17 Desember 2010

» Home » Kompas » Opini » Pertanyaan untuk Presiden di Hari Migran

Pertanyaan untuk Presiden di Hari Migran

Hari ini, 18 Desember, diperingati oleh masyarakat internasional sebagai Hari Migran. Negara-negara pengekspor buruh migran memberikan komitmen bagi perlindungan buruh migran di luar negeri dengan meratifikasi Konvensi Internasional Perlindungan Buruh Migran dan Keluarganya, kecuali Indonesia.
Hari Migran ini mengingatkan kita pada perlakuan kejam yang diderita Sumiyati dan Kikim. Hari Migran ini semestinya juga mengingatkan kita akan jasa jutaan tenaga kerja Indonesia (TKI) yang mempertaruhkan hidup di negeri asing demi keluarga dan devisa. Jutaan TKI itu kini menanti adanya tekad pemerintah untuk tidak lagi menolerir tindak kekerasan terhadap TKI.
Tekad untuk tidak menolerir kekerasan terhadap TKI bisa diukur dari ada tidaknya dua langkah perubahan yang selama ini terus didesakkan para pegiat hak TKI. Pertama, adanya langkah legislasi tiga paket undang-undang, yaitu ratifikasi Konvensi Internasional Perlindungan Buruh Migran dan Keluarganya, revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, dan Pembahasan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT).
Ketiga paket undang-undang ini merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan karena ketiganya menjadi dasar untuk menentukan standar dan membangun sistem perlindungan TKI.
Kedua, adanya evaluasi dan pembenahan mendasar terhadap sistem dan kelembagaan perlindungan TKI. Evaluasi dan pembenahan mendasar ini dibutuhkan mengingat aturan dan kebijakan di bidang migrasi kerja tidak berdampak terhadap kualitas perlindungan TKI. Yang terjadi, aturan dan kebijakan itu justru memfasilitasi perdagangan orang.
Kedua langkah itu adalah niscaya bila disadari bahwa untuk mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan di pedesaan, pemerintah tidak punya banyak pilihan. Memperbanyak jumlah TKI kini telah menjadi jalan utama mengatasi pengangguran dan kemiskinan.
Kegagalan pemerintah dalam mengembangkan sektor pertanian dan dalam memajukan sektor industri berdampak pada minimnya lapangan pekerjaan di dalam negeri dan rendahnya kualitas hidup di pedesaan. Kondisi ini mendorong peningkatan arus migrasi tenaga kerja keluar negeri.
Kegagalan dalam mengembangkan sektor pertanian dan memajukan pedesaan semestinya diimbangi dengan peningkatan kinerja di bidang perlindungan TKI. Kalau dalam perlindungan TKI pun pemerintah gagal, sudah sepantasnya kalau presiden dan menteri mengundurkan diri. Sebab, rakyat telah membayar mahal agar presiden, para menteri, dan birokrasi sungguh berfungsi. Betapa tidak, mayoritas anggaran negara setiap tahunnya digunakan untuk membiayai birokrasi.
Kalau melihat semakin banyak organisasi masyarakat sipil yang memberikan perhatian pada isu TKI, rasanya optimistis bahwa ke depan TKI akan merasakan hasil dari adanya perubahan. Namun, kalau menatap ke atas, optimisme itu terasa jatuh terbentur tembok tebal. Sebab politik pencitraan yang berlangsung selama ini telah membuat para pejabat lebih memilih mencari dalih daripada membongkar akar persoalan.
Cuci tangan
Kita masih ingat bagaimana Presiden dan menteri merespons kasus penganiayaan Sumiyati dan Kikim. Persoalan penganiayaan itu mereka pandang sebagai masalah minor. Bahkan, Presiden sendiri mengulang- ulang pernyataan bahwa kasus TKI yang dianiaya jauh lebih kecil dibandingkan TKI sukses.
Bisa dimengerti kemudian kalau terhadap kasus Sumiyati dan Kikim, Presiden merasa tak perlu turun tangan. Cukup mengirim menteri dan mengajukan solusi ”HP untuk TKI”. Dengan sikap dan cara pandang seperti itu, sulit diharapkan akan ada perubahan di tahun depan. Sebab, Presiden dan menteri cenderung meremehkan persoalan.
Padahal, data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi terkait kinerja Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) menunjukkan, ada persoalan serius dengan nasib para TKI kita ke depan. Betapa tidak. Dari 560 PJTKI yang terdaftar, hanya 36 persen yang berkinerja baik.
Padahal, kebijakan pemerintah di bidang migrasi tenaga kerja menempatkan PJTKI sebagai pihak utama dalam perlindungan TKI. Sementara, demikian banyak tanggung jawab perlindungan yang dibebankan pada PJTKI tidak mereka jalankan. Itulah mengapa penempatan TKI sarat dengan persoalan.
Pemerintah lebih banyak cuci tangan dalam hal perlindungan TKI. Alasannya, penempatan TKI adalah bisnisnya PJTKI dan karena itu masalah TKI sudah selayaknya diurus oleh PJTKI. Bahkan, di saat kekejaman terhadap TKI sudah tidak bisa ditoleransi lagi, pemerintah tetap memilih bersembunyi di balik besaran angka TKI sukses.
Terkait angka statistik, presiden dan menteri memang bisa menghitung berapa jumlah TKI yang sukses dan berapa dollar AS devisa yang mereka hasilkan. Namun, harga yang harus dibayar TKI untuk menjadi sukses tidak akan pernah mereka perhitungkan. Yang disebut sebagai sukses selama ini berarti bahwa TKI dapat menyelesaikan kontrak dan gajinya dibayar.
Padahal, studi Institute Ecosoc terhadap para mantan TKI yang bekerja sebagai PRT di Singapura menunjukkan, sebesar 90,3 persen TKI sukses bekerja lebih dari 14 jam sehari. Mereka tidak mendapatkan libur, tidak boleh berkomunikasi, dan tidak boleh keluar rumah. Tidak sedikit dari mereka yang kurang makan.
Inikah yang kita sebut sukses dalam hal perlindungan TKI? Pantaskah TKI yang nilai devisanya jauh lebih besar dari nilai investasi asing itu mendapatkan perlindungan dengan standar seperti ini? Sebandingkah kinerja pemerintah dalam perlindungan TKI dengan total anggaran yang dibayar rakyat untuk membiayai birokrasi?
Dengan standar perlindungan TKI yang demikian rendah, saya tidak yakin kematian 513 TKI di Malaysia pada tahun 2008 dan derita 998 TKI di Malaysia akibat berbagai bentuk pelanggaran HAM yang terjadi di sepanjang tahun 2009 itu ada artinya bagi Presiden dan menteri.
Ketika Presiden dan menteri menilai bahwa banyaknya kasus kekerasan terhadap TKI belum memasuki tahap kritis, saya jadi ingin tahu, sebenarnya berapa banyak angka kematian dan penganiayaan TKI dibutuhkan untuk membuat Presiden turun tangan dan serius membenahi perlindungan?
Sri Palupi Ketua Institute for Ecosoc Rights
Opini Kompas 18 Desember 2010