Dalam usia pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)–Boediono yang  baru saja menyelesaikan program  seratus hari kerja, kritik terhadap  kinerja Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II terus menggelinding. 
Padahal Presiden Yudhoyono sudah mengklaim bahwa tingkat  keberhasilan program yang ditetapkan mencapai 90%. Bahkan dengan percaya  diri menetapkan lagi batasan waktu dua ratus hari kerja ke depan, untuk  mengevaluasi kinerja para menteri dalam KIB II. 
Batasan waktu secara umum bisa mendorong kinerja organisasi politik.  Tetapi secara kultural, batasan waktu yang diberlakukan terhadap  Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II tidak sejalan dengan budaya waktu  yang melembaga di masyarakat. Sebab, pada umumnya orang Indonesia, tanpa  terkecuali elite politik, dalam menjalankan tugas menyuarakan  kepentingan rakyat, cenderung mempermainkan waktu objektif. 
Pemandangan ruang sidang DPR RI di Senayan yang kosong melompong,  mereka yang memainkan telepon seluler saat rapat, dan gambaran lain yang  mencerminkan ketidakseriusan dalam menjalankan amanat rakyat, jelas  menunjukkan kecenderungan memosisikan diri sebagai majikan waktu  subjektif yang tidak menghargai pentingnya waktu. Walaupun tidak bisa  dimungkiri, dalam urusan berbagi kekuasaan dan bukan berbagi tanggung  jawab, politisi sangat peduli terhadap waktu objektif   yang dihabiskan  oleh menteri-menteri dalam kabinet SBY–Budiono. 
Peringatan 
Terlepas dari kontradiksi antara batasan waktu dalam menjalankan  pekerjaan dan  kultur pengabaian waktu, batasan waktu dua ratus hari  yang dikemukakan SBY jelas suatu peringatan bagi menteri, khususnya yang  berasal dari partai politik pendukung koalisi, agar tidak bertindak  melenceng dari kesepakatan yang telah disetujui bersama. Tentu ini juga  sejalan dengan penegasan Amir Syamsuddin, Sekjen Partai Demokrat, yang  mengungkapkan perlunya reshuffle KIB Jilid II. Esensinya, bagi  lingkaran partai berlogo berlian biru, batasan waktu memang dipakai  sebagai titik tolak untuk mengganti menteri dari partai politik  pendukung koalisi. 
Untuk menciptakan pergantian menteri yang tepat, pemerintahan  SBY-Boediono akan mengemukakan evaluasi tingkat keberhasilan  pemerintahan ataupun kinerja KIB Jilid II, yang tidak akan mencapai 100%  Selain untuk kepantasan, tentunya persentase kegagalan akan dipakai  sebagai amunisi untuk membidik 'sasaran tembak' menteri dari partai  politik yang akan diganti. 
Persaingan internal 
Namun, yang menjadi persoalan ialah semua parpol yang menempatkan  kadernya di kabinet merasa berhasil dalam menjalankan tugas. Artinya,  akan muncul persaingan sengit antara kubu SBY–Demokrat dan partai  koalisi dalam memperebutkan kursi menteri yang dilengserkan. Karena itu,  batasan waktu dua ratus hari, bukan mustahil menjadi bumerang bagi  pemerintahan SBY-Boediono. Sebab, dipastikan penafsiran dari partai  pendukung koalisi, yang harus dilengserkan adalah menteri dari kubu  Partai Demokrat atau para profesional yang mengisi KIB II. Pada kondisi  ini, yang paling mudah dikorbankan ialah para profesional yang tidak  mempunyai dukungan partai politik. 
Berpijak kepada asumsi itu, terminologi waktu dua ratus hari pada  akhir bulan April 2010, cenderung akan diwarnai oleh demonstrasi massa  dan hiruk pikuk usulan reshuffle kabinet. Bahkan tuntutan  pelengseran menteri akan muncul lebih kuat dari partai koalisi, karena  mengingat jargon yang biasa disuarakan adalah 'mendukung pemerintahan  SBY dengan arah yang benar'. 
Sebuah pernyataan subjektif yang bermuara kepada kepentingan partai  politik. Jadi substansinya, reshuffle lebih banyak bernuansa  memperebutkan kekuasaan dalam kabinet daripada upaya untuk meningkatkan  kinerja menteri agar lebih berpihak kepada rakyat. 
Meski penunjukan menteri merupakan hak prerogatif presiden,  sebaiknya pemerintahan SBY–Boediono tidak lagi mengeluarkan batasan  waktu untuk mengevaluasi kinerja para menteri yang sarat dengan maksud  untuk melengserkan menteri. Sebab, dalam perspektif komunikasi politik,  evaluasi dan perbaikan terhadap kohesivitas komunikasi dan produktivitas  kerja organ kekuasaan bisa dilakukan setiap saat, tanpa menunggu  batasan waktu objektif. 
Idealnya, memang menteri KIB II bekerja tetap menghargai waktu,  namun sebaiknya mereka tidak ditekan dengan batasan waktu. Lingkaran  dalam Presiden Yudhoyono dan Partai Demokrat harus menilai kinerja  menteri berdasarkan prestasi kerja dan 'tidak dikaitkan' dengan sikap  partai tempat menteri itu bernaung. Sedangkan bagi elite politik,  seharusnya tidak menilai kinerja menteri secara subjektif sebatas  mengunggulkan nafsu menggusur dan memperoleh kaveling baru, tetapi  didasarkan pada aspek faktual pencapaian kinerja menteri terkait. 
Namun persoalannya, koalisi partai politik pendukung pemerintahan  SBY-Boediono memang rapuh, tidak integratif dan jauh dari nilai  kohesivitas aliansi partai politik. Alhasil, batasan waktu dua ratus  hari pemerintahan SBY merupakan saat yang ditunggu–tunggu untuk  memperebutkan posisi menteri dan memperkuat kekuasaan dari sejumlah  entitas politik di lingkaran pemerintahan. 
Oleh Dr Eko Harry Susanto Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi  Universitas Tarumanagara Jakarta
Opini Media Indonesia 03 Maret 2010