17 Desember 2010

» Home » Opini » Pikiran Rakyat » "Mendadak Bambu"

"Mendadak Bambu"

Oleh H. HERDIWAN

Alat musik angklung yang merupakan khazanah budaya Indonesia, pada sidang ke-5 Inter-Governmental Committe UNESCO di Nairobi, Kenya, 16 November 2010, ditetapkan sebagai The Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity. Peristiwa itu tentu kebanggaan bagi bangsa Indonesia, khususnya warga Jawa Barat, karena membuktikan betapa kekayaan budaya Indonesia memang sejajar dengan kehebatan budaya negara lainnya.

Selama ini kebanyakan dari kita memandang remeh milik sendiri dan teramat silau akan budaya orang lain. Lihat saja, program kegiatan di lembaga yang menangani kebudayaan, nyaris tidak ada gereget bagaimana seharusnya kegiatan dalam rangka sukacita menyambut angklung yang ditetapkan sebagai warisan dunia itu. Demikian pula di lembaga yang menangani konservasi lahan tidak mengadakan program penggalakkan penanaman bambu di lahan kritisnya. Di samping mengatasi kekrititisan lahan, bambu siap menopang ketika--siapa tahu-- angklung menjadi booming karena ingin dimiliki dan dimainkan masyarakat secara luas.

Si multifungsi

Angklung merupakan salah satu rumpun kesenian yang lahir di Jawa Barat, yang menggunakan alat musik dari bambu. Jenis bambu yang dipakai biasanya menggunakan awi wulung (bambu hitam) dan awi temen (bambu putih). Setiap nada yang dihasilkan dari bunyi tabung bambu yang berbentuk wilahan dari ukuran kecil, sedang, hingga besar, akan membentuk irama lagu yang mengasyikkan. Kendati muncul pertama kali di Jawa Barat, angklung dalam perkembangannya, berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatra.

Beragam peralatan dari bambu ini ternyata selalu berada dalam perikehidupan orang Jawa Barat. Sejak manusia Jawa Barat dilahirkan sudah bersentuhan dengan bambu, karena begitu lahir, ari-arinya dipotong oleh serpih bambu. Saat anak-anak bermain dengan permainan dengan bahan bambu. Orang Jawa Barat juga memasak nasi menggunakan aseupan untuk meniup bahan bakar memasak agar apinya menyala, mendinginkan nasi agar pulen menggunakan hihid, lalu ketika makan ditemani sayur yang sangat sedap yaitu lodeh rebung (bambu ater--Gigantochloa atter, bambu betung--Dendrocalamus asper, bambu duri--Bambusa blumeana, dan bambu hitam--Gigantochloa atriviolacea), usaha dagang (bacang dan keranjang tahu), semua menggunakan bahan dari bambu.

Boleh jadi ketika anda telat pulang malam ke rumah, mungkin oleh sang istri, siapa tahu anda akan di-papag oleh iwing-iwing paneunggeul, yang materinya dari bambu juga. Bahkan ketika jasad sudah terbujur kaku, ketika menuju peristirahatan terakhir berupa "rumah masa depan", diangkutnya menggunakan tempat berbahan bambu pula.

Budidaya bambu juga memiliki peranan yang mampu mencegah longsornya lahan. Selama ini, penghijauan lahan selalu dengan upaya penanaman pohon yang menjadi favorit lembaga maupun masyarakat, yaitu albisia, yang kita kenal sebagai sengon alias jeungjing (Albizia falcataria). Minat masyarakat untuk membudidayakan albisia semakin tinggi, karena memiliki nilai jual tinggi, tetapi di lain pihak, justru tanaman inilah yang menjadi salah satu penyebab bencana longsor.

Mengapa demikian? Karena sengon memiliki nilai ekonomi tinggi, walau masih berumur di bawah 10 tahun, pasti sudah ditebang habis. Karena tidak pernah menjadi tua, akar tunggangnya belum sempat menembus lapisan tanah yang lebih keras. Tanah di bawah tegakan albisia/sengon, terutama tanah liat, akan menjadi jenuh air apabila curah hujan tinggi. Beban batang dan tajuk tanaman di atas permukaan tanah, juga ikut mendorong terjadinya longsor.

Jenis bambu, sebenarnya akan lebih menguntungkan. Pertama, secara finansial hasil dari satu hektare lahan yang ditanami bambu, lebih besar dibandingkan dengan lahan yang ditanami albisia/sengon, mengingat setelah bisa dipanen pada tahun ketiga, selanjutnya akan bisa dipanen terus tanpa perlu penanaman ulang. Indonesia tercatat memiliki 142 jenis bambu yang sebagian besar rebungnya enak dimakan.

Kedua, tanaman bambu yang selalu membentuk rumpun dengan sistem perakarannya yang tumbuh sangat rapat dan serabut, menjadikan lahan gembur dan menyerap air sangar cepat. Dalam kondisi curah hujan sangat tinggi, tanah di sekitar rumpun bambu tidak akan jenuh air. Sebab air dari curah hujan yang sangat tinggi itu akan diresapkan dalam jangka waktu sangat cepat. Sangat bagus jika penanaman bambu dilakukan di media sabuk gunung, sehingga longsor/gerakan tanah akan tertahan.

Dengan dua keuntungan ditambah nilai "plus", yakni keuntungan finansial dan keuntungan ideal sebagai penyelamat lingkungan, serta melestarikan kebudayaan angklung, maka sudah saatnya, sebagai penguasa lahan terluas baik Perum Perhutani maupun PT Perkebunan Nusantara (PTPN), melakukan pengayaan bambu pada areal tanaman pokoknya, agar kemudian bisa dicontoh oleh masyarakat secara luas.

Falsafah hidup

Mengapa bambu tidak tumbang atau patah batangnya ketika diterpa badai atau angin topan? Apakah karena akarnya dalam? Bukan, akar pohon pinus lebih dalam. Apakah karena batangnya lebih kuat? Bukan juga, pohon jati lebih kuat batangnya. Rahasia ketahanan bambu terletak pada sikapnya. Ketika diterpa badai, pohon-pohon lain berdiri kaku dan tegak seakan-akan menantang kekuatan angin. Akibatnya ranting dan batangnya bisa patah. Sebaliknya, bambu justru merunduk. Bambu membiarkan diri diarahkan oleh tiupan angin sampai termiring-miring. Batang bambu bersifat lentur, bisa berlekuk dan melengkung. Sifat lentur itu menyebabkan pohon bambu mampu bertahan dalam badai dan topan. Sifat lentur itu memulihkan kembali sikap tegak bambu setelah badai berlalu. Bukan berarti bahwa bambu menyerah pada angin, tetapi itu strategi bertahan. Bersikaplah lentur sebagaimana bambu, agar kita bisa bertahan menghadapi cobaan.

Sangat layak bila kemudian kita "mendadak bambu", paling tidak di Jawa Barat ini, yang konon tempat lahirnya angklung. Karena kalau kita adem ayem saja, jangan salahkan Malaysia lagi jika jiran kita itu yang menangkap peluang tersebut. Jangan biarkan Malaysia kelak berkata "Biar angklung tidak jadi milik Malaysia tetapi ketika anda akan bikin angklung, maka anda akan meminta bahan bakunya kepada ke kami".

Alamak.......!.

Penulis, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat.
Opini PIkiran Rakyat 18 Desember 2010