17 Desember 2010

» Home » AnalisaDaily » Opini » Perguruan Tinggi Lokal dan Seleksi CPNS

Perguruan Tinggi Lokal dan Seleksi CPNS

Oleh : Dr. Budi Agustono
Dalam setiap kali berlangsung seleksi penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) jumlah pelamar terus meningkat. Meskipun salah satu persyaratan seleksi penerimaan CPNS adalah sarjana, tetapi itu tidak mennyurutkan pelamar mendaftarkan diri sebagai calon pegawai negeri.
Jumlah pendaftar terus membludak saat berlangsung penerimaan CPNS, malah jumlahnya jauh melebihi dari formasi yang disediakan. Meskipun formasi ketersediaan CPNS terbatas dalam setiap kali seleksi, mengingat membesarnya kaum terdidik ini ingin mendapat pekerjaan, maka mereka selalu menyerbu seleksi penerimaan CPNS.
Di Pemkot Medan misalnya, saat ini yang memasukkan lamaran mencapai ribuan orang, sedangkan formasi pegawai yang sediakan 342 orang. Jumlah pelamar boleh jadi akan terus bertambah mendekati hari-hari terakhir seleksi penerimaan. Membludaknya pelamar menunjukkan kaum terdidik lulusan perguruan tinggi terus membesar.
Sementara itu mereka masih banyak yang tidak terserap dalam lapangan pekerjaan di luar sektor pemerintah. Dengan demikian kaum terdidik ini menoleh dan mencoba mengadu peruntungan hidup menjadi pegawai negeri.
Tingginya minat menjadi pegawai negeri dan terbatasnya penerimaan CPNS membuka peluang untuk memperdagangkan seleksi penerimaan. Ditambah lagi jika proses seleksi penerimaan ini tidak transparan akan semakin membuka peluang spekulasi memperdagangkan penerimaan calon pegawai negeri. Dari sinilah berkumandang rumor sogok menyogok dalam proses seleksi itu.
Meskipun bertebaran rumor sogok menyogok, tetapi sepanjang pelamar tidak memiliki koneksi dan jaringan keluarga dengan pemegang kekuasaan lokal, walau siap membayar ratusan juta rupiah pelamar tidak akan bisa berbuat apa-apa karena tidak mempunyai makelar yang mengantarkan uang ratusan juta itu ke lorong kekuasaan. Mengingat proses penerimaan calon pegawai negeri tidak steril dari berbagai kepentingan tidak mengherankan kalau Pemkab dan Pemkot di Sumatera Utara melakukan seleksi pula dengan perguruan tinggi mana dapat bekerja sama dalam penerimaan calon pegawai negeri di wilayahnya.
Dalam kaitannya dengan penerimaan calon pegawai negeri Gubernur Sumatera Utara menghimbau Pemkab dan Pemkot agar menggandeng perguruan tinggi lokal dalam proses seleksi penerimaan pegawai negeri. Sampai saat ini baru Binjai, Asahan, dan Samosir yang meneken nota kesepahaman dengan USU untuk kerjasama seleksi pegawai negeri. Anehnya meski Pemkab Asahan telah membuat nota kesepahaman dengan perguruan tinggi lokal (USU), tetapi DPRD Asahan menolak menjalin kerja sama dengan USU dalam menyeleksi calon pegawai negeri sipil 2010 (Sindo, 26 November 2010).
Mungkin Pemkab dan Pemkot lainnya masih dalam penjajagan dan akan menyusul bekerja sama dengan perguruan tinggi lokal dalam waktu dekat ini. Namun begitu ada Pemkab dan Pemkot yang tidak atau belum bersedia menggandeng perguruan tinggi lokal (USU), tetapi memilih bekerja sama dengan perguruan tinggi lain di luar Sumatera Utara untuk seleksi penerimaan pegawai di wilayahnya. Sekalipun ada himbauan menggandeng perguruan tinggi lokal, tetapi wewenang kepada perguruan tinggi mana yang menjadi mitra dalam seleksi penerimaan pegawai negeri sepenuhnya berada di tangan kepala daerah.
Pada tahun 2009 USU bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Deli Serdang, Tebing Tinggi, Labuhan Batu, Tapanuli Selatan, dan Humbahas dalam seleksi penerimaan pegawai. Dalam kerja sama itu USU membuat soal, memeriksa lembar jawaban ujian, dan melakukan pemeringkatan kelulusan peserta. Semua proses ini terutama pemeriksaaan lembar jawaban ujian dan pemeringkatan peserta dilakukan di Pusat Sistem Informasi USU.
Pihak Pemrovsu dan Pemkab dapat menyaksikan langsung proses tersebut dan di luar ruang pemeriksaan lembar jawaban itu disediakan televisi monitor untuk mengetahui proses pemeriksaan jawaban. Tidak hanya Pemprovsu dan Pemkab yang menyaksikan proses tersebut, tetapi juga ada anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan DPRD Sumatera Utara yang melihat transparasi mekanisme pemeriksaan ini.
Karena proses pemeriksaan dikerjakan secara terbuka dan dapat disaksikan publik, termasuk dalam pemeringkatan kelulusan peserta maka dapat dipastikan kecil sekali seleksi penerimaan pegawai negeri yang bekerja sama dengan USU akan dicurangi.
