ADA harapan baru  yang dapat ditabuh di wilayah perbatasan kita melalui aturan baru yang  diterbitkan pemerintah lewat peraturan presiden (perpres) pembentukan  Badan Nasional Pengelola Perbatasan, BNPP (Jawa Pos, 24/2/2010). 
Memang,  selama ini wilayah-wilayah perbatasan yang berbatasan langsung dengan  negara tetangga hampir sepi dari kebijakan-kebijakan yang bermuara pada  kesejahteraan masyarakat.
Kawasan perbatasan Indonesia dengan  negara tetangga tersebar di 12 provinsi. Meliputi, NAD, Sumatera Utara,  Riau, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi  Utara, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Papua  Barat. Ironisnya, di antara 38 wilayah kabupaten/kota di kawasan  perbatasan, berdasar data Kementerian Desa Tertinggal, 26 kabupaten  masih berkubang dalam kategori desa tertinggal.
Tentu, merupakan  kisah pilu jika beranda terdepan Indonesia tersebut menjadi gugusan  desa-desa yang hampir tak tersentuh pembangunan. Yang harus disadari,  jika dibiarkan tanpa paradigma kesejahteraan baru, jerat kemiskinan  rakyat Indonesia yang bermukim di wilayah-wilayah perbatasan akan  menjadi bibit-bibit tergerusnya nasionalisme. Pada gilirannya, bisa  tumbuh gerakan-gerakan disintegrasi di wilayah-wilayah perbatasan. 
Memang,  kita tidak berharap hal tersebut terjadi. Tapi, fakta-fakta masa lalu  mengungkap hal tersebut. Ketimpangan kesejahteraan yang cukup signifikan  akan menjadi ''kerikil'' dalam derap pembangunan.
Karena itu,  Perpres No 12/2010 tentang pembentukan BNPP tersebut diharapkan menjadi  strategi jitu. Setidaknya untuk mewujudkan kesejahteraan penduduk  wilayah perbatasan sekaligus menjadi etape peningkatan hubungan dagang  dengan negara jiran. 
Terlepas di bagian sebelah mana dan dengan  negara mana wilayah kita bersua dengan negara lain, kita harus mampu  menjadikan wilayah perbatasan sebagai gerbang perdagangan. Sebab,  jalinan berniaga di wilayah-wilayah perbatasan selama ini telah terjadi.  Tapi, terseok-seoknya infrastruktur di sana membuat hubungan perniagaan  kedua wilayah jauh dari menguntungkan.
Poros Dagang 
Ada sepuluh negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia,  baik berbatasan pada wilayah lautan maupun daratan. Sepuluh negara  tersebut adalah India, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Palau,  Australia, Malaysia, Timor Leste, dan Papua Nugini. Tiga yang terakhir  adalah tiga negara yang berbatasan dengan Indonesia di wilayah daratan. 
Selama  ini, perbatasan darat dengan Malaysia dan Timor Leste telah menjadi  poros perdagangan antarmasyarakat di wilayah perbatasan. Misalnya, di  Kabupaten Sambas di Kalimantan Barat dengan daerah Biawak, Malaysia  Timur. Lalu lintas perdagangan komoditas gula merupakan salah satu  andalan perdagangan kedua wilayah.
Namun, kondisi infrastruktur  jalan yang hancur di jalur tersebut membuat perdagangan gula hanya  tergolong kelas ''gurem''. Gula diangkut dari kedua daerah hanya dengan  sarana roda dua setiap hari. Tentu, dengan prasarana yang memadai,  hubungan dagang yang lebih besar dan beragam menjadi sebuah keniscayaan.
Poros  dagang perbatasan lainnya yang juga mempunyai potensi besar adalah  Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, yang merupakan pintu gerbang  perbatasan Indonesia-Timor Leste. Dengan peningkatan infrastruktur serta  kondisi keamanan di wilayah perbatasan tersebut, nilai perdagangan akan  meningkat. Sebab, selama ini hampir 75 persen kebutuhan Timor Leste  digerojok dari Indonesia. 
