SETIA kawan sebagai salah satu bentuk kepedulian perlu terus ditumbuhkan melalui pelbagai cara. Kepedulian bahwa kesengsaraan, bahkan maut yang bisa dihadapi TKI/ TKW, merupakan ekses dari adanya perdagangan manusia. Kasus pembantu rumah tangga (PRT) yang meninggal atau disekap di luar negeri (di Malaysia dan Arab Saudi) yang belakangan banyak diberitakan media massa, harus ditindaklanjuti secara jelas oleh semua pihak.
Yang dimaksud semua pihak bukan hanya pemerintah (Kemenakertrans) melainkan semua elemen bangsa, bisa kelompok masyarakat berbentuk LSM, orsos, ormas, serta komunitas lain dan perorangan yang peduli.
Apa yang disebut dengan perdagangan manusia? Menurut UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang dimaksud adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara ataupun antaragama, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Umumnya yang berperan besar dalam kasus TKI/ TKW adalah perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) yang ’’berburu’’ orang yang bisa dibujuk dengan iming-iming gaji tinggi. Kepada calon TKI itu hanya diceriterakan akan menerima gaji sekitar Rp 2 juta per bulan, tanpa dijelaskan risiko yang mungkin diterimanya karena bahasa yang tidak dimengerti. Atau karena tidak mampu menggunakan peralatan canggih, kenakalan majikan yang tak membayar seperti perjanjian semula, kemarahan majikan yang tidak puas dengan hasil kerja atau sikap TKI, atau juga pelecehan seks.
Pemalsuan umur, peminjaman uang untuk biaya pembuatan paspor dan sebagainya yang dianggap sebagai utang, hakikatnya sebagai penjerat. Penampungan di tempat yang disediakan oleh biro jasa dan larangan keluar rumah sama halnya dengan penyekapan. Untuk keluar dari tempat penampungan, TKI/ TKW harus mengganti dengan jutaan rupiah. Masih di dalam negeri sudah diperlakukan seperti itu dan mereka tidak berdaya.
Punya Keahlian Memang tidak semua nasib TKI di Malaysia menderita seperti Nirmala Bonat (asal Kupang NTT; kasusnya terungkap/ terjadi sekitar 19 Mei 2004) Ceriyati (Brebes; 16 Juni 2007), Sri Hermawati (Sukabumi; 28 Juni 2008), Heni Indriyani (Lampung; 10 September 2010), Aprima Dewi (Sumatera Utara; 30 Oktober 2008), Dani Ikhsan (Tasikmalaya; 20 September 2008), Eva Murni Hutabarat (Tanjung Balai Sumatra Utara; 28 Desember 2008), Ismail (Lombok Timur, NTB; 5 Juni 2009), Siti Hajar (Garut; 7 Juni 2009). Mereka itu mengalami kekerasan (SM, 18/ 11/10, mengutip data BNP2TKI).
Sementara korban di Arab Saudi antara lain Etin Sumiyati (Lampung Timur; 24 Maret 2010), Siti Nurjanah (Ngawi; 25 Oktober 2010), Rumini (Cimande, Bogor; 9 September 2010) dan Sumiati (Bima, NTB; Juli 2010). Juga lima TKI dari Desa Dunggua, Kabupaten Konawe, Sulteng diperkosa di Arab Saudi, terjadi tahun 2008-2010.
Fenomena gunung es membuat orang-orang yang peduli menjadi bergidik. Yang tampak di permukaan seperti itu, yang tidak terlihat? Kemiskinan dan ketidaktahuan umumnya mendasari kenekatan TKW mengadu nasib di negara ’’panas’’ (istilah penulis untuk negara yang sering menyengsarakan TKI) masih sulit ditanggulangi, maka harus ada pihak lain yang berbuat sesuatu.
Misalnya, yang bisa dilakukan dalam lingkup paling kecil di lingkungan adalah kepekaan dan kepedulian pada nasib orang kecil, misalnya dengan memberi pekerjaan sesuai kebutuhan pada perempuan. Apakah sebagai tenaga cuci, mengasuh anak, sopir antar jemput dan lain-lain. Memanfaatkan orang-orang sekitar lebih menguntungkan karena pasti lebih mengetahui tentang apa dan siapa orang tersebut.
