Oleh Aan Zainal Hafid 
Ricuh di dalam, ricuh di luar. Begitulah situasi yang terjadi saat  penyampaian laporan kesimpulan Panitia Khusus Angket Bank Century dalam  Rapat Paripurna DPR, Selasa (2/3). Di tengah ricuhnya unjuk rasa di luar  gedung dewan, para wakil rakyat itu pun terlibat kericuhan akibat  ketidakpuasan mereka terhadap pimpinan sidang. Mau tidak mau, kenyataan  ini kembali menegaskan tingkat kedewasaan para wakil rakyat yang masih  mengkhawatirkan ketika menghadapi masalah-masalah krusial.  Bagaimana  rakyat akan dapat menyikapi persoalan dengan arif ketika para wakil  rakyat yang sejatinya menjadi panutan itu justru memperagakan perilaku  yang jauh dari etika politik dan kesantunan?
Di luar itu, meski sampai hari-hari terakhir Sidang Paripurna DPR  digelar, sejumlah fraksi di Pansus masih menyatakan tekadnya untuk tetap  konsisten pada sikapnya, kenyataannya menjadi berlainan. Publik  mengikuti dengan seksama, dalam pandangan akhir fraksi  yang dibacakan  pada Selasa lalu, Fraksi PDI-P, Fraksi Partai Golkar, Fraksi PKS, dan  Fraksi Partai Hanura menyebut nama-nama yang dipandang paling  bertanggung jawab dalam skandal keuangan senilai Rp. 6,7 triliun itu.  Namun nyatanya kesimpulan Pansus terasa mengambang.
Inilah wujud kompromi jalan tengah, yakni kesimpulan pansus  berada di  wilayah abu-abu. Publik dibiarkan kesulitan untuk menafsirkannya karena  mungkin saja akan diteruskan dengan kompromi-kompromi lanjutan sambil  menunggu rakyat melupakan atau setidak-tidaknya perhatiannya telah  beralih pada isu yang lain. Dalam kondisi seperti ini, sesungguhnya ada  risiko yang dihadapi, yakni dukungan publik akan kian melemah.  Pemerintah dan DPR akan berjalan dalam kepentingannya, sementara rakyat  akan makin jauh berjalan dalam harapan kesejahteraannya.
Padahal, bila fraksi-fraksi yang berbeda pendapat itu mempunyai semangat  menegakkan kebenaran dan meyakini sikapnya berdasarkan fakta-fakta yang  bisa dipertanggungjawabkan, hal ini dapat menjadi pembuka jalan bagi  tersingkapnya tabir skandal. Maka kerisauan  publik pada detik-detik  sampai tiba saatnya penyampaian kesimpulan dan rekomendasi akhir pansus,  tampaknya menemukan wujudnya. Betapa tidak, dengan adanya lobi-lobi  politik yang secara intensif dilakukan hingga detik-detik akhir,  tampaknya mereka berubah arah. Inilah karakter para politisi kita, yang  di samping tingkat kedewasaannya yang masih dipertanyakan, betapa sikap  mereka  juga kerap berubah.
Pertanyaan selanjutnya, di tengah sorotan mata publik yang melihat  begitu rentannya para politisi terhadap godaan kekuasaan, apakah pansus  akan mampu menyelesaikan masalah substantif yang steril dari berbagai  kepentingan? Padahal lobi politik kerap kali bersentuhan dengan  tawaran-menawar jabatan. Di sinilah kerisauan publik makin beralasan  mengingat jejak inkonsistensi sikap politisi yang kerap diperagakan.  Maka, apakah perbedaan pendapat yang mewarnai sepanjang kerja pansus itu  benar-benar dalam rangka memperjuangkan kebenaran atau sekadar  sandiwara politik yang akan berujung pada kompromi? Atau, jangan-jangan  semua itu justru dijadikan momentum untuk menaikkan posisi tawar agar  mendapatkan keuntungan dari politik balas budi yang kelak mungkin  dilakukan.
Dari pergulatan pendapat dengan segala dinamikanya, pansus tampaknya  berhadapan dengan simalakama. Pertama, bila pansus menghasilkan  kesimpulan yang membenarkan atau setidak-tidaknya menguatkan kebijakan  bailout Bank Century, risikonya terlalu besar. Kesimpulan yang  mencerminkan hasil kompromi atas lobi-lobi politik seperti ini, bila  tanpa disertai argumentasi yang meyakinkan, risiko yang akan dihadapi  adalah adanya reaksi negatif dari publik. Ketidakpercayaan publik akan  kian menguat dan citra DPR akan semakin rontok.
Kedua, bila kesimpulan Pansus dengan tegas menyatakan adanya pelanggaran  dan penyimpangan berdasarkan fakta-fakta di lapangan dan meneruskan  proses politik itu dengan rekomendasi untuk memasuki proses hukum,  dengan itu pun suhu politik tidak berarti akan begitu saja surut. Atas  nama pembangkangan terhadap koalisi, ancaman reshuffle kabinet yang  pernah ditebarkan beberapa waktu lalu, bisa saja terjadi.
Saat ini dengan segala dinamika yang terjadi, merupakan rentang paling  krusial ketika para wakil rakyat itu berada dalam wilayah pertarungan  moral yang sesungguhnya. Namun, publik akan menyaksikan hasilnya nanti,  apakah semua proses yang terjadi itu akan merepresentasikan kebenaran  berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan, ataukah justru berakhir  antiklimaks dengan hasil akhir yang bernuansa  kompromistis? Di titik  inilah diperlukan kejujuran, kedewasaan, dan kearifan para pemimpin agar  rakyat tak menjadi korban.
Babak akhir drama Century akan sangat mempengaruhi arah perjalanan  bangsa. Maka, arah manakah yang akan dipilih oleh para politisi itu,  apakah akan memilih kepentingan politik pragmatis dengan mengorbankan  harapan rakyat, ataukah akan menegakkan kebenaran dan menjunjung tinggi  moral tanpa disilaukan oleh gemerlapnya kekuasaan?
Jangan lupa, rakyat kini sedang menunggu dalam sisa-sisa harapannya,  apakah para pemimpinnya masih layak dipercaya untuk bisa menyelamatkan  bangsa?*** 
Penulis, Kepala Instalasi Lab. Praktikum Profesi Pekerjaan Sosial dan  Media pada BBPPKS Bandung. 
Opini Pkiran Rakyat 03 Maret 2010