13 Juli 2010

» Home » Media Indonesia » Belajar dari Reformasi China

Belajar dari Reformasi China

Kebijakan reformasi dan pintu terbuka China telah dicanangkan mendiang Presiden Deng Xiaoping saat berlangsungnya Kongres Rakyat Nasional pada 1983. Kebijakan tersebut telah mengubah secara drastis sistem perekonomian China dari yang sebelumnya dikendalikan oleh politik sosialis tertutup menjadi ekonomi yang liberal dan terbuka. Reformasi tersebut antara lain meliputi pintu terbuka untuk dunia luar, mendorong pembangunan ekonomi melalui mekanisme orientasi pasar, optimalisasi struktur ekonomi dan pembangunan infrastruktur, peningkatan kualitas produk yang lebih kompetitif, mendorong investor asing menanamkan modalnya di China, dan mengundang masuknya teknologi maju asing, termasuk mengundang manajer-manajer andal dari mancanegara masuk ke China.


Pada 1997, saat berlangsungnya kongres ke-15 Partai Komunis China, pemimpin China mengeluarkan 'fatwa' yang menyebutkan bahwa kegiatan ekonomi yang bersifat individu dan swasta adalah bagian penting ekonomi pasar sosialis. Selanjutnya pada kongres 2003, iklim dunia usaha kembali didorong melalui kebijakan antara lain memfasilitasi kegiatan ekonomi swasta dan individu lewat perizinan yang cepat dan sederhana, akses mudah ke bank, pembolehan swasta masuk ke bidang usaha infrastruktur, dan pembangunan fasilitas umum, serta pemberian perlakuan yang sama terhadap semua perusahaan baik negara maupun swasta. Kebijakan reformasi ekonomi dan pintu terbuka yang dicanangkan China juga telah mendorong masuknya investasi asing ke China. Pangsa pasar yang sangat besar, upah buruh yang relatif rendah, serta iklim ekonomi yang kondusif menjadi daya tarik bagi investor asing untuk membuka usaha di China.

Selain reformasi ekonomi, pemerintah China juga aktif memfasilitasi teknologi asing masuk ke China melalui program 'Inviting in' dan 'Sending out'. Program ini dicanangkan mendiang Presiden Deng Xiaoping pada 8 Juli 1983 melalui pidatonya yang terkenal Introducing Foreign Intelligence and Extending Opening-up. Dalam pidatonya, Xiaoping menekankan perlunya memperkenalkan teknologi asing dan mengimpor tenaga-tenaga ahli asing untuk terlibat dalam proyek-proyek konstruksi penting di China. Sebab, negara tersebut menyadari SDM yang ada masih kurang pengalaman dan berkemampuan terbatas. Pidato tersebut menunjukkan kesadaran perlunya bantuan asing untuk menuju modernisasi.

Untuk menjamin terlaksananya keinginan tersebut, pemerintah China mendirikan sebuah lembaga pemerintah nonkementerian bernama State Administration of Foreign Experts Affairs (SAFEA) yang khusus bertugas memfasilitasi program 'Inviting in dan Sending out'. Program 'Inviting in' adalah program mengundang para ahli asing masuk ke China untuk bekerja di China. Mereka dipekerjakan di berbagai bidang baik di instansi pemerintah maupun di perusahaan-perusahaan swasta sesuai dengan kebutuhan. Jenis tenaga ahli yang didatangkan juga beragam, mulai dari tenaga ahli di bidang manajerial, quality control, pemasaran, penelitian dan pengembangan, teknisi, dan konsultan di bidang pertanian. Mereka diberi kebebasan untuk berinovasi dan menularkan keahliannya kepada karyawan lokal. Jumlah tenaga ahli yang bekerja di China dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada 1984 saat dimulainya 'Opening up Policy' jumlah tenaga ahli asing yang bekerja di China baru sekitar 300 orang, tapi pada 2008 jumlah tersebut telah mencapai 480 ribu dan pada pertengahan 2010 ini jumlah tersebut diperkirakan mencapai 500 ribu orang.

