DALAM porsi penerimaan negara, pendapatan yang dihasilkan oleh pekerja migran (worker remittance) memiliki dampak signifikan. Tidak berbicara soal jumlah dan porsi dalam penerimaan negara, namun pada tataran kualitatif, dampak eksternalitas dari pendapatan migran memiliki efek yang menyeluruh terhadap pembangunan di daerah asal pekerja.
Penulis kurang sepakat jika keberadaan TKI hanya disebut sebagai pahlawan devisa yang memiliki asosiasi seolah-oleh menjadi bahan eksplotasi negara dalam meraup devisa. Terlebih jika dalam pencapaiannya harus melalui kekerasan fisik seperti pengalaman Sumiati, TKI dari NTB, apalagi Kikim Komalasari, TKI dari Jabar, yang diketahui telah meninggal dunia secara mengenaskan. Merekalah yang secara konkret melakukan berbagai kemajuan-kemajuan kecil yang nyata di daerahnya masing-masing.
Sayangnya, negara terkesan kurang menyadari bahwa di punggung merekalah pemerintah dapat mempermudah tugasnya dalam mencapai target-target pembangunan daerah. Birokratisasi proses pengiriman tenaga kerja, tidak transparannya proses pengiriman dan kepengurusan, orientasi pendapatan para PJTKI, serta kurangnya pendampingan pada saat berada di negara tujuan merupakan refleksi dari lemahnya komitmen negara ini dalam memprioritaskan peran mereka.
Tidak pula ada strategi terintegrasi dalam melakukan percepatan pembangunan melalui pengiriman jasa tenaga kerja ini. Pertama; tidak terdengar pemerintah melakukan evaluasi jangka panjang serius terhadap proses pelaksanaan dan negara tujuan pekerja. Jika kasus kekerasan terhadap pekerja seperti halnya terjadi terhadap Kikim dan Sumiati kerap terjadi dan hanya direspons dengan sekadar membagikan ponsel, sesungguhnya negara telah lepas tangan terhadap potensi kasus serupa di kemudian hari.
Kedua; besarnya potensi pekerja (labor force) semacam ini seharusnya direspons bukan hanya dengan 200 jam pelatihan yang dipersiapkan bersifat reaktif menjelang keberangkatan TKI oleh Kemenakertrans. Tentu tidak cukup dalam waktu sesingkat ini mempelajari bahasa, budaya, dan kebiasaan di lokasi kerja. Apalagi jika tingkat pendidikan calon pekerja pada dasarnya kurang memadai.
Karenanya diperlukan langkah terintegrasi yang melibatkan institusi pendidikan dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan keterampilan mereka. Bukan hanya dipersiapkan secara reaktif menjelang keberangkatan melainkan juga struktural yang dirancang berbulan-bulan sebelumnya. Belajar dari negara maju yang sebagian besar pekerja migrannya dapat memperoleh posisi yang tinggi di tempat mereka bekerja, bukan hanya besarnya upah yang didapat, melainkan peran ini dimanfaatkan sekaligus untuk mempromosikan negara pada tataran people-to-people.
Aspek Perlindungan
Ketiga; penulis nyaris belum melihat KBRI di wilayah penempatan TKI memiliki visi yang jelas dalam mendorong peningkatan kualitas penempatan tenaga kerja, atau minimal menghasilkan studi kelayakan relokasi pekerja. Perannya hanya sebatas administratif dan protokoler. Padahal, kedubes adalah otoritas tertinggi negara dalam melakukan berbagai misi pembangunan di negara lain.
KBRI di Arab Saudi misalnya, jika kasus-kasus seperti halnya Sumiati tidak disorot oleh media Tanah Air, belum tentu melakukan perlindungan substantif terhadap TKW di negara itu. Buktinya, belakangan terungkap terjadinya banyak kekerasan dan tindakan pembiaran terhadap pekerja Indonesia oleh majikannya di negara tempat bekerja bahkan sebelum tragedi yang dialami Sumiati.
Dalam konteks yang lebih luas, keberadaan pekerja migran juga dapat dipersepsikan sebagai salah satu tindakan nyata negara dalam melakukan total diplomacy. Thailand adalah salah satu negara yang memfungsikan pekerja migrannya untuk menarik wisatawan mancanegara. Sedikitnya 14,5 juta wisatawan mancanegara datang ke Thailand tahun 2007 dan menempati urutan ke-18 dalam World Tourism Rangkings.
Kita juga perlu belajar dari kesuksesan China. Salah satu faktor penyebab kesuksesannya dalam membangun hegemoni dunia adalah keberadaan warga keturunan China diseluruh dunia. Persebaran yang telah dilakukan sejak berbagai abad sebelumnya, kini terbukti menjadi jejaring sosial yang mampu dimanfaatkan untuk membangun eksistensi bisnis China di negara lain.
