13 Juli 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Fenomena Media dan Terorisme

Fenomena Media dan Terorisme

Oleh Petrus Suryadi Sutrisno
SERANGAN bom molotov terhadap kantor majalah berita mingguan Tempo di Jln. Proklamasi 72 Jakarta Pusat awal Juli 2010 merupakan rangkaian dampak dari produk pemberitaan-liputan khusus Tempo yang menyangkut rekening milik beberapa perwira tinggi (pati) Polri. Namun, drama Tempo dan Polri, Kamis (8/7) resmi berhenti dengan kesepakatan damai yang dimediasi Dewan Pers.

 
Serangan bom molotov ke Kantor Redaksi Tempo lepas dari konteks permasalahan yang bersinggungan dengan Polri, tanpa disadari memunculkan fenomena lain, yaitu fenomena media dan terorisme. Masyarakat awam tidak mudah memahami fenomena ini secara kasat mata saja. Ditambah lagi, media massa secara serentak memunculkan opini tentang serangan ini dari berbagai pihak. Opini itu antara lain adanya kemungkinan pihak ketiga untuk menyudutkan pihak tertentu -- kemungkinan adanya orang yang tidak bertanggung jawab -- kemungkinan pihak-pihak tertentu untuk mendiskreditkan Polri dengan memanfaatkan ketidakharmonisan hubungan Polri dengan Tempo.
Namun, rapid assessment yang ditegakkan dengan menggunakan pisau analisis fenomena media dan terorisme dan analisis intelijen sirkular (circular intelligence analysis) terhadap kasus ini jika diurai dengan support-indicator (indikator sandaran), side-indicator (indikator pendamping), reference-indicator (indikator pembanding), determinant-indicator (indikator penentu), termasuk pseudo-indicator (indikator semu/seolah-olah) tidak mendorong adanya kesimpulan yang mendekati karakter yang sama dengan semua opini media yang muncul dalam konteks pascaserangan bom molotov itu.
Kasus bom molotov dari sisi proses dan terjadinya agak di luar pakem. Mengapa? Karena serangan bom molotov yang oleh para pelaku dan perencananya jelas-jelas dimaksudkan untuk menimbulkan rasa takut warga Tempo, ternyata justru sebaliknya telah memunculkan "ketidaktakutan" bahkan kebe- ranian media. Hal itu membuktikan gagal atau tidak berhasilnya target serangan teror terhadap majalah itu.
Dikatakan di luar pakem fenomena media dan terorisme karena perencana aksi bom molotov justru melancarkan serangan menjelang pukul 3.00 WIB pada saat kantor redaksi dalam keadaan lengang dan nyaris tidak ada staf redaksi. Pesan yang dikirimkan pelaku teror untuk menabur rasa ketakutan menjadi tidak efektif karena penentuan waktu serangan tidak sesuai pakem.
Referensi dan studi-studi serta kasus-kasus media dan terorisme di Eropa dan di Amerika Serikat/Latin justru memberikan gambaran, pihak media dan pihak pelaku teror (baca teroris) secara konseptual-akademik-empiris selalu terjalin hubungan yang harmonis, baik, bersahabat, dan tidak saling bermusuhan.
Pelaku teror atau teroris dalam pakem fenomena media dan teroris selalu memerlukan media massa untuk menyampaikan tuntutannya, visi, dan tujuan aksi serangan yang mereka lancarkan. Teroris memerlukan media, di lain pihak media menemukan adanya unsur-unsur yang diperlukan dan memenuhi syarat bagi produk suatu liputan yang menarik dalam keseluruhan aksi terorisme (Walter Laqueur, 1999).
Namun, dalam kasus fenomena media dan teror yang terkait dengan Tempo, kenyataan menunjukkan adanya perbedaan atau kelainan. Hubungan baik antara media dan teroris tidak berjalan linear bahkan teroris jelas melakukan aksi menebarkan rasa ketakutan yang dimaksudkan sebagai upaya penghancuran/pemusnahan "kebebasan pers" agar produk informasi Tempo tidak seenaknya menggilas kepentingan dan reputasi pihak tertentu.
Yang terjadi dalam kasus serangan teror bom Tempo ini adalah teroris telah bersikap memusuhi media. Inilah hal yang berjalan di luar pakem hubungan atau fenomena media dan terorisme. Sementara itu dalam Lokakarya tentang Kode Etik Jurnalistik, UU Pers dan Standar Kompetensi Wartawan di Serang, Banten 6-8 Juli 2010 terungkap kasus media dan terorisme pada saat seorang wartawan diteror dengan ancaman golok terhunus dari kelompok ormas tertentu yang meminta agar pelaku demonstrasi yang dilakukan ormas tersebut diubah jumlahnya dari hanya puluhan orang menjadi ribuan orang. Wartawan media cetak lain diancam dengan todongan pistol oknum agar tidak melanjutkan pemberitaan yang menyangkut tindakan kriminal tertentu.
Yang bisa dicatat dalam kasus serangan terhadap Tempo adalah fenomena media dan terorisme berjalan di luar pakem dengan sasaran untuk membungkam atau oleh Ketua Dewan Pers Bagir Manan disebut sebagai upaya mereduksi kebebasan pers di Indonesia. Akan tetapi, serangan bom molotov sudah terjadi. Dewan Pers perlu diapresiasi karena telah berhasil memediasi "perseteruan" Polri dengan Tempo sesuai dengan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Peraturan Dewan Pers No. 05/Peraturan-DP/IV/2008 tentang Standar Perlindungan Profesi Wartawan. ***
Penulis, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Informasi dan Konsultan/pengajar senior komunikasi, mengikuti studi pascasarjana tentang media dan terorisme di Eropa.
OPini Pikiran Rakyat 14 Juni 2010