Selain mendatangkan tenaga ahli asing, melalui program 'Sending out' pemerintah China juga gencar mengirimkan warganya ke luar negeri. Mereka tidak hanya terbatas berasal dari instansi pemerintah, perusahaan negara dan swasta, tetapi juga para petani dan bahkan para pekerja sosial. Mereka dikirim ke berbagai negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Australia, Korea Selatan, dan Taiwan untuk mengikuti pelatihan singkat antara 1-3 bulan di berbagai perusahaan dan universitas. Setelah kembali ke negaranya, mereka mempraktikkan keahlian dan menularkan ilmu kepada komunitasnya. Pada 1984, jumlah yang dikirim ke luar negeri sekitar 600 orang dan pada 2008, jumlah tersebut telah mencapai 70 ribu orang. Adapun jumlah mahasiswa yang belajar di universitas-universitas ternama luar negeri hingga tahun 2009 diperkirakan mencapai 229 ribu orang.

Reformasi ekonomi

Dalam jangka waktu relatif singkat sejak reformasi ekonomi dan pintu terbuka tahun 1978, China telah menjadi raksasa ekonomi dunia. World Expo 2010 yang berlangsung di Shanghai, China, dari bulan Mei รข€“ Oktober tahun ini menegaskan betapa China telah menjadi salah satu pelaku utama ekonomi terpenting dunia. Bukti nyata dari dominasi tersebut juga dapat dilihat dari produk-produk asal China yang memasuki hampir semua pasar dunia termasuk Indonesia. Mulai dari produk pakaian jadi, mainan anak-anak, peralatan rumah tangga, elektronik, suku cadang kendaraan, kendaraan bermotor, mesin, hingga produk obat-obatan dan makanan. Perusahaan-perusahaan raksasa China telah merambah dunia. China diyakini telah menjadi pelaku ekonomi terbesar ketiga setelah Amerika Serikat dan Jepang.

Dengan pertumbuhan ekonomi mencapai 9% dalam 10 tahun terakhir, China menjadi negara yang memiliki cadangan terbesar di dunia saat ini. China telah meningkatkan pendapatan per kapita hampir 10 kali lipat dari US$275 pada 1978 menjadi US$2.460 pada 2008.

Kasus yang terjadi di China ini menunjukkan sebuah contoh terbaik dari sebuah negara berkembang. China dengan berani memanfaatkan teknologi dan tenaga ahli asing untuk membangun negaranya. Ada beberapa hal yang patut dicontoh Indonesia dalam memajukan perekonomian dengan memanfaatkan teknologi dan tenaga ahli asing.

Pemerintah China dengan menggunakan pendekatan proaktif mengundang tenaga asing ke China, dan diizinkan bekerja di bidang konstruksi strategis. Namun ada sebuah kewajiban bagi tenaga asing menularkan ilmu dan keahlian kepada tenaga ahli lokal. Di samping itu, ada kesinambungan dalam program tersebut, dengan mengirim tenaga ahli lokal belajar ke luar negeri dan wajib dipraktikkan di dalam negeri. Pemerintah China juga memberikan tempat khusus kepada para peneliti lokal yang baru menimba ilmu ke luar negeri untuk mempromosikan hasil-hasil inovasi ke masyarakat.

China juga membuat perangkat pendukung dengan mendirikan lembaga khusus yang memiliki tugas membuat kebijakan, peraturan, dan panduan yang berhubungan dengan pemanfaatan teknologi asing. Termasuk di dalamnya seleksi perizinan tenaga asing yang bekerja di China maupun peneliti China yang akan belajar ke luar negeri. Lembaga tersebut juga berkewajiban menyusun rencana tahunan pelatihan ke luar negeri, termasuk bidang keahlian apa saja yang dianggap potensial untuk bisa dikembangkan di China.

Program tersebut terus berkelanjutan meski pemerintahan terus berganti pemimpinnya. Kebijakan yang konsisten itu mengakibatkan program berjalan secara berkesinambungan dan membuahkan hasil yang optimal. Akhirnya tercipta budaya inovasi di masyarakat. Sebenarnya di Indonesia sudah sejak lama ada kebijakan terbuka terhadap keahlian/teknologi asing. Namun sepertinya baik tenaga ahli asing maupun teknologi asing yang dipakai, hanya sebatas membantu dalam tujuan dan pekerjaan tertentu, belum dimanfaatkan secara optimal untuk mendorong budaya inovasi nasional. Semoga pengalaman China ini membawa inspirasi bagi kita.

Oleh Ruben Silitonga Kepala Bidang Perkembangan Jaringan Iptek Internasional Kementerian Riset dan Teknologi
Opini Media Indonesia 14 Juli 2010