DPRD Kota Semarang telah menyelesaikan pembahasan paket dua rancangan peraturan daerah mengenai penanggulangan bencana, yaitu Raperda Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana dan Raperda Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
Apa manfaat paket raperda ini bagi warga Kota Semarang? Harapannya, paket raperda tersebut menjadi landasan Pemerintah Kota (Pemkot) menyelenggarakan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, menyeluruh, dan terintegrasi sehingga mampu memenuhi hak-hak dasar dan perlindungan nyata bagi masyarakat.
Bencana didefinisikan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia, sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis.
Berdasarkan kajian ilmiah Panitia Khusus Paket Raperda Penanggulangan DPRD Kota Semarang bersama tim pakar penyusun naskah akademik, Semarang berpeluang tertimpa beragam bencana. Secara geologis, struktur Semarang meliputi daerah patahan tanah yang bersifat erosif dan berporositas tinggi, struktur lapisan batuan yang tak teratur, heterogen, sehingga mudah bergerak.
Sementara curah hujan tahunan rata-rata 2.183-2.215 mm. Kondisi tersebut menjadikan ibu kota Provinsi Jawa Tengah ini memiliki permasalahan geologi lingkungan yang cukup kompleks, risiko bencana gerakan tanah (longsor), rob akibat limpasan air laut, dan risiko banjir cukup tinggi.
Bencana longsor sering terjadi di kawasan perbukitan di tengah kota dan bagian selatan, seperti kasus longsor di Kelurahan Lempongsari dan Tinjomoyo yang menelan korban jiwa. Banjir sering terjadi di sekitar aliran sungai seperti kawasan sepanjang Banjikanal Barat, Kaligarang, Banjirkanal Timur, Kali Tenggang, dan Kali Banger, serta bagian utara kota yang morfologinya berupa dataran pantai seperti Genuk, Gayamsari, Semarang Utara dan Tugu.
Pembangunan kota yang tidak terkendali dalam beberapa tahun terakhir ikut memperbesar risiko banjir, rob, dan longsor. Pemicunya bukit-bukit sebagai daerah hulu sungai-sungai dibersihkan dari pohon dan dihilangkan sifat kelerengannya. Pengeprasan bukit juga telah mengubah topografi, sementara rencana tata guna tanah kurang memperhatikan pelestarian ekosistem makro.
Belum lagi rencana tata ruang tidak tersosialisasi dengan baik sehingga tidak diterapkan dalam realitas pembangunan. Di samping itu, mayoritas masyarakat masih menganggap sungai sebagai daerah terbelakang, tempat buangan atau sekadar pembatas kawasan.
Dua Alasan Atas realitas itulah, paket raperda penanggulangan bencana sangat urgen. Begitu paket raperda ditetapkan, Pemkot harus segera membentuk BPBD, lengkap dengan acuan yuridis dan operasional penanggulangan bencana yang sudah tersedia.
Mampukah BPBD mengatasi bencana di Kota ATLAS, khususnya rob dan banjir yang hampir membuat warga putus asa mengatasinya? Penulis optimistis melihat dua alasan. Pertama; setelah terbentuk, BPBD sesuai amanat peraturan perundangan wajib menyusun Rencana Aksi Daerah Penanggulangan Bencana untuk masa tiga tahun. Jika BPBD terbentuk tahun 2010 maka akan ada program penanggulangan rob dan banjir yang terencana, terpadu, menyeluruh dan terintegrasi hingga 2013.
Alasan kedua, pada 2013 itulah rencananya selesai megaproyek Integrated Water Resources and Flood Management Project (IWRFMP) for Semarang, kerja sama Pemerintah Indonesia dan Jepang, yang mencakup tiga proyek, yaitu normalisasi Kaligarang/ Banjirkanal Barat, pembangunan Waduk Jatibarang, dan perbaikan drainase kota.
Jika megaproyek ini rampung sesuai rencana mampu mengendalikan banjir dengan desain 50 tahun; mengembangkan potensi sumber air untuk memenuhi kebutuhan air baku; mengurangi kerusakan akibat intrusi, tanah ambles dan genangan air rob; memperbaiki kualitas lingkungan sepanjang sungai dan daerah permukiman; serta meningkatkan kelestarian fungsi konservasi di daerah aliran Kaligarang.
Penanggulangan bencana pada dasarnya tanggung jawab seluruh komponen masyarakat. Program penanggulangan bencana BPBD hanya berhasil bila mendapat dukungan dan melibatkan partisipasi seluruh unsur masyarakat. Karena itu mari bersama bahu-membahu menanggulangi bencana, khususnya rob dan banjir. Katakan, ’’Good bye rob, good bye banjir’’. (10)
— Imam Mardjuki, Sekretaris Panitia Khusus Paket Raperda Penanggulangan Bencana, Ketua Fraksi PKS DPRD Kota Semarang
Opini Suara Merdeka 14 Juli 2010