15 Desember 2010

» Home » Kompas » Opini » Haruskah Kembali ke DPRD?

Haruskah Kembali ke DPRD?

Di tengah ingar-bingar perdebatan keistimewaan Yogyakarta, usul pemerintah untuk kembali memilih gubernur dengan sistem perwakilan nyaris luput dari perhatian publik. Padahal, jika diletakkan dalam gagasan kepala daerah pilih- an rakyat, mengembalikan pemilihan gubernur ke DPRD dapat dikatakan sebagai langkah mundur.
Bisa jadi, belajar dari penolakan terhadap usul pengisian gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono jauh lebih hati-hati. Dalam sebuah acara di Lemhannas, Presiden menegaskan bahwa usul pemilihan gubernur dan wakil gubernur dipilih DPRD masih merupakan pilihan terbuka (Kompas, 14/12). Kemungkinan itu sama terbukanya dengan mempertahankan pemilihan langsung.
Meski menegaskan sebagai pilihan terbuka, pernyataan Presiden seperti kata bersayap, yaitu dengan meminta semua pihak merujuk kembali pada konstitusi. Permintaan itu jelas, secara tekstual, perdebatan harus diletakkan dalam Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 yang hanya mengisyaratkan bahwa gubernur dipilih secara demokratis.
Pertanyaannya, haruskah frasa ”dipilih secara demokratis” tersebut dimaknai sebagai pemilihan oleh DPRD? Pada satu sisi, pertanyaan itu patut dicermati dengan mendalam karena trauma matinya demokrasi dalam pemilihan kepala daerah sepanjang kekuasaan Orde Baru. Di sisi lain, pengalaman pemilihan langsung selama lima tahun terakhir begitu mudah terjebak praktik politik uang.
Penyempitan makna
Sekalipun Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa gubernur dipilih secara demokratis, pilihan politik pembentuk undang-undang telah mempersempit maknanya menjadi pemilihan secara langsung. Sebagai sebuah legal policy, Pasal 56 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan, kepala daerah dipilih secara demokratis berdasar asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Dalam konteks lebih luas, legal policy pembentuk undang-undang memaknai frasa ”dipilih secara demokratis” menjadi pemilihan langsung merupakan salah satu bentuk konkret asas kedaulatan rakyat. Bagaimanapun, dengan menggunakan sis- tem perwakilan, rakyat akan kehilangan kedaulatannya secara langsung menentukan gubernur. Banyak pengalaman menunjukkan bahwa pemilihan dengan sis- tem perwakilan acap kali mendistorsi kehendak dan logika rakyat.
Bila penyempitan makna tersebut hanya dimaknai sebagai legal policy dari pembentuk UU, upaya mengembalikan pada pemilihan oleh DPRD secara mudah dapat dilakukan dengan hanya mengubah UU. Hal itu dapat terjadi karena proses legislasi amat ditentukan oleh kehendak politik pemerintah (baca: presiden) dan partai politik di DPR. Sepanjang dukungan politik memenuhi, mengubah UU kapan saja dapat dilakukan.
Namun, perlu diketahui, mengembalikan penyempitan makna ketentuan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 pada pemilihan oleh DPR tak sesederhana itu. Argumentasi tambahan yang harus dicari dan dibangun adalah bagaimana mengubah putusan Mahkamah Konstitusi yang telah meneguhkan pemilihan kepala daerah secara langsung ketika memutuskan dibukanya ruang bagi calon kepala daerah yang berasal dari perseorangan.
Dengan adanya putusan MK, peneguhan penyempitan makna pemilihan kepala daerah menjadi dipilih secara langsung tak begitu saja dapat dieliminasi dengan hanya mengubah undang-undang. Artinya, langkah mengembalikan pemilihan gubernur kepada DPRD potensial merusak bangunan sistem secara keseluruhan. Jika itu terjadi, bersiaplah melangkah dalam situasi serba tak pasti.
Tak hanya bertolak belakang dengan makna hakiki kedaulatan rakyat, mengembalikan model pemilihan gubernur ke DPRD jelas mengancam eksistensi calon perseorangan. Padahal, dalam Penjelasan UU No 12/2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No 32/2004 ditegaskan: memberi ruang bagi calon perseorangan merupakan wujud penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih efektif dan akuntabel sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Merujuk pada pengalaman pemilihan kepala daerah langsung sebelum UU No 12/2008, tersedianya ruang bagi calon perseorangan dimaksudkan guna ”mengoreksi” monopoli partai politik dan meruyaknya praktik politik uang pada hampir setiap proses pengajuan calon kepala daerah. Bukankah dengan usul kembali dipilih DPRD akan mengulangi cerita buram praktik di tingkat lokal?
Selain itu, dengan terancamnya calon perseorangan, usul gubernur dipilih DPRD dapat dikatakan sebagai pengingkaran nyata atas salah satu hak dasar warga negara. Dalam hal ini, Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Meski selama ini tingkat keterpilihan calon perseorangan relatif kecil, ruang bertarung dalam pemilihan kepala daerah tak boleh dipersempit, apalagi dimatikan.
Ketika frasa pemilihan secara demokratis dimaknai menjadi pemilihan secara langsung, salah satu basis argumentasinya adalah penyeragaman model pemilihan. Sebagaimana praktik dalam sistem presidensial, pemimpin eksekutif tertinggi dipilih secara langsung. Jika usul gubernur dipilih DPRD diterima, akan ada dua masalah serius dalam konteks sistem pemerintahan.
Posisi gubernur
Masalah pertama, gubernur akan hadir dalam legitimasi yang berbeda dibanding dengan bupati dan/atau wali kota. Bagaimanapun, bila gubernur dipilih DPRD, sementara bupati dan/atau wali kota dipilih langsung, gubernur potensial kesulitan berhadapan dengan bupati dan/ atau wali kota. Bila tak diantisipasi sejak awal, gubernur tak akan bisa berbuat banyak dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah.
Masalah lain, gubernur akan berhadapan dengan legitimasi DPRD yang dipilih langsung dari rakyat. Jika salah satunya dipilih langsung oleh rakyat, dapat dipastikan bahwa yang tak mendapat mandat rakyat langsung akan amat mudah berada di bawah tekanan.
Dengan segala kelemahan yang ada, pemilihan langsung harusnya tetap dipertahankan. Yang harus dicarikan solusinya, bagaimana proses pemilihan gubernur bisa dilaksanakan lebih efisien. Jangan karena gagal membangun manajemen pemilihan yang tepat, nilai-nilai demokrasi yang mulai disemai diingkari. Lalu, haruskah pemilihan gubernur dikembalikan ke DPRD?
Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
 
Opini Kompas 16 Desember 2010