Bangsa Indonesia, khususnya warga nahdliyin, berbelasungkawa dan merasa kehilangan dengan meninggalnya seorang tokoh nasional yang lahir dari rahim dunia pesantren Nahdlatul Ulama (NU).
Mantan Ketua DPR/MPR 1972-1977 dan Ketua Umum PBNU selama 28 tahun sejak 1956 hingga 1984 itu kemarin meninggal dunia pada usia 88 tahun di kediamannya di kawasan Pesantren Darul Ma`arif, Cipete, Jakarta Selatan, Minggu, sekira pukul 08.00 WIB, karena sakit yang diderita selama 10 tahun terakhir. Almarhum memulai kariernya menjadi Ketua Umum PBNU sejak usia 34 tahun, setelah terlebih dahulu berguru kepada ayah Gus Dur, KH A Wahid Hasyim. Kiai Idham yang menjadi nakhoda NU selama era Orde Lama (Orla) hingga awal era fusi partai periode awal Orde Baru (Orba). Almarhumlah yang menyelamatkan posisi “partai Islam” berpartner dengan rezim Orla hingga Orba. Karena keluwesannya di dalam berpolitik dan bermanuver, Islam terus dapat mengisi sistem dan mendesain pembangunan Indonesia.
Karena itu, sudah selayaknyalah bangsa Indonesia memberikan penghormatan dengan mendoakan almarhum, mudah-mudahan segala amal ibadahnya diterima di sisi Allah SWT. Kepada warga nahdliyin di seluruh pelosok Tanah Air, marilah kita membacakan tahlil kepada beliau selam tujuh hari. Kita mendoakan, mudah-mudahan beliau mendapat tempat surga di sisi Allah SWT. Keluarga yang ditinggalkan mendapat ketabahan dan dikuatkan imannya. Kita berdoa juga mudah-mudahan ada yang bisa meneruskan rintisan perjuangan almarhum dalam berbagai sektor kehidupan.
Politisi Substansialis
Kiai Idham Chalid begitu menjadi Ketua Umum PBNU masuk dalam periode NU sebagai partai politik. Setelah menyatakan keluar dari Partai Masyumi, NU langsung ikut Pemilu 1955 dan NU masuk tiga besar partai pemenang pemilu. Seperti kita ketahui dalam sejarah, perpolitikan nasional pada era itu tidak stabil. Konsensus yang dibangun dan disepakati para elite nasional dari berbagai partai seringkali tidak berumur panjang. Kabinet dan peraturan perundang-undangan pun kerap berubah-ubah. Kiai Idham menakhodai NU dengan elastis dan selalu dapat menyesuai diri dengan dinamika perpolitikan nasional. Periode yang paling krusial adalah ketika timbul gagasan nasakom (nasional, agama, dan komunis).
Posisi NU menjadi dilematis pada era ini, di satu sisi gagasan itu menimbulkan ketegangan antara partai-partai nasional plus komunis vis a vis partai-partai yang berbasis Islam terutama Masyumi. Pada periode inilah mulai terjadi klimaks atau semakin mengkristalnya ekstremitas ideologi partai. Partai-partai yang berbasis nasional dan komunis semakin ekstrem mengekspresikan ideologinya untuk dijadikan ideologi nasional. Demikian juga partai-partai Islam, ekspresi politiknya semakin sektarian bahkan kerap berseberangan secara diametral dengan kalangan-kalangan nasionalis, apalagi dengan mereka yang komunis.
Maka, Indonesia terancam disintegrasi. Gagasan nasakom mendapat banyak pertentangan, terutama dari kalangan elite-elite partai Islam. Kiai Idham Chalid yang memimpin NU dihadapkan pada pilihan pelik karena baik di kalangan nasionalis maupun elite partai Islam, mereka semua kawan-kawan seperjuangan Kiai Idham. Kiai Idham harus memilih bergabung nasakom atau berhadapan dengan teman-temannya dari aktivis Islam dan bergabung dengan komunis. Pilihan akhirnya memang NU bergabung dengan nasakom. Sikap ini tak urung menjadi kontroversi, bahkan NU dianggap partai oportunis karena mau bergabung dengan kalangan komunis. Dari sinilah kita menangkap jalan pikiran Kiai Idham dan ijtihad politiknya.
Almarhum memilih menjadi politisi substansialis, dalam arti dia menganggap parpol adalah sebagai instrumen atau alat perjuangan, bukan tujuan yang ingin dicapai perjuangan itu sendiri. Sementara pada waktu itu, kawankawannya banyak yang menempuh cara formal yaitu Islam harus diformalkan dalam gerakan kepartaian. Maka, dengan berpikir formal, tidak mungkin mereka bergabung dengan nasakom. Bagi Kiai Idham, mengisi Indonesia dengan nilai-nilai Islam lebih penting dari pada memperjuangkan formalisme, tetapi tidak mendapatkan akses untuk masuk dalam sistem penyelenggaraan negara. NU masuk dalam nasakom sehingga kaum agamawan diwakili oleh NU.
