13 Juli 2010

» Home » » Persenjatai Satpol PP Perkuat Patologi Birokrasi

Persenjatai Satpol PP Perkuat Patologi Birokrasi

Ansel Alaman
Pengajar Character Building Unika Atma Jaya dan Binus University Jakarta
DALAM dialog Metro TV tanggal 7 Juli 2010, Mendagri Gamawan Fauzi terkesan sangat yakin akan pentingnya Polisi Pamong Praja (Pol. PP) dipersenjatai. Hanya saja, Mendagri memerinci, yang dimaksud dengan "dipersenjatai" untuk Satpol PP ialah dengan senjata untuk membela diri, hanya pemimpin, peluru hampa atau karet, water canon untuk gas air mata, dan itu pun tergantung dari situasi dan harus mendapat izin/koordinasi dengan Polri setempat. Mendagri mengangkat contoh tragedi kubur Mbah Priok yang merenggut nyawa dua anggota Satpol PP dari Pemda DKI Jakarta.


Kita perlu memberi apresiasi bahwa Pol. PP sudah melakukan perubahan fisik penataan ruang kota selama ini. Kekacauan, kesemrawutan, ego para PKL dan pedagang menengah sudah mulai berubah. Namun, apakah kenyataan itu—dengan piramida korban rakyat kecil akibat arogansi dan kekerasan Satpol PP—membolehkannya dipersenjatai? Editorial Media Indonesia (9 Juli 2010) sangat tepat melukiskan kontroversi ini.
Patologi Birokrasi
Mendagri Gamawan Fauzi sangat tahu bahwa Satpol PP itu adalah anggota Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri), sesuai Pasal 16 huruf a, PP No. 6 Tahun 2010 tentang Polisi Pamong Praja. Dalam konteks kelembagaan daerah berdasarkan PP No. 4 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, Satpol PP tidak eksplisit disebut. Namun lembaga itu bisa digolongkan dalam rerumpunan badan, kantor seperti kesatuan bangsa, politik dan perlindungan masyarakat (linmas). Selain itu PP No. 6 Tahun 2010 menyebut bahwa Pol. PP adalah bagian “perangkat daerah” dalam rangka penegakan perda. Bahkan ia diberi kewenangan jauh melampaui wilayahnya sebagai PNS. Pasal 6 huruf a misalnya, Pol. PP mempunyai kewenangan melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas perda dan/atau peraturan kepala daerah. Klausul itu seakan membenarkan tindakan represif Pol. PP atas nama penegakan perda, dan akibat apa pun yang ditimbulkannya tidak akan berurusan dengan badan peradilan. Perbuatan hukum seperti terjadi di Priok, tetapi tidak harus diselesaikan secara hukum. Padahal eksistensi perda adalah turunan atau bagian peraturan perundangan paling bawah, berkaitan dengan kepentingan rezim otonomi daerah dan bukan melindungi kekuasaan kepala daerah.
Formula tugas Pol. PP seperti ini menimbulkan kerancuan hukum tata negara dan semakin memperkuat stigma birokrasi kita tidak sehat alias patologik. Sebab, membolehkan PNS sebagai “polisi sipil” merambah wilayah lain di luar area fungsinya, bukan urusan internal birokrasi daerah (pemda). Padahal fungsi itu sudah dimandatkan konstitusi kepada institusi kepolisian negara maupun TNI.
Sebagai pegawai negeri, Pol. PP terikat pada ikrar “Sapta Prasetya Korpri”, berdasarkan UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Sapta Prasetya itu merujuk jati dirinya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, bukan pengabdi kekuasaan kepala daerah, bukan partisan parpol langsung atau tidak, sebab gubernur/bupati/wali kota adalah jabatan politik. PNS seharusnya netral dari kepentingan politik kekuasaan, monoloyalitas dan total demi bangsa dan negara, bukan demi kekuasaan dan kewenangan kepala daerah yang egosentrik.
