Oleh Ajip Rosidi
Salah satu kesulitan bagi orang asing mempelajari bahasa Indonesia, ialah mencari kata dasar. Seperti diketahui dalam bahasa Indonesia, kata-kata itu terdiri dari kata dasar dan kata jadian, yaitu kata dasar yang diberi imbuhan. Kalau imbuhan itu berupa sisipan atau akhiran, tidak jadi masalah karena tidak mempengaruhi tempatnya dalam kamus. Akan tetapi, kalau imbuhan itu berupa awalan yang jumlah macamnya lumayan banyak seperti ber-, me-, men-, meng-, mem, ter, per, di, dll., timbul kesulitan, apalagi kalau awalan itu meluluhkan konsonan pertama kata dasarnya seperti memakai, mengutip, menaksir, dll. Padahal semua lema kamus berdasarkan kata dasar.
Awalan me- meluluhkan huruf pertama kata dasar yang dimulai dengan konsonan tertentu, yaitu konsonani p, k, dan t, dan memberi bunyi sengau sebagai gantinya, sehingga pukul menjadi memukul, pikir menjadi memikirkan, pukat menjadi memukat, karang menjadi mengarang, kutip menjadi mengutip, kira menjadi mengira, takar menjadi menakar, tanding menjadi menandingi, tukar menjadi menukar, dll.
Maka kalau menemukan kata memukau, bagaimana akan mengetahui bahwa kata dasarnya pukau?
Akan tetapi , tidak semua kata yang dimulai dengan konsonan-konsonan tersebut menjadi luluh walaupun terjadi proses penyengauan misalnya mempunyai, mempedulikan, mempidanakan, mentaati, dan sejumlah kata lagi. Terutama kata-kata serapan yang belum menjadi pribumi, konsonan awalnya tidak luluh, walaupun mendapat awalan me- dengan penyengauan seperti mempraktikkan, mempublikasikan, menteror, mentolerir, mentraktir, dll. Untuk kata-kata yang masih mempertahankan konsonan awalnya, niscaya tidak begitu sukar untuk mengetahui kata dasarnya.
Dalam hal ini aturan bahasa Indonesia berlainan dengan bahasa Sunda (atau Jawa), yang meluluhkan semua konsonan awalnya seperti peuyeum menjadi meuyeum, poe menjadi moe, tarik menjadi narik, tuluy menjadi nuluy(keun), balik menjadi malik, beuleum menjadi meuleum dll. Dengan kata lain, dalam bahasa Sunda (dan Jawa) semua kata dasar yang mengalami awalan m dan penyengauan, konsonan awalnya menjadi luluh. Tidak ada kecualinya. Sedangkan dalam bahasa Melayu yang kemudian menjadi Indonesia, ada kekecualian. Jumlah kata yang tak luluh konsonan awalnya itu tidak banyak, sehingga sebenarnya tidak memberatkan. Yang menimbulkan soal ialah karena dalam buku-buku tata bahasa dan buku pelajaran bahasa Indonesia, tidak pernah ada yang mencantumkan daftar kata yang merupakan kekecualian itu seperti kita dapati daftar irregular verbs dalam buku-buku tata bahasa dan buku-buku pelajaran bahasa Inggris. Akibatnya wartawan yang entah karena malas entah karena terpengaruh oleh bahasa Sunda atau Jawa, meluluhkan semua konsonan awal kalau mendapat awalan me- sengau sehingga mempunyai ditulis memunyai, mempedulikan ditulis memedulikan, mempidanakan ditulis memidanakan, dll. Begitu juga kata-kata serapan dari bahasa asing yang belum mempribumi semua konsonan awalnya menjadi luluh sehingga kita baca memraktekkan, memublikasikan, meneror, menolerir, menraktir, dll.
Cara penulisan demikian yang dimulai oleh wartawan sebuah surat kabar terkemuka di Jakarta itu, dengan cepat diikuti oleh para wartawan surat-surat kabar lain baik di Jakarta maupun di kota-kota lain, sehingga dianggap sudah menjadi ketentuan. Hal itu niscaya akan besar pengaruhnya kepada masyarakat pemakai bahasa Indonesia yang membaca surat-surat kabar itu. Bahkan sejak beberapa lama para editor buku pun telah mengikutinya, sehingga praktik demikian tidak hanya terdapat dalam surat-surat kabar, melainkan juga dalam buku-buku, meskipun belum ada buku tata bahasa dan buku pelajaran bahasa Indonesia yang mengaturnya.
Yang membingungkan ialah karena akibatnya semua kata yang bukan kata dasar juga konsonan awalnya menjadi hilang seperti memperbaiki menjadi ditulis memerbaiki, memperhalus menjadi ditulis memerhalus, memperindah menjadi ditulis memerindah, dll. Padahal konsonan p pada per di situ, bukan kata dasar, melainkan awal per.
Hal itu hanya menunjukkan bahwa mencari dan mengenali kata dasar dalam bahasa Indonesia itu tidak mudah, jangankan orang asing yang baru mulai mempelajarinya, bahkan orang Indonesia sendiri, malahan pula wartawan yang seharusnya telah menguasai bahasa Indonesia dengan baik, masih menghadapi kesukaran dalam membedakan mana kata dasar dan mana awalan.
Maka seharusnya hal itu ditetapkan dalam tata bahasa dan dalam buku-buku pelajaran bahasa Indonesia disertakan daftar kata-kata terkecuali itu, yaitu kata-kata dasar yang konsonan awalnya tidak luluh kalau mendapat awalan me- sengau. Agar orang yang mempelajari bahasa Indonesia tahu mana kata yang dikecualikan itu.***
Penulis, budayawan.
