13 Juli 2010

» Home » » Akademis Berprestasi

Akademis Berprestasi

Oleh CECEP DARMAWAN
Bangsa ini benar-benar sedang diuji. Sebagian besar ujian terkait dengan berbagai kasus yang menimpa sejumlah elite dan selebriti. Penyebab utamanya diperkirakan berasal dari miskinnya keteladan elite kita. Jika mengacu pada kejadian yang kontemporer, kasus Ariel-Tari-Luna, dan kasus penganiayaan aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), Tama, menjadi perhatian publik yang antusias. Tontonan pertandingan sepak bola Piala Dunia yang berakhir dengan kemenangan tim Spanyol, tidak menggeser isu tersebut. 

Jika yang mencuat ke permukaan selama ini kelemahan bangsa ini, tulisan ini ingin sedikit mengulas tentang secercah harapan bangsa ini dari sudut akademisi berprestasi. Pekan ini, Kementerian Pendidikan Nasional sedang mengadakan ajang seleksi akademi berprestasi. Ada kategori Mahasiswa Berprestasi, Dosen Berprestasi, Ketua Program Studi Berprestasi, Pengelola Keuangan Berprestasi, Laboran Berprestasi, Pustakawan Berprestasi dan Administrasi Akademik Berprestasi.
Di tengah masih terpuruknya dunia pendidikan kita termasuk perguruan tinggi, ada secercah harapan dalam setiap momentum pemilihan akademisi berprestasi. Setidaknya, masih tersisa generasi bangsa ini yang memiliki jiwa untuk memajukan pendidikan dengan mengubah pola pikir, pola tindak, dan pola sikap menuju ke arah perbaikan bangsa. Keteladanan bukanlah sesuatu yang mudah diperbuat. Kecuali sekadar wacana, keteladanan membutuhkan pengorbanan, pengabdian, kerja keras, dan keikhlasan dalam bertindak.
Dosen cendekia
Ada kalangan yang pesimis terhadap dunia kampus. Nataatmadja (2003) menegaskan, institusi atau dimensi yang masih luput dari gerakan reformasi adalah dunia kampus. Rezim otoritas keilmuan dan pendidikan, memiliki penyakit akut yang belum tersentuh gerakan reformasi. Menurut dia, tidak mengherankan jika berhala ilmiah, jahiliah ilmiah, otoriterianisme kampus, feodalisme kampus, atau oligarki intelektual masih bercokol di dunia kampus.
Perguruan tinggi acap dikritik sebagai menara gading. Ia layaknya bangunan yang sulit ditembus kaum masyarakat awam yang tidak memiliki berbagai akses kehidupan. Pandangan skeptis bahkan "sinis" seperti itu tidak sepatutnya dipersalahkan. Justru yang harus dilakukan insan-insan dosen di perguruan tinggi bukannya menepis dengan argumentasi ilmiah, melainkan "meneteskan" secercah ilmu bagi kehidupan masyarakat.
Di samping itu, segala bentuk pengembangan ilmu pengetahuan harus dapat diaplikasikan dan bermanfaat bagi ilmu itu sendiri maupun bagi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Sebab, ilmu tanpa amal bagaikan pohon rindang yang tak berbuah. Seorang dosen dituntut menjadi bagian yang memberikan pencerahan bagi kehidupan masyarakatnya. Orang yang terbaik di dunia ini bukanlah orang terpintar karena ilmunya, melainkan orang paling bermanfaat bagi lingkungan, masyarakat, bangsa, serta negaranya. Itulah hakikat mengapa seseorang penting menjadi dosen yang cendekia. Pintar, cerdas, dan berprestasi memang penting tetapi haruslah ditopang dan dilandasi keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia sebagaimana diamatkan oleh tujuan pendidikan nasional yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan.
Oleh karena itu, setiap proses perkuliahan (pembelajaran dan pendidikan) di perguruan tinggi merupakan upaya untuk membangun karakter keilmuan, budaya akademik, sikap pribadi, karakter sosial bagi mahasiswa sebagai calon intelektual dan pemimpin masa depan. Sebagai akademisi, kita tidak boleh menempatkan diri lebih hebat, lebih tahu, lebih pandai dari dosen lainnya maupun mahasiswa. Ilmu pengetahuan akan dapat tumbuh subur ketika terbangun sikap kritis dan keingintahuan yang mendalam di antara para dosen dan mahasiswanya.
Berangkat dari pemikiran tersebut, semestinya akademisi, selalu berupaya memberi yang terbaik bagi pengembangan ilmu, wawasan, dan kerja sama berbagai pemangku kepentingan sebagai bagian dari ikhtiar menjemput takdir. Sebagai akademisi, khususnya dosen harus terus berupaya mengembangkan diri dan profesinya dalam bingkai tridharma perguruan tinggi.
Berbagai karya ilmiah, berupa buku, hasil penelitian, tulisan di jurnal dan media masa, menjadi penyaji dan partisipan di berbagai kesempatan, anggota dan pengurus organisasi profesi dan kemasyarakatan, harus melekat pada diri akademisi. Akademisi selayaknya melakukan berbagai riset dan kajian hal yang berkenaan dengan persoalan keilmuannya dan memperluas kerja sama dan kemitraan dengan berbagai pemangku kepentingan. Hasil riset tidak sepantasnya hanya menjadi pajangan di lemari atau perpustakaan pribadi, tetapi perlu disebarluaskan. Dengan demikian, hasil pemikirannya dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada lembaga-lembaga yang berkompeten baik pemerintahan maupun masyarakat. Akademisi sepatutnya terlibat dalam beragam kegiatan pengabdian kepada masyarakat baik melalui kelembagaan tingkat jurusan, fakultas, maupun universitas yang dikelola lembaga pengabdian dan penelitian kepada masyarakat.
Akademisi dituntut aktif dalam mendorong reformasi kelembagaan di perguruan tingginya, agar menjadi institusi yang kredibel dan akuntabel sebagaimana diharapkan sehingga dapat menjalankan visi dan misinya secara kredibel. Prinsip good governance di perguruan tinggi hendaknya menjadi prinsip dalam pengelolaan kelembagaan. Elan vital akademisi harus andal dan teruji. Bangsa ini membutuhkan orang-orang yang tidak sekadar cerdas secara intelektual, tetapi butuh kader-kader anak bangsa yang cerdas secara holistik. Pikiran, hati, perasaan, dan spiritual harus cerdas. Kepincangan kecerdasan akan melahirkan manusia yang cerdas secara parsial. Upaya membenahi bangsa ini dengan kecerdasan yang seimbang, itulah yang dibutuhkan. Tentu kecerdasan apa pun semestinya dilandasi kecerdasan spiritual ilahiah. Selamat berprestasi para akademisi, semoga warga bangsa ini dapat menikmati kehidupannya lebih baik atas wakaf ilmu dari akademisinya. ***
Penulis, dosen Pascasarjana dan Sekretaris Komisi D Senat Akademik UPI.
Opini Pikiran Rakyat 14 Juli 2010