Dicabut
Jika Permendagri No. 26 Tahun 2010 bermaksud memperkuat institusi Pol. PP dengan mempersenjatai, berarti Mendagri telah mengingkari wilayah kerja kepolisian negara RI yang bertugas di seluruh wilayah negara (UU No. 2/2002) menegakkan hukum. Hukum itu tidak mengecualikan perda, sebab perda adalah produk hukum dalam konteks desentralisasi, yang merupakan penjabaran dari undang-undang.
Dengan demikian hemat penulis, PP No. 6/2010 apalagi Permendagri No. 20/2010 amat potensial melegalkan kekerasan, membenarkan patologi birokrasi, dan membolehkan aparat sipil PNS membunuh rakyat yang dilayaninya, atas nama membela diri dan penegakan perda. Kedua produk hukum itu harus dicabut, minimal direvisi dengan menegaskan wilayah kerja Pol PP dan fungsi berorientasi pada reformasi birokrasi, serta pendekatan mencegah konflik, serta koordinasi lintas sektor.
Sebab PNS seharusnya bekerja atas dasar merit system, dengan manajemen kinerja berbasis kompetensi dan profesionalitas. Ironis memang, di depan mata kita, satu patologi birokrasi tampak dalam kinerja Ditjen Pajak yang tidak mampu meredam laju kejahatan Gayus Tambunan dan kroninya, malah melibatkan atasannya dan oknum Polri. Begitu pula kasus Susno Duadji, dan sekarang tuduhan rekening jenderal polisi dan kasus Yusril Izha Mahendra dengan Sisminbakum, menambah deret patologi birokrasi negara, yang seharusnya prioritas pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
PNS sampai kapan pun harus tetap menunjung mandat konstitusi sebagai abdi negara, pelayan, dan pengayom masyarakat dan bukan “milisi sipil”. Tepat apa yang disampaikan Sekjen DPP PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo (Media Indonesia [8/7/2010]) bahwa mempersenjatai Satpol PP adalah bentuk militerisasi sipil. Tjahjo menyatakan tugas Satpol PP adalah public serving, pelayan dan karena itu sejauh mungkin berupaya menghindari kekerasan. Tata kelola pemerintahan yang berciri supporting, negotiating dan directing merupakan tantangan pembaruan kinerja birokrasi berbasis kompetensi dan ideologi kebangsaan.
Pembaruan
Jika kita percaya pendekatan yang humanis (soft power) dan mengedepankan pencegahan daripada penindakan, hasrat mempersenjatai sipil adalah kesalahan fatal membangun good governance di daerah. Perubahan yang diharapkan: Pertama, merumuskan kembali “jenis kelamin” atau jati diri Pol. PP itu dalam tata kelembagaan daerah sesuai PP 41/2007 dan tentu saja berdasarkan UU 32/2004 (UU 12/2008) tentang Pemerintahan Daerah. Kedua, menegaskan tupoksi Satpol PP sebagai lembaga teknis daerah atau bagian dinas yang mengedepankan urusan efektivitas pelayanan birokrasi, agar tidak terjadi duplikasi dengan fungsi lembaga negara seperti kepolisian. Satpol PP bukan bodyguard kepala daerah, untuk melindungi pola otoritarian, melanggengkan kekuasaan dan kerajaannya.
Ketiga, pembaruan pola rekrutmen petugas Pol. PP agar tidak mengutamakan persyaratan fisik karena mereka bukan polisi tetapi abdi negara dan abdi masyarakat. Persyaratan utama harus mengacu pada kompetensi, kemampuan inteligensia, serta skill mencegah dan meredam konflik horizontal dan vertikal. Keempat, menegaskan batas-batas kewenangan dan selalu berkoordinasi dengan kepolisian dan TNI di bawah tanggung jawab kepala daerah, bukan kepala Pol. PP. n
Opini Lampung Post  Juni  2010