15 Desember 2010

» Home » Opini » Pikiran Rakyat » Kesatuan atau Federal?

Kesatuan atau Federal?

Oleh Dede Mariana

Ketika Yogyakarta merasa terusik oleh pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, lokalisasi persoalan yang terkait dengan keistimewaan Yogyakarta, khususnya soal kedudukan Sultan dan Sri Pakualam yang selama ini secara ex-officio (karena kedudukannya, dengan sendirinya) menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) itu menjadi penting. Pertama, sebetulnya Yogyakarta sedang berhadapan dengan "rezim" pemerintah pusat, bukan sedang berhadapan dengan Indonesia.

Ini penting sebab ada masyarakat Yogya yang berpikir ekstrem untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Yogyakarta tidak sedang ngeyel terhadap pemerintahan pusat, melainkan sedang memanifestasikan aspirasinya, di mana terekam hubungan yang harmonis antara Ngarso Dalem dan rakyatnya. Rakyatnya mencintai raja, dan rajanya mencintai rakyat, suatu bentuk keseimbangan yang patut dicontoh oleh pemerintah pusat. Dalam konteks keindonesiaan hal itu hampir tidak ada, rakyat mencintai Indonesia, tetapi pejabat pemerintah NKRI belum tentu mencintai rakyat Indonesia, tidak sebagaimana hubungan rakyat-raja di Yogyakarta.

Kedua, soal nilai-nilai demokrasi yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah tepat, memang demikian adanya dan itu bersifat universal yang berlandaskan kepada kedaulatan rakyat. Nilai-nilai demokrasi memang mensyaratkan setiap pemimpin politik dipilih langsung oleh rakyat, tidak sebagaimana diperlihatkan oleh rezim Soeharto yang kepemimpinannya ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melalui mekanisme demokrasi yang manipulatif sehingga memungkinkan Soeharto menjadi presiden lebih dari 30 tahun.

Tidak ada yang keliru atas dua pidato Yudhoyono menyangkut keistimewaan Yogyakarta. Kali ini, saya agak heran dengan munculnya nada emosional dari sebagian kelompok menanggapi dua pidato Yudhoyono. Jika disimak secara serius dan diperhatikan berulang-ulang, apa yang disampaikan Yudhoyono sudah pada tempatnya. Tidak tahu siapa yang menghebohkan semua itu?

Ketiga, jika Gubernur dan Wakil Gubernur Yogyakarta disepakati atau ditetapkan, alangkah "elegan" jika kedua pemimpin itu tidak menjadi anggota partai politik mana pun. Mereka (gubernur dan wakil gubernur) harus netral sehingga pas jika ditetapkan saja, sehingga tidak akan terjadi tarik-menarik kepentingan antara dirinya selaku sultan dan adipati dengan dirinya sebagai bagian dari kekuatan politik atau partai politik tertentu.

Keempat, yang bermartabat dan yang berdaulat, serta yang istimewa itu tetap rakyatnya, bukan elitenya, sebab elite setiap saat bisa berganti sedangkan rakyat tetap rakyat, ada atau tidak ada elite.

Kelima, DIY itu bagian dari NKRI dan bukan sebaliknya. Bahkan bila dirunut historisnya, Sri Sultan Hamengkubuwono dan Sri Pakualaman jelas-jelas republiken, pendukung keberadaan NKRI yang diproklamasikan Soekarno-Hatta di masa lahir dan pertumbuhan awal NKRI yang telah menghibahkan diri, keraton, kekayaan keraton bagi NKRI, dan mengajak segenap rakyat Yogyakarta waktu itu untuk bahu-membahu membangun dan menumbuhkembangkan NKRI. Atas dasar pengorbanan itulah pemerintah NKRI masa Soekarno-Hatta-Syahrir memberikan apresiasi kepada Yogyakarta dalam bentuk Daerah Istimewa Yogyakarta. Dari perspektif seperti itu dapat dengan jelas terlihat siapa sesungguhnya yang harus patuh terhadap siapa.