Indonesia sendiri telah memiliki peluang untuk membangun persebaran penduduk di seluruh dunia, salah satunya melalui eksistensi TKI. Tentunya, negara perlu mendampingi proses ini. (10)
— Pamungkas Ayudhaning Dewanto, peneliti masalah hubungan internasional pada Departemen Hubungan Internasional FISIP UI
Penulis kurang sepakat jika keberadaan TKI hanya disebut sebagai pahlawan devisa yang memiliki asosiasi seolah-oleh menjadi bahan eksplotasi negara dalam meraup devisa. Terlebih jika dalam pencapaiannya harus melalui kekerasan fisik seperti pengalaman Sumiati, TKI dari NTB, apalagi Kikim Komalasari, TKI dari Jabar, yang diketahui telah meninggal dunia secara mengenaskan. Merekalah yang secara konkret melakukan berbagai kemajuan-kemajuan kecil yang nyata di daerahnya masing-masing.
Sayangnya, negara terkesan kurang menyadari bahwa di punggung merekalah pemerintah dapat mempermudah tugasnya dalam mencapai target-target pembangunan daerah. Birokratisasi proses pengiriman tenaga kerja, tidak transparannya proses pengiriman dan kepengurusan, orientasi pendapatan para PJTKI, serta kurangnya pendampingan pada saat berada di negara tujuan merupakan refleksi dari lemahnya komitmen negara ini dalam memprioritaskan peran mereka.
Tidak pula ada strategi terintegrasi dalam melakukan percepatan pembangunan melalui pengiriman jasa tenaga kerja ini. Pertama; tidak terdengar pemerintah melakukan evaluasi jangka panjang serius terhadap proses pelaksanaan dan negara tujuan pekerja. Jika kasus kekerasan terhadap pekerja seperti halnya terjadi terhadap Kikim dan Sumiati kerap terjadi dan hanya direspons dengan sekadar membagikan ponsel, sesungguhnya negara telah lepas tangan terhadap potensi kasus serupa di kemudian hari.
Kedua; besarnya potensi pekerja (labor force) semacam ini seharusnya direspons bukan hanya dengan 200 jam pelatihan yang dipersiapkan bersifat reaktif menjelang keberangkatan TKI oleh Kemenakertrans. Tentu tidak cukup dalam waktu sesingkat ini mempelajari bahasa, budaya, dan kebiasaan di lokasi kerja. Apalagi jika tingkat pendidikan calon pekerja pada dasarnya kurang memadai.
Karenanya diperlukan langkah terintegrasi yang melibatkan institusi pendidikan dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan keterampilan mereka. Bukan hanya dipersiapkan secara reaktif menjelang keberangkatan melainkan juga struktural yang dirancang berbulan-bulan sebelumnya. Belajar dari negara maju yang sebagian besar pekerja migrannya dapat memperoleh posisi yang tinggi di tempat mereka bekerja, bukan hanya besarnya upah yang didapat, melainkan peran ini dimanfaatkan sekaligus untuk mempromosikan negara pada tataran people-to-people.
Aspek Perlindungan
Ketiga; penulis nyaris belum melihat KBRI di wilayah penempatan TKI memiliki visi yang jelas dalam mendorong peningkatan kualitas penempatan tenaga kerja, atau minimal menghasilkan studi kelayakan relokasi pekerja. Perannya hanya sebatas administratif dan protokoler. Padahal, kedubes adalah otoritas tertinggi negara dalam melakukan berbagai misi pembangunan di negara lain.
KBRI di Arab Saudi misalnya, jika kasus-kasus seperti halnya Sumiati tidak disorot oleh media Tanah Air, belum tentu melakukan perlindungan substantif terhadap TKW di negara itu. Buktinya, belakangan terungkap terjadinya banyak kekerasan dan tindakan pembiaran terhadap pekerja Indonesia oleh majikannya di negara tempat bekerja bahkan sebelum tragedi yang dialami Sumiati.
Dalam konteks yang lebih luas, keberadaan pekerja migran juga dapat dipersepsikan sebagai salah satu tindakan nyata negara dalam melakukan total diplomacy. Thailand adalah salah satu negara yang memfungsikan pekerja migrannya untuk menarik wisatawan mancanegara. Sedikitnya 14,5 juta wisatawan mancanegara datang ke Thailand tahun 2007 dan menempati urutan ke-18 dalam World Tourism Rangkings.
Kita juga perlu belajar dari kesuksesan China. Salah satu faktor penyebab kesuksesannya dalam membangun hegemoni dunia adalah keberadaan warga keturunan China diseluruh dunia. Persebaran yang telah dilakukan sejak berbagai abad sebelumnya, kini terbukti menjadi jejaring sosial yang mampu dimanfaatkan untuk membangun eksistensi bisnis China di negara lain.
Indonesia sendiri telah memiliki peluang untuk membangun persebaran penduduk di seluruh dunia, salah satunya melalui eksistensi TKI. Tentunya, negara perlu mendampingi proses ini. (10)
— Pamungkas Ayudhaning Dewanto, peneliti masalah hubungan internasional pada Departemen Hubungan Internasional FISIP UI
Opini Suara Merdeka 18 Desember 2010