Oleh Moeflich Hasbullah
(Dosen UIN Sunan Gunung Djati, Bandung)
Munculnya era Reformasi yang menjanjikan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan ternyata tidak banyak mewujudkan harapan, terutama dalam hal mengatasi penyakit yang paling kronis diidap bangsa Indonesia, yaitu korupsi. Ketimbang memberantas dan berkurang, era Reformasi malah membuka selubung-selubung mafia korupsi yang parah. Lebih parah lagi, bila zaman Orde Baru korupsi dilakukan oleh penguasa sentral, korupsi pada era Reformasi dilakukan oleh mafia para pejabat antardepartemen.
Korupsi sudah mendarah daging dalam tubuh bangsa Indonesia di berbagai lapisan sosial. Mulai dari pejabat tinggi di institusi-institusi negara, pengusaha dalam gerak bisnisnya, hingga rakyat kecil pada kehidupan sehari-hari. Pejabat negara, individu, atau mafia menilap uang rakyat di tingkat negara dengan menyelewengkan aturan dan jabatan atau melakukan mark up dan laporan untuk kepentingan diri serta mafianya.
Pengusaha melakukan kongkalikong dan menyuap para pejabat. Rakyat bawah merampok gaji guru di jalanan, mengurangi timbangan di pasar, mengoplos dagangan, bahkan mencampur daging segar dengan daging busuk. Hatta terasi pun-seperti terjadi di Cirebon-dioplos dengan belatung dan nasi busuk. Hampir semua lapisan masyarakat di Indonesia memiliki mentalitas korupsi. Semuanya melakukan kejahatan dengan modus dan bentuknya masing-masing. Semua tujuannya sama: ingin cepat kaya dengan menghalalkan segala cara.
Kelemahan jiwa
Sumber dari segala perbuatan korupsi sesungguhnya adalah kelemahan jiwa. Kelemahan jiwa memproduksi rendahnya kesadaran. Kelemahan jiwa dan rendahnya kesadaran mendorong manusia mengejar keinginannya tanpa memikirkan martabat diri dan akibatnya. Kelemahan jiwa dan rendahnya kesadaran membuat diri dikuasai oleh bayangan kesenangan palsu dan sesaat, yaitu mengejar-ngejar kekayaan dengan berbagai cara. Hidup dibius oleh pikiran pendek: menumpuk harta dan mengejar kesenangan.
Inilah sumber semua petaka. Korupsi tak ada hubungan dengan kaya dan miskin. Orang kaya tak melakukan korupsi dan orang miskin tak melakukan kejahatan karena kesadarannya, bukan oleh status ekonominya. Kelemahan jiwa membuat manusia dikuasai angan-angan menjadi kaya dan sesudah kaya terus merasa kurang. Hukum kekayaan dunia hanya satu: the more you have, the more you want.
Tingkat korupsi di Indonesia yang sangat parah dan sudah menjadi mentalitas bangsa menunjukkan bahwa kelemahan jiwa dan rendahnya kesadaran adalah ciri umum manusia Indonesia. Dengan demikian, mengatasi korupsi di Indonesia juga hanya bisa dilakukan dengan memperkuat jiwa untuk sanggup menahan diri dari godaan ingin cepat kaya melalui cara yang tidak benar dan meningkatkan kesadaran untuk sanggup menegaskan benar dan salah dalam kehidupan. Sebagian orang mensyaratkan supremasi hukum dalam mengatasi korupsi. Benar, tetapi harap diingat bahwa hukum hanya bisa tegas dan berwibawa di tangan penegak-penegak yang memiliki kekuatan jiwa dan kesadaran tinggi. Itulah yang membuat negara-negara maju, seperti Amerika, Eropa, Jepang, Korea, dan Hongkong, rendah tingkat korupsinya. Hukum di Indonesia selama ini lemah bukan karena hukumnya, melainkan lemahnya jiwa dan rendahnya kesadaran aparat-aparatnya sehingga tidaklah aneh bila korupsi dan penyelewengan juga banyak dilakukan oleh para aparat penegak hukum sendiri.
Kesempatan
Semua korupsi terjadi karena adanya peluang dan kesempatan yang terbuka. Ada lima kategori kesempatan yang mendorong seseorang melakukan korupsi. Pertama, corruption by need. Ini adalah korupsi skala kecil untuk memenuhi kebutuhan hidup. Misalnya, karyawan kecil menggunakan mobil dinas, telepon kantor, atau komputer untuk urusan pribadi; guru menggunakan uang sekolah untuk membayar listrik dan cicilan rumahnya yang nunggak; atau mahasiswa memakan uang kegiatan untuk bayar kos. Kedua, corruption by gate.Awalnya tidak berniat, tapi tiba-tiba pintu gerbang korupsi terbuka dengan ditawari, diajak, dan disuguhi tanda tangan. Ketiga, corruption by read. Korupsi yang dilakukan dengan membaca situasi, melihat-lihat kemungkinan, aman-tidaknya, apalagi dilakukan bersama atasannya. Keempat, corruption by lead. Korupsi jenis ini dilakukan melalui kedudukan, jabatan, dan posisi kepemimpinannya. Ini korupsi paling umum. Kedudukan sebagai pemimpin paling mudah membuka peluang seseorang untuk melakukan korupsi karena memiliki wewenang dan kekuasaan. Membuat mark up, rekayasa, penyelewengan, dan kongkalikong dilakukan karena kesempatan yang dimilikinya sebagai pemimpin. Kelima, corruption by meat, yaitu memakan daging saudaranya sendiri. Ini adalah korupsi yang paling jahat yang dilakukan dengan memotong dan merampok hak rakyat, bawahan, karyawan, guru, dan sebagainya untuk memperkaya diri.
Negara-negara maju berhasil menekan angka korupsinya menjadi sangat rendah karena kekuatan jiwa untuk menegakkan hukum dan kemampuan mengikuti salah-benar dalam kehidupan. Keduanya sudah menjadi sistem hukum dan kesadaran bersama seluruh komponen bangsanya, yaitu kepala negara, pejabat, pengusaha, dan rakyat. Semua itu adalah indikator keberhasilan pendidikan.
Maka, tantangan bagi Indonesia adalah menciptakan strategi pendidikan yang menghasilkan dua tujuan utama: membentuk kekuatan jiwa warga negara dan kesadaran hidup yang bermartabat. Keduanya hanya bisa diharapkan dari dua hal: pendidikan dan agama. Pendidikan dan pembinaan agama lebih mengarahkan pada pembentukan kekuatan jiwa dan kualitas mental.
Kesalahkaprahan pendidikan kita selama ini adalah keberhasilan diukur dari prestasi-prestasi material dan posisi-posisi sosial. Sementara itu, kesalahan pembinaan agama adalah orientasinya pada bentuk-bentuk formalitas dan kesalehan simbol-simbol. Kita belum terbiasa mengatakan bahwa dalam beragama, kejujuran, keberanian, dan ketegasan memegang prinsip lebih saleh daripada shalat tahajud dan berzikir. Hanya generasi yang dilahirkan dari sistem pendidikan itulah yang kelak akan menciptakan supremasi hukum yang berwibawa dan pemerintahan yang kuat untuk memberantas korupsi.
Opini Republika 12 Juli 2010