Sangat menyedihkan membaca dan mencermati hasil survei Tranparancy International Indonesia (TII) menyoal Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di Indonesia tahun 2010 yang dirilis beberapa hari lalu.
Berdasarkan survei tersebut, tercatat sebagian besar kota mendapat IPK rendah yakni pada kisaran IPK 4 hingga 5. Dengan rentang IPK 0-10, angka itu tentu masih sangat rendah. Catatan ini juga menunjukkan bahwa hampir semua kota di Indonesia rawan korupsi. Tercatat hanya tiga kota yang berprestasi baik, yakni Denpasar, Yogyakarta dan Solo.
Yang paling menyesakkan dada, hasil survei juga menunjukkan bahwa tiga lembaga penegakan hukum mendapat predikat sebagai tiga besar lembaga terkorup. Ketiga lembaga tersebut berdasarkan peringkat yakni kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Peringkat selanjutnya diikuti DPR dan partai politik.
Data ini juga menunjukkan betapa kejahatan korupsi telah begitu menggurita di setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan lembaga penegak hukum yang diharapkan sebagai sapu untuk membersihkan korupsi, dalam kenyataannya justru menjadi aktor-aktor korupsi itu sendiri. Bagaimana mungkin membersihkan korupsi, jika sapunya sendiri tidak bersih lagi?
Lemahnya pemberantasan korupsi semakin didukung dengan minimnya dukungan politik pemerintah yang tidak sesuai harapan. Menciptakan pemerintahan yang bersih dan transparan selama ini hanya sekadar slogan untuk pencitraan pemerintah.
Namun dalam kenyataannya, pemerintah justru sering terbelenggu dengan sikapnya sendiri. KPK yang selama ini menjadi lembaga yang paling ganas dalam memberangus koruptor justru menjadi ladang kriminalisasi dan pembonsaian.
Pemerintah juga selama ini terkesan terlalu ‘nyaman’ berlindung di balik independensi penegakan hukum. Padahal di sisi lain, tempat itu justru dijadikan sebagai bunker persembunyian dan cuci tangan pemerintah. Terutama untuk kasus-kasus yang bernuansa politik seperti kasus Bank Century, dugaan suap dana perjalanan, dan mafia pajak. Semoga dengan pidato Presiden SBY pada peringatan hari antikorupsi 9 Desember lalu akan membawa angin segar dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Korupsi di MK
Praktik korupsi dan mafia hukum bukan hanya menggerogoti lembaga penegak hukum yang lama. Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai anak kandung amandemen UUD 1945 dimana kredibilitasnya selama ini masih sangat terjaga , ternyata tak luput dari dugaan suap.
Setidaknya, tulisan pakar hukum tata negara, Refly Harun di Harian Kompas menjdi salah satu indikasi. Refly tentu tak main-main dan kredibilitasnya juga tak perlu diraggukan lagi. Selain aktif sebagai tim pembela dalam kasus-kasus pemilukada di MK, Refly juga sempat menjadi staf ahli hakim konstitusi selama beberapa tahun sejak pertama kali. Jadi, Refly memang mengetahui bagaimana proses dan seluk-beluk MK.
Yang patut diacungi jempol adalah respon dan tindak lanjut MK, terutama sikap terbuka dan berani sang nakhodanya, Mahfud MD. Selain membuat pembelaan melalui tulisan media, Mahfud juga langsung mengangkat Refly sebagai ketua Tim Investigasi. Alasannya sederhana saja namun sangat tepat, MK menilai Refly memahami dan melihat sendiri praktik penyuapan tersebut sesuai yang pernah dituliskannya.
Tanpa bermaksud mendewakan, sekali lagi, cara merespon MK terhadap tuduhan tersebut patut ditiru oleh lembaga penegak hukum lain. Kita juga tentu tak bisa menafikan kalau di MK bisa juga menyebar virus korupsi. Sebab hakim-hakim konstitusi maupun para staf di kesekjenan MK adalah manusia biasa yang bisa juga khilaf.
Namun keterubakaan MK telah memberikan kesempatan luas bagi siapa pun untuk membuktikan suap itu jika benar-benar ada. MK tidak seperti para pihak yang diduga korupsi lainnya yang selalu menghindar jika hendak diinvestigasi. MK juga memberikan contoh bagaimana menjadi peradilan yang bersih dan tidak
Dan memang benar, dalam laporannya pada 8 Desember lalu, Tim Investigasi tidak menemukan indikasi suap yang melibatkan hakim MK. Namun begitu, MK perlu berterimakasih pada Refly yang mengungkap adanya dugaan suap kepada panitera yang melibatkan Bupati JS.
MK tidak perlu berbesar kepala kalau lembaganya bersih. Bagaimanapun, tindakan beberapa orang yang mencoba hendak menyuap di MK harus diberantas sedini mungkin. Agar citra yang dimiliki MK selama ini bisa terjaga. Ke depan, MK harus bisa menjadi setetes air di tengah dahaga akan peradilan bersih di negeri ini.
Mengadili Mafia, Bukan Refly
Memang hakim MK telah terbukti bersih. Namun setidaknya Refly telah menguak bahwa MK tidak sepenuhnya bersih. Oleh karena itu, yang seharusnya dilakukan para hakim MK adalah mengusut tuntas dugaan suap yang melibatkan panitera pengganti serta melakukan pengawasan yang lebih ketat kepada setiap staf di lembaga tersebut.
Sangat disayangkan, yang dicermati publik saat ini justru adanya upaya untuk menyerang balik Refly Harun. Hal tersebut dapat dilihat atas pengaduan Refly ke KPK dengan tuduhan pencemaran nama baik dan penyertaan percobaan suap (dader).
Jika memang para hakim MK merasa nama baiknya dicemarkan, seharusnya yang terkena bukanlah Refly seorang. Temuan atas rencana penyuapan terhadap hakim yang dilakukan Bupati JS bukanlah temuan Refly seorang, tapi Tim Investigasi. MK seharusnya tak perlu lagi over reacting begitu. Bukankah dengan temuan Tim Investigasi dengan sendirinya nama baik mereka pulih kembali?
Jika berkaca pada kasus-kasus sebelumnya, posisi Refly sama dengan Susno Duadji sebagai sang peniup peluit (whistle blower).
Jika Refly terus diserang dan dipojokkan begitu, maka dikhawatirkan akan menyurutkan mental para peniup peluit berikutnya.***
Penulis alumnus Departemen Hukum Tata Negara USU Medan. Saat ini Mahasiswa Pascasarjana Magister Ilmu Hukum (MIH) UGM. Anggota Forum Diskusi Pusat Kajian Antikorupsi (PuKAT) UGM.
Opini Analisa Daily 15 Desember 2010