Seorang  sosiolog berkebangsaan Italia, Vilfredo Pareto (1848-1923), pernah  berujar bahwa para elite datang dan pergi tetapi kondisi sebagian besar  rakyat tetap sama. Ungkapan Pareto ini masih relevan dengan kondisi  objektif bangsa Indonesia yang mengalami ketimpangan sosial di mana  rakyat miskin tetap terbuang dan tak pernah beranjak dari nasib susah di  bumi pertiwi ini. 
Di  tengah berita skandal Bank Century (BC) yang merugikan negara Rp 6,7  triliun, nasib rakyat sangat memrihatinkan. Anak jalanan di kota-kota  besar kehilangan masa depan dengan hidup tanpa arah dan usia dihabiskan  untuk mengemis. Mereka berada dalam kerangkeng struktur sosial yang  tidak adil dengan kebijakan yang tak berpihak kepada mereka. 
Media  massa dan elektronik telah membuka betapa hak-hak orang miskin dan anak  telantar begitu menderita. Ada seorang ibu yang menggadaikan bahkan  menjual janinnya hanya untuk membayar tunggakan kontrakan. Seorang ibu  muda meninggalkan ketiga anaknya dan dibiarkan sendirian tanpa memberi  makanan karena alasan tak memiliki uang. Berita-berita semacam ini,  tentu saja, sangat mengiris hati ketika, pada saat yang sama, para  pejabat mempertontonkan kemewahan dengan gaji dan fasilitas yang besar.
Kian  pudar
Tujuan berbangsa dan bernegara adalah untuk menciptakan  kesejahteraan rakyat dalam kerangka NKRI. Tujuan bernegara bukan mencari  keuntungan untuk kepentingan pribadi, kelompok dan golongan. Para  pemimpin yang dipilih oleh rakyat diamanatkan untuk mengusahakan  kesejahteraan, keadilan, dan keamanan bagi kehidupan rakyat dalam rumah  besar bernama Indonesia. Inilah dasar pokok bernegara dan berbangsa.
Tapi  bagaimana kenyataannya? Tujuan di atas sering hanya menjadi deretan  huruf mati. Para pemimpin sering lupa dengan tugas pokoknya, sehingga  kondisi rakyat terus memrihatinkan. Sumpah dan janji jabatan di atas  kitab suci dianggap mainan sehingga pelanggaran pun terus terjadi.  Terbukti dengan banyaknya pejabat yang terjerat kasus korupsi setelah  mereka lengser. Bahkan jabatan dianggap sebagai peluang untuk memperkaya  diri.
Mengapa hal ini terjadi? Sebab pokoknya adalah mereka tak  lagi memiliki spiritualitas politik. Mereka tak terbimbing oleh  pilihan-pilihan moral yang diajarkan agama dan kearifan tradisi luhur  bangsa. Meski mereka membaca kitab suci, tetapi makna profetiknya tak  membekas dan tertutup oleh godaan-godaan kekuasaan. Karena itu, tak  heran jika kasus Bank Century yang terang-benderang menjadi kabur dan  sulit untuk dipecahkan. Mereka saling menyalahkan dan mengancam. Ketika  kasus BC terus menjepit kelompok A, ia balik menggertak dengan perintah  mengusut tunggakan pajak si B. 
Pemandangan ini, tentu saja,  tidak lucu. Rakyat memperoleh kesan seolah-olah negara ini mainan  sekelompok elite dan menjadi lahan dagang sapi. Tugas kepemimpinan yang  sangat mulia dan agung berupa mengusahakan kesejahteraan rakyat berubah  menjadi perebutan kepentingan jangka pendek. Kondisi semacam ini tentu  berbahaya bagi tegaknya bangsa dengan jumlah penduduk 220 juta. Jika  merosotnya spiritualitas politik tidak dihentikan, banyak penumpang  (baca: rakyat) yang akan menjadi korban dan kapal besar Indonesia terus  bocor.
