dibatalkan. Sejalan dengan itu, BUMN (bandara) harus dijalankan secara profesional dan bebas dari oknum penguasa yang berpikir pendek dan bertindak sebagai broker penjual saham dalam rangka mencari untung besar dalam waktu singkat.
Kita pun tidak menginginkan adanya oknum penguasa yang justru membuat kebijakan dalam rangka menjalankan agenda asing atau oknum penguasa pemburu rente.(*)
Marwan Batubara
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS)
Opini Okezone 17 Desember 2010