02 Maret 2010

» Home » Kompas » Tanpa Panglima

Tanpa Panglima

Ketika menyaksikan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat kemarin, di luar kendali, saya berteriak, ”Mati aku!” Sidang ricuh. Interupsi antaranggota Dewan saling silang. Mereka bertubrukan.
Fenomena itu, dalam perspektif politik, tidak bisa disederhanakan sebatas peristiwa yang terjadi begitu saja. Secara hipotesis, eskalasi emosi sengaja dibangun oleh para politisi Partai Demokrat (PD) untuk menciptakan kegaduhan. Titik kulminasinya, sebagai ketua sidang, Marzuki Alie menutup begitu saja. Dengan demikian, sidang bisa ditunda dan PD mempunyai peluang untuk memperlebar lobi politik.


Gejala ini bisa dibaca bahwa PD grogi menghadapi komposisi 3:6. Artinya, lebih banyak fraksi yang menyetujui bahwa terjadi pelanggaran pada kebijakan bail out Bank Century. PD memang telah terkepung.
Namun, patut disayangkan, dalam kontestasi politik sejak awal kasus Bank Century mencuat, PD tidak mempunyai panglima perang yang bisa mengatur pertempuran. Tidak ada satu juru bicara dengan satu suara. Ini manajemen krisis yang sangat buruk. Akibatnya, suka atau tidak, serangan akhirnya bergerak mendekati dan mencoba menyentuh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Semua peristiwa itu, betapapun tipisnya, pasti berpengaruh pada nama baik dan kredibilitas SBY.
Tanpa pakem
Menyimak keributan sidang paripurna, maraknya demonstrasi, dan situasi politik saat ini, penulis jadi teringat omongan orang tua-orang tua dulu di kampung. Sambil membunuh dingin malam di pos ronda, mereka sering menggambarkan posisi seorang pemimpin apabila tidak mempunyai panglima perang. Ia pasti gamang. Hatinya pasti risau. Mencoba berdiri tegak, tetapi sempoyongan. Gelo-gelo ijen tanpo rewang (kecewa sendirian tanpa teman). SBY bisa diterpa simtom seperti itu jika tidak segera keluar dari kerangkeng rasa amannya.
Jika kita mau jujur dalam menelusuri ranah politik beberapa bulan terakhir, semua persoalan dan keresahan publik saat ini sejatinya berakar dari absennya pakem pengelolaan krisis. Selain itu, juga karena pernyataan Presiden yang terbukti tidak sesuai fakta, misalnya, ketika Presiden menunjukkan foto bahwa dirinya menjadi sasaran tembak teroris. Foto itu ternyata foto lama. Juga ketika Presiden menyatakan bahwa demonstrasi memperingati hari Antikorupsi Internasional, 9 Desember 2009, adalah upaya penggulingan dirinya; ternyata juga tidak terbukti.
Pernyataan politik Presiden yang bersumber dari pasokan informasi yang keliru tersebut tentu saja membuat optimisme sebagian anggota masyarakat meredup. Situasi ini diperburuk oleh pernyataan Presiden yang mengatakan bahwa kebijakan bail out Bank Century yang diambil oleh Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan (Menkeu) tidak seizin Presiden.
Pernyataan ini membingungkan publik karena ketika di depan Pansus, Boediono dan Sri Mulyani menyatakan bahwa langkah-langkahnya dilaporkan kepada Presiden. Ketidakselarasan seperti ini bisa memicu salah pengertian. Presiden bisa dianggap mengorbankan anak buah hanya agar dianggap tetap bersih.
Bagi masyarakat, masalah tersebut sebenarnya tidak penting. Mereka hanya mengutamakan kepastian sikap. Jika Presiden menyatakan bahwa ia bertanggung jawab penuh pada kebijakan penalangan Bank Century (apalagi kalau hal itu dilakukan sejak awal), masalah akan selesai. Tidak ada bola liar yang memantul ke mana-mana dan mengacaukan banyak barang di dalam rumah.
Akan tetapi, karena Presiden sendiri sejauh ini tidak memainkan peran sebagai panglima perang apalagi panglima tertinggi, idealnya, ia bisa menunjuk orang kepercayaannya untuk menjadi panglima perang. Dengan demikian, gerak liar bola politik bisa dibatasi dan medan kontestasi antarkekuatan politik bisa tetap terkontrol.
Namun, patut disayangkan, pakem pengelolaan krisis yang bertumpu pada satu juru bicara dan satu suara tersebut tidak dijalankan. Pola ”gundul-gundul pacul” justru yang diterapkan. Maksudnya, Presiden justru memercayakan langkah politik penting, yaitu melobi tokoh-tokoh politik dan tokoh masyarakat kepada anak-anak muda yang pengalaman politik institusionalnya belum memadai. Para tokoh senior tersebut tentu merasa kurang dihargai ketika yang mendekati mereka adalah Andi Arief dan Velix Wanggai. Apalagi, sebelumnya, tidak ada sentuhan pribadi dan jalinan batin yang dalam di antara mereka.
Menjadi panglima
Cerita dan kehormatan akan berbeda jika yang menemui para tokoh senior tersebut adalah, misalnya, Djoko Suyanto, dan tokoh senior lain. Mereka bisa menjadi panglima perang yang tangguh dan pada batas-batas tertentu relatif disegani pihak lawan daripada figur-figur muda yang justru kontraproduktif.
Ketiadaan panglima perang membuat pertempuran politik tidak terkoordinasi dengan baik. Hal ini juga bisa dilihat di Sidang Paripurna DPR, kemarin. Oleh karena tidak ada panglima yang menentukan pakem dan stra- tegi pertempuran yang jitu, tampilan fraksi PD tidak ubahnya seperti perang bubrah (asal perang). Sebagai Ketua Sidang, penampilan Marzuki Alie yang menutup sidang begitu saja mempertegas praktik perang bubrah tersebut.
Pendeknya, ketiadaan manajemen krisis di kubu PD dan SBY menjadikan suasana politik menjadi acak-kadut seperti sekarang. Padahal, politik pada hakikatnya adalah pertempuran yang terus- menerus demi kesejahteraan rakyat. Kini, saatnya SBY mengangkat diri sendiri menjadi panglima perang. Jika tidak, hampir bisa dipastikan, pemerintahannya tidak akan efektif dan tidak tertutup kemungkinan dia akan gelo ijen tanpa rewang.
Sukardi Rinakit Peneliti Senior Sugeng Sarjadi Syndicates
Opini Kompas 02 maret 2010