Menyelenggarakan tempat penitipan anak (TPA), yang penulis maksud adalah TPA perorangan, atau dikelola RW/ PKK/ kelurahan. Jika ini bisa diselenggarakan, berarti juga membuka lapangan kerja. Bekerja di luar negeri sebagai seorang ahli okelah. Jika memiliki keahlian tertentu, pasti lebih matang pemikirannya, dan tahu jika akan dicelakai, serta bisa mencari pertolongan. (10)
— Humaini As, Ketua Yayasan Kepodang/ Koalisi Komunikasi Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KKP3A)
Yang dimaksud semua pihak bukan hanya pemerintah (Kemenakertrans) melainkan semua elemen bangsa, bisa kelompok masyarakat berbentuk LSM, orsos, ormas, serta komunitas lain dan perorangan yang peduli.
Apa yang disebut dengan perdagangan manusia? Menurut UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang dimaksud adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara ataupun antaragama, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Umumnya yang berperan besar dalam kasus TKI/ TKW adalah perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) yang ’’berburu’’ orang yang bisa dibujuk dengan iming-iming gaji tinggi. Kepada calon TKI itu hanya diceriterakan akan menerima gaji sekitar Rp 2 juta per bulan, tanpa dijelaskan risiko yang mungkin diterimanya karena bahasa yang tidak dimengerti. Atau karena tidak mampu menggunakan peralatan canggih, kenakalan majikan yang tak membayar seperti perjanjian semula, kemarahan majikan yang tidak puas dengan hasil kerja atau sikap TKI, atau juga pelecehan seks.
Pemalsuan umur, peminjaman uang untuk biaya pembuatan paspor dan sebagainya yang dianggap sebagai utang, hakikatnya sebagai penjerat. Penampungan di tempat yang disediakan oleh biro jasa dan larangan keluar rumah sama halnya dengan penyekapan. Untuk keluar dari tempat penampungan, TKI/ TKW harus mengganti dengan jutaan rupiah. Masih di dalam negeri sudah diperlakukan seperti itu dan mereka tidak berdaya.
Punya Keahlian Memang tidak semua nasib TKI di Malaysia menderita seperti Nirmala Bonat (asal Kupang NTT; kasusnya terungkap/ terjadi sekitar 19 Mei 2004) Ceriyati (Brebes; 16 Juni 2007), Sri Hermawati (Sukabumi; 28 Juni 2008), Heni Indriyani (Lampung; 10 September 2010), Aprima Dewi (Sumatera Utara; 30 Oktober 2008), Dani Ikhsan (Tasikmalaya; 20 September 2008), Eva Murni Hutabarat (Tanjung Balai Sumatra Utara; 28 Desember 2008), Ismail (Lombok Timur, NTB; 5 Juni 2009), Siti Hajar (Garut; 7 Juni 2009). Mereka itu mengalami kekerasan (SM, 18/ 11/10, mengutip data BNP2TKI).
Sementara korban di Arab Saudi antara lain Etin Sumiyati (Lampung Timur; 24 Maret 2010), Siti Nurjanah (Ngawi; 25 Oktober 2010), Rumini (Cimande, Bogor; 9 September 2010) dan Sumiati (Bima, NTB; Juli 2010). Juga lima TKI dari Desa Dunggua, Kabupaten Konawe, Sulteng diperkosa di Arab Saudi, terjadi tahun 2008-2010.
Fenomena gunung es membuat orang-orang yang peduli menjadi bergidik. Yang tampak di permukaan seperti itu, yang tidak terlihat? Kemiskinan dan ketidaktahuan umumnya mendasari kenekatan TKW mengadu nasib di negara ’’panas’’ (istilah penulis untuk negara yang sering menyengsarakan TKI) masih sulit ditanggulangi, maka harus ada pihak lain yang berbuat sesuatu.
Misalnya, yang bisa dilakukan dalam lingkup paling kecil di lingkungan adalah kepekaan dan kepedulian pada nasib orang kecil, misalnya dengan memberi pekerjaan sesuai kebutuhan pada perempuan. Apakah sebagai tenaga cuci, mengasuh anak, sopir antar jemput dan lain-lain. Memanfaatkan orang-orang sekitar lebih menguntungkan karena pasti lebih mengetahui tentang apa dan siapa orang tersebut.
Menyelenggarakan tempat penitipan anak (TPA), yang penulis maksud adalah TPA perorangan, atau dikelola RW/ PKK/ kelurahan. Jika ini bisa diselenggarakan, berarti juga membuka lapangan kerja. Bekerja di luar negeri sebagai seorang ahli okelah. Jika memiliki keahlian tertentu, pasti lebih matang pemikirannya, dan tahu jika akan dicelakai, serta bisa mencari pertolongan. (10)
— Humaini As, Ketua Yayasan Kepodang/ Koalisi Komunikasi Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KKP3A)
Wacana Suara Merdeka 18 Desember 2010