Demikian pula pada saat hasil ujian diumumkan dan diserahkan ke Pemprovsu dan Pemkab peluang untuk mengotak-atik atau memanipulasi kelulusan peserta seleksi semakin tertutup. Jika ada nama dari hasil seleksi USU dinyatakan lulus, tetapi sampai di daerah diganti dengan nama lain, tentu akan menimbulkan kegaduhan publik.
Seleksi yang semacam ini menutup pihak manapun melakukan kecurangan dan lebih penting lagi menghindari praktik sogok menyogok dalam seleksi pegawai negeri. Kalaupun ada yang ingin "bermain" untuk meraup keuntungan sebelum pengumuman resmi, orang yang lulus dihubungi dengan meminta imbalan uang yang seolah-olah hasil jerih payahnya meluluskan orang yang dihubunginya itu. Padahal orang yang meminta imbalan uang sudah mengetahui kalau pelamar yang ingin dimangsanya sudah dinyatakan lulus dari proses seleksi USU.
Ironi
Seleksi penerimaan calon pegawai negeri seperti yang dilakukan perguruan tinggi lokal (USU) telah menciptakan proses seleksi yang terbuka, transparan, menghalau kesan sogok menyogok, dan memperkecil praktik kecurangan dalam penerimaan pegawai negeri. Proses seleksi yang terbuka dan transparan membuka kesempatan publik entah itu orang yang berpunya yang sering kali memiliki koneksi jaringan keluarga dengan pejabat daerah dan orang yang tidak berpunya yang tentu saja tidak mempunyai akses ke lorong kekuasaan karena tidak memiliki uang dan relasi saudara dengan pemegang kekuasaan, untuk saling berkompetisi dengan mengandalkan kecerdasan dan kepintaran untuk lulus menjadi calon pegawai negeri.
Di sini peserta tanpa membedakan kaya miskin, punya koneksi atau tidak dengan pemegang kekuasaan lokal menjadi tidak lagi relevan dan tidak bisa bekerja efektif karena dalam proses seleksi ini yang menjadi acuan adalah kepintaran dan kecerdasan atau meritokrasi. Siapapun dia jika mampu menjawab soal ujian dengan baik akan lulus menjadi calon pegawai negeri tanpa perlu mengeluarkan sejumlah uang. Dengan sistem seleksi yang terbuka seperti ini kabarnya kepala daerah mengeluh karena keluarganya sendiri yang ingin menjadi calon pegawai negeri tidak bisa diloloskannya.
Perguruan tinggi lokal (USU) telah memperlihatkan kinerja yang baik dan kredibel dalam proses seleksi calon pegawai negeri. Kinerja perguruan tinggi lokal (USU) yang kredibel ini bukannya tidak didengar dan diketahui oleh berbagai kepala daerah atau walikota di wilayah ini. Itu sebabnya sewaktu ada Pemkab atau Pemkot yang belum bersedia mengajak perguruan tinggi lokal (USU), tetapi lebih menyukai membangun kerja sama dengan perguruan tinggi luar (Sumatera Utara) dalam seleksi penerimaan pegawai memantik tanda tanya, malah lebih dari itu dianggap sebagai academic harrasment terhadap perguruan tinggi lokal.
Pemkab dan Pemkot yang bekerja sama dengan perguruan tinggi di luar Sumatera Utara tak pelak mengundang tudingan mereka akan lebih mudah mengintervesi dan "bermain" atas hasil seleksi penerimaan calon pegawai. Ini bisa terjadi karena pembuatan soal, pemeriksaan lembar ujian, dan pemeringkatan kelulusan terlepas dari pengawasan publik, apalagi jika perguruan tinggi luar ini berada di luar Sumatera Utara, publik termasuk anggota DPD, DPRD, dan yang lainnya tidak mempunyai peran apapun dalam mengontrol proses seleksi tersebut.
Tidaklah mungkin Pemkab dan Pemkot menerbangkan anggota DPD atau DPRD misalnya untuk mengawasi proses seleksi di perguruan tinggi di luar wilayah ini. Selain mengeluar biaya yang tidak kecil, hanya mengada-ada, tidak rasional, dan tidak efisien.
Maka dari itu bagi Pemkab dan Pemkot yang bermaksud mengadakan kerjasama seleksi penerimaan calon pegawai negeri sipil dengan perguruan tinggi luar Sumatera Utara sebaiknya dipikir ulang. Bekerja sama dengan perguruan tinggi luar belum tentu mendatangkan hasil yang baik, apalagi jika disusupi dengan agenda terselubung kepentingan elite lokal boleh jadi akan mengundang percekcokan publik.
Adalah sebuah ironi jika ada Pemkab dan Pemkot tidak sudi atau menolak bekerja sama dengan perguruan tinggi lokal (USU) dalam seleksi penerimaan pegawai negeri di wilayahnya, tetapi setiap tahunnya para siswa sekolahnya setelah lulus sekolah menengah umum yang berasal dari Pemkab dan Pemkot tersebut berbondong-bondong mengikuti ujian seleksi mahasiswa di USU, sebuah perguruan tinggi lokal ternama di Sumatera Utara. ***
Penulis, staf pengajar Jurusan Sejarah, Fakultas Satra USU.
Opini Analisa Daily 17 Desember 2010