15 Desember 2010

» Home » Kompas » Opini » Pemangku Kepentingan, Subyek Demokrasi

Pemangku Kepentingan, Subyek Demokrasi

Subyek demokrasi itu rakyat sesuai Pasal 1 UUD. Itu terlihat dalam pemilu saat rakyat memilih langsung wakilnya di DPR/D maupun presiden sampai bupati. Selebihnya peranan rakyat tak terlihat sama sekali.
Lain istilah stakeholder, pemangku kepentingan (PK), menjelaskan siapa berhak bersuara terhadap sesuatu permasalahan negara. Ada tiga pilar, yaitu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat sipil. Kedua pertama, bukan PK maupun subyek demokrasi. Pengusaha adalah penggerak kehidupan, dan seluruh penyelenggara negara adalah penanggung jawab.
PK ialah para pemilik kedaulatan negara, yaitu seluruh rakyat atau masyarakat sipil. Di lapangan, merekalah yang dirugikan oleh kesalahan kebijakan publik. Seperti petani oleh kebijakan impor hasil bumi, nelayan oleh kebijakan pukat harimau, juga pemangku adat oleh kebijakan agraria. Dalam hal keistimewaan DIY, kita harus bertanya kepada PK yang relevan, yaitu pemangku kepentingan atas kebesaran Mataram, sponsor tegaknya NKRI (1945-1949). Saat itu HB IX berbuat atas nama kebesaran kerajaan, haruskah NKRI menghancurkan kebesaran itu?
Anarkisme
Mahasiswa dan aktivis berdemo karena merasa ikut bertanggung jawab terhadap kelangsungan kehidupan bernegara. Namun, ketika posisi tidak jelas, maka tidak jelas gerakannya dan tak jelas pula tanggung jawabnya. Anarki akibatnya.
Mereka memerlukan kejelasan posisi agar dapat bertanggung jawab, yaitu sebagai PK atau subyek demokrasi. Sebagai PK, pendemo harus spesifik tuntutannya sesuai kepentingan yang dipangku sehingga terukur W5H-nya dan siapa bertanggung jawab. Kalau polisi akan menghentikan demo, maka dia harus mampu menjawab tuntutan. Artinya, demo bisa dihentikan hanya oleh yang mampu menjawab tuntutan.
Lihat kasus dialirkannya lumpur Lapindo ke Sungai Porong. Layak sebagai PK adalah penduduk setempat, ormas peduli lingkungan, planolog, dan pihak lain yang dirugikan oleh pendangkalan sungai itu. Tuntutan harus jelas dan terukur, tanpa menyajikan solusi yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Tuntutan disampaikan kepada pemerintah (BPLS bentukan Perpres No 14/2007). Posisi Bupati Sidoarjo/Pasuruan harus menempatkan diri sebagai bapaknya PK, bukan sebagai ”orangnya” Presiden. Sedangkan polisi mendudukkan diri sebagai saksi belaka.
Untuk itu dibutuhkan adanya ormas peduli PK yang mampu mengorganisasikan seluruh komponen yang dirugikan oleh adanya penyimpangan kebijakan publik. Aktivis nonpartisan dan mahasiswa merupakan potensi yang layak ambil peran untuk semua sektor kegiatan masyarakat di dalam kehidupan bernegara. Perannya, mencerdaskan kehidupan berbangsa untuk bertanggung jawab, tanpa tindakan anarki.
PK tingkat makro
Warga bangsa memerlukan sungguh banyak makanan bergizi, lahan untuk memproduksi sangat luas, tenaga kerja amat banyak, demikian juga ahlinya. Agar makanan bergizi melimpah, PK harus berteriak negara tidak boleh impor. Berbeda dengan PK mikro, PK makro harus mengonsep jalan keluarnya.
Siapa PK makro dalam hal pemenuhan kebutuhan makanan bergizi? Adalah seluruh perhimpunan/asosiasi yang bergerak di bidang itu: dokter hewan, peternakan, pertanian, industri makanan, ekonom, dan para pemikir masalah sosial. Juga HKTI, HNSI, hingga Himpunan Peternak yang akan diuntungkan oleh kebijakan berdikari untuk memenuhi kebutuhan makanan dalam negeri.
Mereka adalah kumpulan insan yang benar-benar nonpartisan yang hanya berkepentingan pada masa depan kehidupan bersama, masyarakat, bangsa, dan negara. Mereka tidak terlibat dalam parpol yang wajar bila sarat kepentingan. Hal ini sesuai desain para pendiri negara yang menyebut sebagai utusan golongan dan utusan daerah.
Hambatan untuk melaksanakan ide adalah posisi para pengusaha yang memiliki sumber daya berlebih dan tidak tergantung pada mati-hidupnya negara. Biar negara hancur, mereka tetap bisa hidup nyaman di dunia global. Oleh karena itu, perlu juga PK yang peduli pada moral pengusaha.
Dengan ditatanya subyek demokrasi atau pemangku kepentingan dalam organisasi bernegara, diharapkan demokrasi tidak dijadikan alat politik (dibenturkan dengan monarki misalnya), tetapi menjadi wahana politik yang menyejahterakan seluruh masyarakat, tanpa anarkisme.
ROCH BASOEKI MANGOENPOEROJO Ketua M-3 (Masyarakat Musyawarah Mufakat), Penulis Buku ”Kerugian Bangsa akibat Lumpur Sidoarjo”
Opini Kompas 16 Desember 2010