Adalah ironi, sebuah bangsa dengan nafas religiusitas yang  sangat bergairah tetapi dihantui oleh penyakit spiritual kepemimpinan.  Penyakit spiritual, pada urutannya nanti, akan melahirkan penyakit  eksistensial bangsa yang mewujud dalam karut-marut kehidupan di tiap  aspeknya (ekonomi, sosial, dan politik). Mengapa  bekas-bekas ajaran  kitab suci seperti tanpa jejak dalam perilaku-perilaku elit bangsa? 
Keadaan  ini rupanya yang mendorong unjuk rasa massa belakangan ini makin tidak  sopan dan juga tidak santun. Ini terjadi karena para pemimpinnya  mempertontonkan “ketidaksopanan politik”. Saat kondisi rakyat terhimpit  oleh kemiskinan, para pejabat memperoleh fasilitas mobil mewah seharga  Rp 1,3 Miliar; ketika rakyat menuntut keadilan, orang-orang lemah malah  banyak dipenjara hanya dengan pencurian sebuah semangka atau tiga biji  kakao. Padahal, pada saat yang sama, “perampok” BC dihukum ringan dan  masih bebas. Keadilan di negeri ini masih sangat mewah. Dan hanya  terbeli oleh orang-orang yang mampu. Kondisi semacam ini makin  menumpulkan hati nurani dan memberi pelajaran buruk bagi bangsa yang  haus akan keteladanan.
Membangun spiritualitas 
Rakyat  kini sedang terluka oleh perilaku politik para elit, terutama terkait  dengan kasus terakhir (baca: kasus BC). Sembari menanti penyelesaian  kasusnya secara transparan, rakyat juga berharap pihak-pihak yang  bersalah harus diberi sanksi, apa pun posisinya. Kasus ini merupakan  simbol moral tertinggi bangsa. Bila kasus besar ini diselesaikan dengan  politik dagang sapi, maka akan meruntuhkan posisi moral partai-partai  politik di mata rakyat, termasuk wibawa pemerintah. Perlu dipikirkan  gerakan moral massif yang bakal terjadi baik melalui aksi-aksi jalanan  (ekstraparlementer) maupun lewat jejaring Facebook (jika kasus BC  berakhir secara antiklimaks).
Kita berharap  Pansus Angket tetap  konsisten menyelesaikan kasus BC dengan baik dan adil. Pesimisme banyak  orang tentang runtuhnya moral dan spiritual para elit harus dibantah  lewat aksi-aksi nyata. Keberhasilan ini akan meningkatkan kepercayaan  rakyat bagi penuntasan masalah bangsa yang masih terbengkalai di masa  depan. 
Kita tak perlu malu meniru bangsa Jepang, China,  Singapura, dan Korea Selatan yang sangat disiplin dalam masalah moral.  Pemimpin di negara-negara itu akan mengundurkan diri jika melakukan  pelanggaran moral, apalagi yang berat.  Kedisiplinan moral ternyata  mampu mengantarkan bangsa-bangsa di atas pada derajat yang bermartabat  dan disegani bangsa-bangsa lain. 
Jika mereka bisa, kita pun  harus bisa karena bangsa kita memiliki modal sosial berupa religiusitas  warga yang gegap gempita, nilai-nilai luhur tradisi bangsa, dan kearifan  yang dimiliki warga negara. Modal-modal sosial tersebut, saya kira,  tidak kalah hebat dan kuat untuk membangun spiritualitas dan moral  politik bangsa.  
Dan tampaknya, para pemimpin negeri ini belum  mengoptimalkan modal-modal sosial itu sebagai penopang pemerintahan yang  kuat, bermoral, bersih, tegas, dan penuh pengabdian. Meski para  pemimpin itu datang dan pergi, tetapi kondisi rakyat belum beranjak  secara berarti ke arah yang lebih manusiawi. Fakta-fakta inilah yang  agaknya disindir oleh Vilfredo Pareto sebagaimana dikutip di awal  tulisan ini.  - Oleh : Mudhofir Abdullah Dosen Pascasarjana STAIN  Surakarta
Opini Solo Pos 03 Maret 2010 
02 Maret 2010
Rakyat dan pudarnya spiritualitas politik
Thank You!