K. Muhammad Hakiki
Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung
Hegemoni kapitalisme global yang terus mencengkeram seluruh relung jagat raya ini telah meluluhlantakkan kekuatan-kekuatan lokal. Perusahaan-perusahaan multinasional yang didukung oleh kekuatan korporasi media dan teknologi informasi telah membuat dunia ketiga—termasuk Indonesia—tidak memiliki daya kekuatan menolak arus permainan global yang terus masuk. Kekuatan untuk menolak neoliberalisme memang tidak mudah. Hal ini karena kekuatan neoliberal telah memasuki relung hati, perasaan, dan pikiran manusia, di samping menguasai sistem politik, ekonomi, dan teknologi.
Neoliberalisme dengan konsep konsumerismenya lebih menarik ketimbang konsep kelompok-kelompok yang melawan dan meloknya. Oleh sebab itu, pola efektif apa yang dibangun dalam rangka mencegah dan melawan kekuatan neoliberal tersebut. Inilah yang perlu kita pikirkan saat ini.
Satu di antara ragam solusi yang paling tepat yakni melalui jalur pendidikan. Pendidikan merupakan alternatif utama untuk membangun kesadaran masyarakat atas keterjajahan diri oleh orang lain. Hanya masalahnya selama ini justru pendidikan tidak pernah terbebas dari kepentingan politik. Pendidikan termasuk di Indonesia, tidak bisa terbebaskan dari upaya untuk melanggengkan dan melegitimasi kekuasaan sistem sosial ekonomi sehingga pendidikan kerap cenderung dijadikan sebagai sarana untuk memproduksi sistem dan struktur sosial yang tidak adil.
Oleh sebab itu, saat ini dibutuhkan sistem pendidikan yang justru membebaskan masyarakat dari dominasi kekuasaan dan ketidakadilan tersebut. Langkah itu hanya bisa dilakukan dengan memproduksi pendidikan yang dapat menumbuhkan sistem kesadaran kritis sebagai prasyarat upaya untuk pembebasan sebagaimana yang diungkapkan oleh Paulo Freire (1986) yang membagi kesadaran dalam tiga golongan, yaitu kesadaran magis (magical consciousness), kesadaran naif (naival consciousness), dan kesadaran kritis (critical consciousness).
Dengan cara ini diharapkan pendidikan akan menghasilkan sebuah gerakan untuk melawan dehumanisasi, eksploitasi, dominasi gender, serta hegemoni budaya lainnya yang dilakukan oleh negara-negara adidaya itu. Sekali lagi, cara untuk melawannya, saat ini perlu dibangun visi kritis pendidikan terhadap sistem yang dominan sebagai pemihakan kepada yang lemah dan tertindas sehingga pendidikan dapat mampu menciptakan sistem sosial baru dan lebih adil. Dengan kata lain, pendidikan adalah memanusiakan kembali manusia yang mengalami “dehumanisasi” karena sistem dan struktur yang tidak adil.
Jika kita perhatikan kondisi pendidikan saat ini, pengaruh pendidikan yang bermazhab positivisme sangat dominan hampir di seluruh lembaga pendidikan maupun masyarakat sehingga pola yang dikembangkan dalam praktek mendidik (proses belajar) cenderung bertolak belakang dengan semangat pembebasan dan transformasi sosial. Pikiran positivistik seperti objektivitas, empiris, tidak memihak pada peserta didik, berjarak dengan objek belajar, rasional, dan bebas nilai menjadikan proses pendidikan sangat dominatif dan menumpas benih-benih emansipatoris.
Dalam perspektif positivisme, pendidikan lebih dimaksudkan sebagai proses untuk mencerdaskan, membuat orang menjadi terampil, dan ahli. Sementara komitmen, keyakinan, dan kepercayaan terhadap sistem yang lebih adil dan motivasi untuk melawan struktur sosial yang ada tidak dilakukan, tetapi lebih sibuk menfokuskan pada bagaimana membuat sistem yang ada bekerja.
Dalam sistem yang otoriter dan tidak demokratis, sulit bagi pendidik untuk memerankan peran kritisnya. Dengan demikian langkah strategis terpenting adalah menciptakan proses belajar yang otonom dan partisipatoris dalam pengembangan kurikulum, dan penciptaan ruang bagi proses belajar bagi perserta didik untuk menjadi diri mereka sendiri.
Setiap pendidikan adalah otonom dan unik untuk menjadi diri mereka sendiri. Jika demokratisasi pendidikan terjadi, akan melahirkan masyarakat yang otonom dan demokratis pula. Akhirnya masyarakat yang demokratis akan menyumbangkan lahirnya bangsa yang demokratis. Jika hal ini sudah terjadi, hegemoni neoliberalisme akan tercerabut di negeri ini. n
Opini Lampung Post 14 Juni 2010