Andaikan semua pihak menolak bergabung dengan nasakom, periode itu kaum agama atau Islam vakum dalam pengisian sistem atau pembangunan tatanan penyelenggaraan kenegaraan maupun pemerintahan. Dalam sejarah akhirnya kita bisa melihat bahwa posisi yang diambil NU ternyata juga ikut menyelamatkan negara dari ancaman perpecahan nasional. Pihak yang menuduh NU oportunis dalam politik karena mau menerima nasakom di kemudian hari ternyata dibantah oleh sejarah itu sendiri. Ketika PKI berkhianat pada NKRI, NU jugalah yang ada di garda depan untuk menumpas PKI. Dengan kata lain, masuknya NU ke dalam nasakom adalah untuk menyelamatkan Indonesia dari disintegrasi nasional dan bubarnya NKRI.
Tenang dan Gradualis
Sosok almarhum Kiai Idham adalah sosok yang tenang dan mau mendengar lawan bicaranya, siapa pun dia. Almarhum juga menganut prinsip setiap melakukan sesuatu harus secara bertahap atau gradual. Sekitar 1967, ketika saya masih menjadi aktivis mahasiswa, menjadi Ketua PMII Cabang Malang, datang kepada Kiai Idham untuk memprotes sikapnya yang tak mau mendukung demokratisasi Indonesia. Dia mendukung Soeharto menjadi presiden dan sekaligus sebagai pemimpin rezim Orde Baru. Waktu itu saya diterima oleh Kiai Idham di Kantor DPR RI. Saya sampaikan seluruh unek-unek bahwa sikap politik yang dilakukan Kiai Idham yang tak mendukung proses demokratisasi tidak benar.
Kiai Idham menerima saya dengan tenang dan mendengar seluruh unek-unek saya. Baru setelah itu dia menjawab dengan alasan-alasan logis sehingga saya akhirnya juga bisa menerima sikap Kiai Idham. Kata almarhum waktu itu, “Hasyim, kita baru saja selesaikan komunis, sisanya masih panjang. Jangan diminta demokrasi dalam saat yang sama. Nanti demokrasi ada waktunya sendiri. Allah menyelamatkan satu persatu, tidak sekaligus, demikian menurut Imam Ibnu Athoillah (pengaram kitab Fushusul Hikam). Biarkan Pak Harto berkuasa, setiap zaman ada orangnya dan setiap orang ada zamannya. Yang saya khawatirkan justru puluhan tahun yang akan datang, kita akan menghadapi kemunafikan, dan saya takut NU tidak mampu menghadapinya karena racun terasa madu.”
Kelebihan almarhum KH Idham Chalid lainnya adalah sikap dan penampilannya yang selalu bersahaja serta memiliki rasa kepedulian yang tinggi terhadap masyarakat. Dalam menyampaikan gagasan, almarhum selalu tampil lugas dan logis. Dalam setiap pidato, beliau selalu menggunakan logika sehingga sulit untuk dibantah. Kiai Idham juga dikenal pendiri PPP. Kiai Idham yang membidani fusi partai-partai Islam ke PPP. Waktu itu rezim Orba mulai menunjukkan strategi hegemoninya dengan menekankan “floating mass” dan deparpolitisasi.
Pak Harto menekankan supaya ada penyederhanaan partai sehingga era multipartai harus ditinggalkan. Awal tahun 70-an akhirnya partai-partai difusikan menjadi hanya tiga partai, PPP, Golkar, dan PDI. Penggagas fusi partai Islam adalah Kiai Idham sendiri. Rezim Orba membuat aturan agar parpol harus asas tunggal, sementara PPP waktu itu ingin tetap mengusung sebagai partai yang berasaskan Islam. Karena pemerintah tidak memperbolehkan asas Islam, Kiai Idham mempunyai sikap yang menarik. Waktu itu dia mengibaratkan parpol seperti warung.
Kata beliau, “Kalau tidak boleh jualan nasi uduk, ya sudah kita jualan nasi goreng dulu.Yang penting masih bisa buka warung.” Begitulah almarhum Kiai Idham Chalid.Hidupnya penuh warna-warni. Semoga Allah menerima Pak Idham dengan khusnul khotimah. Amin.(*)
DR KH A Hasyim Muzadi
Mantan Ketua Umum PBNU, Sekjen ICIS
Opini Okezone 14 Juli 2010
13 Juli 2010
Menyelamatkan Indonesia dari Disintegrasi Nasional
Thank You!