Otoritas politik

David Hell (2004) menyatakan, kedaulatan dapat diartikan sebagai otoritas politik dalam suatu komunitas yang mempunyai hak yang diakui untuk melaksanakan kekuasaan negara dan untuk menentukan undang-undang, peraturan-peraturan, dan kebijakan-kebijakan dalam suatu wilayah tertentu. Ajaran kedaulatan mempunyai dua dimensi yang berbeda. Pertama berkenaan dengan aspek-aspek kedaulatan eksternal, kedua berkenaan dengan aspek-aspek kedaulatan internal. Yang disebut pertama menyangkut keyakinan bahwa suatu badan politik yang ditetapkan sebagai kekuasaan tertinggi berhak melaksanakan "perintah tertinggi" atas suatu masyarakat tertentu. Konsekuensi dari teori ini, sebanyak apa pun kekuasaan didistribusikan kepada daerah tetap saja harus ada kekuasaan yang lebih besar untuk menjaga wibawa negara dan pemerintahan. Persoalan pokoknya adalah apakah demokrasi mengenal kekecualian?

Apalagi dengan istilah daerah istimewa, jika demikian tentu di sisi lain ada daerah yang tidak istimewa. Kesederajatan adalah salah satu prinsip demokrasi, dan oleh karena itu, semua anasir bangsa di satu negara semuanya adalah istimewa, tidak ada yang satu istimewa yang lainya tidak istimewa. Ini patut direnungkan kembali agar proses konsolidasi demokrasi yang sedang berjalan tidak ternodai oleh cara berpikir paradoks. Di satu sisi mengakui nilai-nilai demokrasi, di sisi lain justru tidak konsisten dengan nilai-nilai demokrasi itu, terlebih karena istilah demokrasi digunakan untuk menunjuk kekuasaan rakyat sebagai lawan dari golongan.

Tatkala fokus pemerintahan yang demokratis bergeser ke unit berskala besar seperti bangsa atau negara, pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana partisipasi secara efektif dapat diwujudkan jika jumlah warga negara terlalu banyak dan secara geografis terlalu tersebar luas (atau, keduanya terjadi pada beberapa negara)? satu-satunya solusi yang memungkinkan, walaupun jauh dari sempurna, adalah warga negara memilih para pejabat tinggi dan menjaga mereka agar bertanggung jawab melalui pemilu dengan memecat mereka dalam pemilu-pemilu berikutnya, demokrasi yang sekarang ini banyak dijalankan di berbagai negara demokratis merupakan demokrasi perwakilan (Efriza, 2008). Artinya, kekecualian demokrasi itu adalah soal perwakilan (indirect democracy). Itu pun memang karena luasnya wilayah dan dibutuhkannya banyak pejabat publik di suatu negara dalam tingkatan kekuasaannya, kota, kabupaten, provinsi, dan pusat.

Dengan kata lain, kekecualian demokrasi itu bukan pada soal istimewa atau tidak istimewa, tetapi pada soal langsung atau tidak langsungnya rakyat memilih pemimpinnya; melalui parpol, melalui mekanisme yang ditentukan perundang-undangan, dan seterusnya. Barangkali pemilihan di tingkat RT atau RW atau direct democracy masih mungkin diterapkan.

Menurut Afan Gafar, Indonesia membutuhkan demokrasi yang tidak lumrah, tetapi tetap ditandai dengan adanya pemilihan umum yang bebas, jujur, dan adil kemudian diwujudkan pula dengan tingkat rekrutmen politik yang terbuka dalam mengisi jabatan-jabatan politik (Afan Gafar, 2002).

Apakah demokrasi yang tidak lumrah versi almarhum Gafar itu mengakomodasi keistimewaan Yogyakarta? Ataukah sudah saatnya kita merumuskan draf konstitusi Negara Federal Republik Indonesia (NFRI) sebagai bentuk transformasi dari NKRI yang terdesentralisasi yang sedang kita jalankan saat ini dengan penuh keragu-raguan dan bias kepentingan elite di Jakarta? Tidak ada yang tak mungkin sepanjang semuanya ditujukan untuk kesejahteraan dan kejayaan rakyat dan bangsa Indonesia, bukan untuk kesejahteraan dan kejayaan para elite bangsa.***

Penulis, Guru Besar Ilmu Pemerintahan Universitas Padjadjaran Bandung.
Opini Pikiran Rakyat 16 Desember 2010