Tanggal 18 Desember 2010 adalah Hari Buruh Migran Sedunia bertepatan dengan 20 tahun kelahiran Konvensi Internasional untuk Perlindungan Hak-hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya. Momentum ini merupakan saat yang tepat untuk menegaskan kembali agenda perlindungan hak-hak buruh migran saat kekerasan terhadap buruh migran, terutama pekerja rumah tangga migran Indonesia, terus terjadi.
Dalam menghadapi kekerasan yang dialami oleh pekerja rumah tangga (PRT) migran Indonesia di luar negeri, setiap kali pula muncul tuntutan agar Indonesia menghentikan penempatan PRT migran Indonesia keluar negeri.
Alasannya bisa bermacam- macam: karena mereka berpendidikan rendah dan tidak berketerampilan, masuk kategori sektor informal, hingga argumentasi moralis bahwa ”mengirim babu keluar negeri merendahkan martabat bangsa”. Tulisan ini mencoba menyikapi secara kritis tuntutan-tuntutan tersebut dalam perspektif penegakan hak asasi manusia, khususnya hak perempuan dan hak buruh migran.
Dalam konstruksi sosial yang patriarkis, penghargaan terhadap kerja sangatlah diskriminatif. PRT migran mengalami diskriminasi yang berlapis-lapis sehingga kerentanan yang dihadapinya bertumpuk-tumpuk.
Sebagai perempuan, PRT migran distigma sebagai pekerja yang penurut, didiskriminasi dalam skema pengupahan, dan rentan mengalami kekerasan berbasis jender (pelecehan seksual dan perkosaan).
Sebagai pekerja asing, PRT migran berhadapan dengan sistem keimigrasian yang restriktif dan politik xenophobia yang semakin hari semakin berkembang.
Sebagai pekerja di sektor yang belum terlindungi dalam hukum perburuhan, PRT migran berhadapan dengan situasi kerja yang tidak layak, tak bisa berserikat, dan sulit untuk menikmati hari libur.
Kehilangan argumen
Dengan mengupas akar masalah yang sedemikian kompleks yang dihadapi oleh PRT migran Indonesia, kita didorong untuk mencari jalan keluar yang komprehensif tanpa harus turut serta menghakimi dan menjatuhkan vonis melarang perempuan-perempuan Indonesia bekerja sebagai PRT migran keluar negeri.
Bekerja keluar negeri adalah hak asasi manusia yang harus dihargai dan merupakan kewajiban dari negara untuk memastikan pelaksanaan hak tersebut terpenuhi dan terlindungi.
Pemerintah punya peran penting dalam mengonstruksi sesat pikir soal PRT migran. Keengganan pemerintah (bersama parlemen) untuk menyusun Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga semakin memperpanjang kerentanan pekerja rumah tangga karena tak tercakup dalam skema perlindungan hukum perburuhan. Dalam diplomasi perlindungan PRT migran, Indonesia juga akan kehilangan argumen jika ditantang balik mengenai perlindungan PRT di Indonesia sendiri.
Konstruksi sesat pikir yang juga terus dibangun oleh pemerintah adalah dengan menyebut PRT migran sebagai pekerja tak berketerampilan (unskilled) dan informal. Dikotomi skilled dan unskilled dikritik kalangan feminis sebagai bentuk diskriminasi pekerjaan yang mempunyai implikasi pada pengupahan. Sementara konsep informal tak beda jauh sebenarnya dengan konsep tak resmi (ilegal). Ini merupakan bentuk penghindaran negara dalam memenuhi hak-hak normatifnya. Dalam demografi angkatan kerja, mayoritas pekerja yang dikonstruksikan sebagai unskilled dan informal itu adalah perempuan.
Di negara-negara yang memberikan pengakuan kesetaraan pada pekerja rumah tangga (baik dalam UU Perburuhan maupun UU Perlindungan PRT), tak ada lagi penyebutan diskriminatif terhadap pekerja rumah tangga sebagai pekerja unskilled dan informal.
Dalam berbagai kesempatan, para pejabat negara selalu menyatakan bahwa Indonesia bertekad untuk mengurangi penempatan buruh migran yang unskilled dan nonformal dan berupaya meningkatkan penempatan buruh migran skilled di sektor formal untuk meningkatkan penerimaan remitansi. Pernyataan ini jelas merupakan ancaman terhadap pemenuhan hak kaum perempuan Indonesia untuk bekerja.
Ironisnya (atau lebih tepat kurang ajarnya), selama lebih kurang 40 tahun Pemerintah Indonesia menikmati remitansi jerih keringat PRT migran Indonesia yang merupakan wajah utama buruh migran Indonesia. Kebijakan resmi pertama Pemerintah Indonesia dalam penempatan buruh migran adalah pengiriman PRT migran ke Arab Saudi pada dekade 1970-an. Kebijakan ini memanfaatkan keresahan Pemerintah Arab Saudi dalam menghadapi PRT migran asal Filipina yang menuntut kondisi kerja dan upah layak.
Kondisi ini dijadikan peluang oleh Pemerintah Indonesia untuk menawarkan ”keunggulan komparatif” PRT migran Indonesia. Keunggulan komparatif itu adalah: bersedia dibayar murah dan penurut. Dengan modal keunggulan komparatif itulah sampai sekarang Indonesia mendominasi pasar tenaga kerja sektor PRT migran di kawasan Timur Tengah dan Asia Pasifik.
Realitas ini memperlihatkan bahwa Pemerintah Indonesia sendiri menginginkan agar PRT migran Indonesia ”tetap layak jual” sehingga tak perlu memperjuangkan adanya standar upah yang layak serta tuntutan pemenuhan hak-hak normatif sebagai pekerja.
Memberi pengakuan
Sudah saatnya Pemerintah Indonesia mengakhiri eksploitasi terhadap PRT migran Indonesia sebagai komoditas yang memiliki keunggulan komparatif serta berhenti mendiskriminasi mereka sebagai pekerja unskilled dan informal. Pemenuhan hak-hak PRT migran harus dimulai dengan memberikan pengakuan bahwa pekerja rumah tangga (bukan pembantu rumah tangga) adalah pekerja yang dilindungi oleh hukum perburuhan.
Dengan adanya pengakuan tersebut, negara memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan kualitas kerja pekerja rumah tangga, menjamin upah yang layak, serta memiliki hak untuk berserikat. Dalam hal penempatan PRT migran keluar negeri, negara dituntut untuk memaksimalkan diplomasi perlindungan dan memastikan PRT migran bekerja di tempat yang aman.
Pada bulan Juni 2011, Organisasi Buruh Internasional (ILO) akan menyelenggarakan International Labour Conference dengan agenda utama penetapan Konvensi ILO tentang Pekerja Rumah Tangga. Konvensi ini menjadi penegas bahwa pekerja rumah tangga adalah profesi yang diakui dalam hukum perburuhan dan setara dengan profesi-profesi yang lain.
Untuk mengakhiri sesat pikir soal PRT migran yang selama ini melegitimasi eksploitasi dan diskriminasi PRT migran, Indonesia mutlak harus meratifikasi Konvensi ILO tentang Pekerja Rumah Tangga dan Konvensi Internasional untuk Perlindungan Hak-hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya.
Wahyu Susilo Analis kebijakan Migrant CARE dan Program Manager INFID
OPini KOmpas 18 Desember 2010