Salah satu kesulitan bagi orang asing mempelajari bahasa Indonesia, ialah mencari kata dasar. Seperti diketahui dalam bahasa Indonesia, kata-kata itu terdiri dari kata dasar dan kata jadian, yaitu kata dasar yang diberi imbuhan. Kalau imbuhan itu berupa sisipan atau akhiran, tidak jadi masalah karena tidak mempengaruhi tempatnya dalam kamus. Akan tetapi, kalau imbuhan itu berupa awalan yang jumlah macamnya lumayan banyak seperti ber-, me-, men-, meng-, mem, ter, per, di, dll., timbul kesulitan, apalagi kalau awalan itu meluluhkan konsonan pertama kata dasarnya seperti memakai, mengutip, menaksir, dll. Padahal semua lema kamus berdasarkan kata dasar.
Awalan me- meluluhkan huruf pertama kata dasar yang dimulai dengan konsonan tertentu, yaitu konsonani p, k, dan t, dan memberi bunyi sengau sebagai gantinya, sehingga pukul menjadi memukul, pikir menjadi memikirkan, pukat menjadi memukat, karang menjadi mengarang, kutip menjadi mengutip, kira menjadi mengira, takar menjadi menakar, tanding menjadi menandingi, tukar menjadi menukar, dll.
Maka kalau menemukan kata memukau, bagaimana akan mengetahui bahwa kata dasarnya pukau?
Akan tetapi , tidak semua kata yang dimulai dengan konsonan-konsonan tersebut menjadi luluh walaupun terjadi proses penyengauan misalnya mempunyai, mempedulikan, mempidanakan, mentaati, dan sejumlah kata lagi. Terutama kata-kata serapan yang belum menjadi pribumi, konsonan awalnya tidak luluh, walaupun mendapat awalan me- dengan penyengauan seperti mempraktikkan, mempublikasikan, menteror, mentolerir, mentraktir, dll. Untuk kata-kata yang masih mempertahankan konsonan awalnya, niscaya tidak begitu sukar untuk mengetahui kata dasarnya.
Dalam hal ini aturan bahasa Indonesia berlainan dengan bahasa Sunda (atau Jawa), yang meluluhkan semua konsonan awalnya seperti peuyeum menjadi meuyeum, poe menjadi moe, tarik menjadi narik, tuluy menjadi nuluy(keun), balik menjadi malik, beuleum menjadi meuleum dll. Dengan kata lain, dalam bahasa Sunda (dan Jawa) semua kata dasar yang mengalami awalan m dan penyengauan, konsonan awalnya menjadi luluh. Tidak ada kecualinya. Sedangkan dalam bahasa Melayu yang kemudian menjadi Indonesia, ada kekecualian. Jumlah kata yang tak luluh konsonan awalnya itu tidak banyak, sehingga sebenarnya tidak memberatkan. Yang menimbulkan soal ialah karena dalam buku-buku tata bahasa dan buku pelajaran bahasa Indonesia, tidak pernah ada yang mencantumkan daftar kata yang merupakan kekecualian itu seperti kita dapati daftar irregular verbs dalam buku-buku tata bahasa dan buku-buku pelajaran bahasa Inggris. Akibatnya wartawan yang entah karena malas entah karena terpengaruh oleh bahasa Sunda atau Jawa, meluluhkan semua konsonan awal kalau mendapat awalan me- sengau sehingga mempunyai ditulis memunyai, mempedulikan ditulis memedulikan, mempidanakan ditulis memidanakan, dll. Begitu juga kata-kata serapan dari bahasa asing yang belum mempribumi semua konsonan awalnya menjadi luluh sehingga kita baca memraktekkan, memublikasikan, meneror, menolerir, menraktir, dll.
Cara penulisan demikian yang dimulai oleh wartawan sebuah surat kabar terkemuka di Jakarta itu, dengan cepat diikuti oleh para wartawan surat-surat kabar lain baik di Jakarta maupun di kota-kota lain, sehingga dianggap sudah menjadi ketentuan. Hal itu niscaya akan besar pengaruhnya kepada masyarakat pemakai bahasa Indonesia yang membaca surat-surat kabar itu. Bahkan sejak beberapa lama para editor buku pun telah mengikutinya, sehingga praktik demikian tidak hanya terdapat dalam surat-surat kabar, melainkan juga dalam buku-buku, meskipun belum ada buku tata bahasa dan buku pelajaran bahasa Indonesia yang mengaturnya.
Yang membingungkan ialah karena akibatnya semua kata yang bukan kata dasar juga konsonan awalnya menjadi hilang seperti memperbaiki menjadi ditulis memerbaiki, memperhalus menjadi ditulis memerhalus, memperindah menjadi ditulis memerindah, dll. Padahal konsonan p pada per di situ, bukan kata dasar, melainkan awal per.
Hal itu hanya menunjukkan bahwa mencari dan mengenali kata dasar dalam bahasa Indonesia itu tidak mudah, jangankan orang asing yang baru mulai mempelajarinya, bahkan orang Indonesia sendiri, malahan pula wartawan yang seharusnya telah menguasai bahasa Indonesia dengan baik, masih menghadapi kesukaran dalam membedakan mana kata dasar dan mana awalan.
Maka seharusnya hal itu ditetapkan dalam tata bahasa dan dalam buku-buku pelajaran bahasa Indonesia disertakan daftar kata-kata terkecuali itu, yaitu kata-kata dasar yang konsonan awalnya tidak luluh kalau mendapat awalan me- sengau. Agar orang yang mempelajari bahasa Indonesia tahu mana kata yang dikecualikan itu.***
Penulis, budayawan.
Opini Pikiran Rakyat 18 Desember 2010