02 Maret 2010

» Home » Jawa Pos » Menata Wilayah Perbatasan

Menata Wilayah Perbatasan

ADA harapan baru yang dapat ditabuh di wilayah perbatasan kita melalui aturan baru yang diterbitkan pemerintah lewat peraturan presiden (perpres) pembentukan Badan Nasional Pengelola Perbatasan, BNPP (Jawa Pos, 24/2/2010).



Memang, selama ini wilayah-wilayah perbatasan yang berbatasan langsung dengan negara tetangga hampir sepi dari kebijakan-kebijakan yang bermuara pada kesejahteraan masyarakat.

Kawasan perbatasan Indonesia dengan negara tetangga tersebar di 12 provinsi. Meliputi, NAD, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Papua Barat. Ironisnya, di antara 38 wilayah kabupaten/kota di kawasan perbatasan, berdasar data Kementerian Desa Tertinggal, 26 kabupaten masih berkubang dalam kategori desa tertinggal.

Tentu, merupakan kisah pilu jika beranda terdepan Indonesia tersebut menjadi gugusan desa-desa yang hampir tak tersentuh pembangunan. Yang harus disadari, jika dibiarkan tanpa paradigma kesejahteraan baru, jerat kemiskinan rakyat Indonesia yang bermukim di wilayah-wilayah perbatasan akan menjadi bibit-bibit tergerusnya nasionalisme. Pada gilirannya, bisa tumbuh gerakan-gerakan disintegrasi di wilayah-wilayah perbatasan.

Memang, kita tidak berharap hal tersebut terjadi. Tapi, fakta-fakta masa lalu mengungkap hal tersebut. Ketimpangan kesejahteraan yang cukup signifikan akan menjadi ''kerikil'' dalam derap pembangunan.

Karena itu, Perpres No 12/2010 tentang pembentukan BNPP tersebut diharapkan menjadi strategi jitu. Setidaknya untuk mewujudkan kesejahteraan penduduk wilayah perbatasan sekaligus menjadi etape peningkatan hubungan dagang dengan negara jiran.

Terlepas di bagian sebelah mana dan dengan negara mana wilayah kita bersua dengan negara lain, kita harus mampu menjadikan wilayah perbatasan sebagai gerbang perdagangan. Sebab, jalinan berniaga di wilayah-wilayah perbatasan selama ini telah terjadi. Tapi, terseok-seoknya infrastruktur di sana membuat hubungan perniagaan kedua wilayah jauh dari menguntungkan.

Poros Dagang

Ada sepuluh negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia, baik berbatasan pada wilayah lautan maupun daratan. Sepuluh negara tersebut adalah India, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Palau, Australia, Malaysia, Timor Leste, dan Papua Nugini. Tiga yang terakhir adalah tiga negara yang berbatasan dengan Indonesia di wilayah daratan.

Selama ini, perbatasan darat dengan Malaysia dan Timor Leste telah menjadi poros perdagangan antarmasyarakat di wilayah perbatasan. Misalnya, di Kabupaten Sambas di Kalimantan Barat dengan daerah Biawak, Malaysia Timur. Lalu lintas perdagangan komoditas gula merupakan salah satu andalan perdagangan kedua wilayah.

Namun, kondisi infrastruktur jalan yang hancur di jalur tersebut membuat perdagangan gula hanya tergolong kelas ''gurem''. Gula diangkut dari kedua daerah hanya dengan sarana roda dua setiap hari. Tentu, dengan prasarana yang memadai, hubungan dagang yang lebih besar dan beragam menjadi sebuah keniscayaan.

Poros dagang perbatasan lainnya yang juga mempunyai potensi besar adalah Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, yang merupakan pintu gerbang perbatasan Indonesia-Timor Leste. Dengan peningkatan infrastruktur serta kondisi keamanan di wilayah perbatasan tersebut, nilai perdagangan akan meningkat. Sebab, selama ini hampir 75 persen kebutuhan Timor Leste digerojok dari Indonesia.

Tercatat 69 produk Indonesia diekspor secara resmi ke Timor Leste. Misalnya, bahan makanan, alat pertanian, alat tulis kantor, aspal, hingga obat-obatan. Sementara itu, dari Timor Leste, kopi serta kayu merupakan dua komoditas yang cukup dominan dalam perdagangan dengan Indonesia.

Kelak, jika perhatian pemerintah mampu menyentuh wilayah perbatasan tersebut, diharapkan volume perdagangan kian membubung. Hal itu tentu berepisode dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat wilayah perbatasan.

Kata kunci terpuruknya wilayah perbatasan selama ini adalah keberpihakan pemerintah yang belum maksimal. Karena itu, dengan terbentuknya secara khusus badan yang menangani wilayah perbatasan tersebut, berbagai persoalan yang menyelimuti diharapkan bisa segera terurai.

Mungkin kita dapat belajar pada Norwegia mengenai upaya pemerintah di sana menghidupkan sebuah kota kecil di wilayah paling utara yang bernama Troms. Selain melakukan intervensi dalam bentuk penyediaan infrastruktur dan pembangunan berbagai sarana, pemerintah memberi insentif bagi para pegawai negeri yang bertugas di daerah tersebut.

Hasil kebijakan pengembangan yang sangat terencana tersebut tidak hanya mengubah beberapa desa kecil menjadi sebuah kota modern dan indah. Tapi, Pulau Troms juga berfungsi memperkuat fondasi perekonomian nasional negara tersebut.

Akhirnya, hasrat pemerintah untuk menghadirkan kesejahteraan di zona-zona perbatasan tentulah sebuah pekerjaan superkompleks. Karena itu, badan baru bentukan pemerintah tersebut harus didukung kerja ''keroyokan'' dari berbagai departemen.

Perlu format prioritas yang harus diskenariokan sebagai fondasi awal. Jika bidang ekonomi yang menjadi target pertama, bidang-bidang yang lain (politik dan keamanan) harus menjadi pagar pengaman bagi pencapaian target prioritas tersebut.

Beberapa langkah awal yang bisa dilakukan BNPP, antara lain, pertama, membuka keterisolasian wilayah-wilayah perbatasan dengan pengadaan prasarana transportasi, listrik, serta air bersih. Itu berarti alokasi anggaran infrastruktur kita mutlak ditingkatkan. Selama ini, anggarannya baru mencapai 4 persen dari produk domestik bruto (PDB). Padahal, idealnya lebih dari itu, yakni sekitar 6 persen dari PDB.

Kedua, memetakan kegiatan usaha masyarakat yang dapat ditingkatkan guna menjadi keunggulan komoditas lokal. Termasuk, perlindungan terhadap sumber daya kelautan berupa perikanan tangkap (ikan, teripang, kepiting, dan moluska) yang sering diserobot nelayan asing yang fasilitasnya lebih modern.

Ketiga, meningkatkan hubungan dengan negara tetangga, terutama dengan wilayah-wilayah terdekat dengan distrik perbatasan yang menjadi pusat-pusat perdagangan. Dengan demikian, kawasan perbatasan menjadi kawasan beranda depan yang bisa berinteraksi secara positif lewat hubungan dagang dengan negara tetangga.

Semoga bagi masyarakat kawasan perbatasan, upaya pemerintah kali ini menjadi tafsir bahwa kesejahteraan menjadi hak setiap rakyat dan tidak hanya berlaku bagi wilayah, kota, atau pulau tertentu. (*)

*). Agus Suman, guru besar ilmu ekonomi Universitas Brawijaya Malang
Opini Jawa Pos 02 Maret 2010