Oleh Ki Supriyoko
Seandainya saya Menteri Pendidikan Nasional, rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI) akan segera saya bubarkan, saya tutup rapat-rapat dan tidak dapat dibuka kembali. Demikianlah ungkapan kekecewaan yang telontar dari salah seorang peserta diskusi pendidikan.
Diakui, konsep RSBI pada dasarnya adalah konstruktif, yaitu membuat rintisan agar sekolah-sekolah di Indonesia memiliki standar internasional sehingga mampu bersaing dengan sekolah-sekolah terbaik di mancanegara. Namun, dalam pelaksanaannya, terjadi penyimpangan yang meresahkan masyarakat, yaitu RSBI hanya dapat dinikmati anak-anak kaya, sedangkan anak-anak miskin dilarang. Bagaimana tidak, untuk dapat masuk ke RSBI harus menyediakan uang jutaan rupiah, di samping ratusan ribu rupiah yang harus dikeluarkan secara rutin setiap bulannya. Mana mungkin orang miskin mampu?
Bertaraf internasional
Kalau kita perhatikan amanat UU Sistem Pendidikan Nasional memang ada kewajiban pemerintah untuk menyelenggarakan sekolah bertaraf internasional. Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas secara eksplisit menyebutkan pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.
Berdasarkan amanat UU Sisdiknas, rupanya pemerintah segera mengembangkan RSBI, khususnya di SMP, SMA, dan SMK. Sekarang, jumlah RSBI mencapai ratusan dan bertebaran di tiap kota. Konsepnya memang bagus, kalau di setiap daerah ada sekolah yang bertaraf internasional diharapkan sekolah tersebut dapat "menarik" sekolah yang lain untuk mengikuti jejaknya. Alhasil, nantinya sekolah-sekolah di Indonesia akan bertaraf internasional.
Kalau kita mengacu syarat untuk mendirikan RSBI mulanya memang ketat, menyangkut ketersediaan guru berpendidikan minimal magister, penguasaan ICT (information and communication technology) dan bahasa Inggris guru, pemenuhan kompetensi kepala sekolah, ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan, kecukupan dana yang tersedia, dan sebagainya. Dengan adanya syarat ketat tersebut, diharapkan kualitas pendidikan RSBI dapat diandalkan, berkualitas internasional, setidak-tidaknya di atas rata-rata kualitas pendidikan sekolah kita pada umumnya.
Benarkah kualitas RSBI kita sudah dapat diandalkan? Bahwa kualitas pendidikan RSBI di atas rata-rata kualitas pendidikan sekolah umumnya barangkali benar, tetapi jangan lupa, banyak RSBI yang hasil ujian nasionalnya belum menggembirakan. Di dalam UN SMP, SMA, dan SMK tahun ini banyak siswa RSBI yang tidak lulus dalam ujian utama sebagaimana terjadi pada sekolah-sekolah non-RSBI. Kalau begitu, lalu apa beda RSBI dengan non-RSBI?
Jadi, kalau ukurannya adalah hasil UN rasanya masih agak sulit untuk menyatakan kualitas pendidikan RSBI sudah dapat diandalkan dan memenuhi harapan masyarakat.
Bagaimana dengan berkualitas internasional? Kita janganlah bodoh, apalagi membodohi masyarakat! Yang disebut berkualitas internasional itu sebenarnya tidak ada!
Kami pernah mengundang beberapa pimpinan sekolah internasional di Jakarta yang kualitasnya diakui masyarakat, baik yang basis kurikulumnya Inggris, Belanda, Amerika, Australia, maupun Jepang. Ketika kami tanyakan kualitas internasional, mereka bingung. Mereka tidak kenal dan tidak ada istilah kualitas internasional. Di Inggris, tidak ada istilah kualitas internasional, demikian pula halnya di negara lain. Jadi, bohong besar kalau penyelenggara RSBI menyatakan bisa meluluskan siswa berkualitas internasional.
Meresahkan masyarakat
Tidak selalu konsep yang baik itu diikuti pelaksanaan yang baik. Meski konsep RSBI itu baik, dalam pelaksanaannya banyak hal yang meresahkan masyarakat, khususnya menyangkut pembiayaan.
Adalah langkah yang tepat kalau pemerintah dan pemerintah daerah meringankan beban masyarakat. Kalau untuk masuk sekolah (negeri) tidak dipungut bayaran rasanya melegakan, tetapi tidak demikian halnya kalau untuk masuk RSBI harus dikenakan biaya ratusan ribu bahkan jutaan rupiah. Semua ini adalah legal dan sepengetahuan aparat pemerintah daerah, khususnya pimpinan Dinas Pendidikan setempat. Akibatnya, rakyat miskin hanya bisa menjerit iba tanpa tahu harus mengadukan nasibnya ke mana.
Kalau hal ini dilanjutkan, jelas bertentangan dengan UUD 1945 yang menjamin semua warga negara berhak mendapatkan pelayanan pendidikan termasuk pelayanan RSBI.
Untuk menyikapi hal tersebut, pejabat di Kementerian Pendidikan Nasional harus bertindak dengan mengedepankan hati, bukan pikiran semata. Memberikan pelayanan pendidikan kepada orang kaya tentu tidak melanggar undang-undang dan undang-undang dasar, tetapi meminggirkan orang-orang miskin bukanlah bagian dari ketentuan UU dan UUD.
RSBI merupakan sekolah yang membanggakan sekaligus meresahkan. Sudah tiba waktunya sekolah ini segera dievaluasi. Kalau perlu masyarakat miskin dilibatkan secara langsung dalam evaluasi ini agar mendapatkan solusi RSBI yang lebih berkualitas dan berkeadilan!!! ***
Penulis, Direktur Pascasarjana Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta dan pimpinan Sekolah Unggulan Insan Cendekia Yogyakarta
Opini Pikiran Rakyat 14 Juni 2010