Tercatat 69 produk Indonesia diekspor  secara resmi ke Timor Leste. Misalnya, bahan makanan, alat pertanian,  alat tulis kantor, aspal, hingga obat-obatan. Sementara itu, dari Timor  Leste, kopi serta kayu merupakan dua komoditas yang cukup dominan dalam  perdagangan dengan Indonesia.
Kelak, jika perhatian pemerintah  mampu menyentuh wilayah perbatasan tersebut, diharapkan volume  perdagangan kian membubung. Hal itu tentu berepisode dengan peningkatan  kesejahteraan masyarakat wilayah perbatasan.
Kata kunci  terpuruknya wilayah perbatasan selama ini adalah keberpihakan pemerintah  yang belum maksimal. Karena itu, dengan terbentuknya secara khusus  badan yang menangani wilayah perbatasan tersebut, berbagai persoalan  yang menyelimuti diharapkan bisa segera terurai.
Mungkin kita  dapat belajar pada Norwegia mengenai upaya pemerintah di sana  menghidupkan sebuah kota kecil di wilayah paling utara yang bernama  Troms. Selain melakukan intervensi dalam bentuk penyediaan infrastruktur  dan pembangunan berbagai sarana, pemerintah memberi insentif bagi para  pegawai negeri yang bertugas di daerah tersebut.
Hasil kebijakan  pengembangan yang sangat terencana tersebut tidak hanya mengubah  beberapa desa kecil menjadi sebuah kota modern dan indah. Tapi, Pulau  Troms juga berfungsi memperkuat fondasi perekonomian nasional negara  tersebut.
Akhirnya, hasrat pemerintah untuk menghadirkan  kesejahteraan di zona-zona perbatasan tentulah sebuah pekerjaan  superkompleks. Karena itu, badan baru bentukan pemerintah tersebut harus  didukung kerja ''keroyokan'' dari berbagai departemen. 
Perlu  format prioritas yang harus diskenariokan sebagai fondasi awal. Jika  bidang ekonomi yang menjadi target pertama, bidang-bidang yang lain  (politik dan keamanan) harus menjadi pagar pengaman bagi pencapaian  target prioritas tersebut.
Beberapa langkah awal yang bisa  dilakukan BNPP, antara lain, pertama, membuka keterisolasian  wilayah-wilayah perbatasan dengan pengadaan prasarana transportasi,  listrik, serta air bersih. Itu berarti alokasi anggaran infrastruktur  kita mutlak ditingkatkan. Selama ini, anggarannya baru mencapai 4 persen  dari produk domestik bruto (PDB). Padahal, idealnya lebih dari itu,  yakni sekitar 6 persen dari PDB.
Kedua, memetakan kegiatan  usaha masyarakat yang dapat ditingkatkan guna menjadi keunggulan  komoditas lokal. Termasuk, perlindungan terhadap sumber daya kelautan  berupa perikanan tangkap (ikan, teripang, kepiting, dan moluska) yang  sering diserobot nelayan asing yang fasilitasnya lebih modern.
Ketiga,  meningkatkan hubungan dengan negara tetangga, terutama dengan  wilayah-wilayah terdekat dengan distrik perbatasan yang menjadi  pusat-pusat perdagangan. Dengan demikian, kawasan perbatasan menjadi  kawasan beranda depan yang bisa berinteraksi secara positif lewat  hubungan dagang dengan negara tetangga. 
Semoga bagi masyarakat  kawasan perbatasan, upaya pemerintah kali ini menjadi tafsir bahwa  kesejahteraan menjadi hak setiap rakyat dan tidak hanya berlaku bagi  wilayah, kota, atau pulau tertentu. (*)
     *). Agus Suman,       guru besar ilmu ekonomi Universitas Brawijaya Malang
Opini Jawa Pos 02 Maret 2010 
02 Maret 2010
Menata Wilayah Perbatasan
Thank You!