Oleh Muhammadun AS
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menampilkan wajah suramnya tatkala menjalankan sidang paripurna Pansus Century, Selasa (2/3). Ketua DPR dan juga pimpinan sidang, Marzuki Alie, memutuskan untuk menghentikan sidang dengan sepihak. Sementara wakil-wakil DPR lainnya tidak diajak musyawarah. Sementara peserta sidang paripurna menampilkan wajah suramnya dengan berbicara tanpa aturan dan kemudian ricuh dan saling dorong dengan lainnya. Karena ketidakpuasan dan dorongan kepentingan masing-masing elite dikedepankan, terjadilah hal yang sangat memalukan, dan dilihat secara langsung oleh seluruh bangsa Indonesia.
Wajah suram yang ditampilkan DPR kali merupakan erosi demokrasi. Kode etik persidangan tidak lagi dipatuhi, hanya kepentingan kelompok yang terus didorong untuk disukseskan. Pansus Century yang telah bekerja selama dua bulan akhirnya sekadar menyampaikan laporan berupa kesimpulan dan rekomendasi. Sungguh memalukan, karena Pansus Century jelas sekali menyangkut persoalan krusial bagi bangsa ini. Skandal ini jelas harus dibuka sejelas-jelasnya dan elite politik yang terlibat haruslah diproses secara hukum. Di samping itu, Pansus Century telah bekerja keras dan menghabiskan miliaran rupiah.
Dari sisi gelap anggota legislatif tersebut, tidak salah kalau masyarakat menilai yang dilakukan sebagian anggota DPR sebagai penyelewengan jabatan yang memalukan. Lebih dari itu, DPR sejatinya telah menjual moralitas politiknya di hadapan konstituen yang memberikan mandat kepadanya. Anggota DPR belum sepenuhnya mengabdikan dirinya secara total sebagai wakil seluruh rakyat, tetapi masih menyandarkan pada sektarianisme partai politik yang penuh ambisi dan kepentingan.
Perilaku tersebut merupakan bukti terciptanya politik seduksi (rayuan) dalam tubuh DPR. Wajah politik seduksi selalu menampilkan dirinya secara menarik, penuh make up, lipstik, dan aksesori lainnya. Namun di balik itu, mereka menyiapkan jaring-jaring rayuan yang merongrong kehancuran dan kebinasaan. Menurut Thomas Docherty dalam After Theory (1996: 27), disebabkan kegagalan politik kontemporer yang menghasilkan inovasi, orisinalitas, dan kebaruan, wacana politik memfokuskan diri bagi keberlangsungannya pada rayuan yang menciptakan semacam politik seduksi. Di dalam jagat rayuan, wacana politik bukan lagi dibangun oleh arsitektur nalar-nalar rasional, akan tetapi oleh berbagai trik rayuan, dalam rangka menggoda manusia politik. Mekanisme yang bekerja dalam rayuan, sebagaimana yang dikatakan Jean Baudrillard dalam ”Seduction” (1990:7), tidak lagi relasi psikis, tidak pula represi atau ketaksadaran, akan tetapi relasi permainan, tantangan, duel, dan strategi penampakan.
Dalam wacana politik seduksi, penampakan DPR sekarang hanya sebatas ”permainan” untuk mengeruk kekuasaan sebesar-besarnya. Mereka tidak memerdulikan lagi kenyataan pahit di sekelilingnya, karena nalar politik yang mereka gunakan bukan untuk memberdayakan dan memajukan bangsa, tetapi untuk memberdayakan kepentingan individu dan kelompok. Dengan nalar yang irrasional, mereka sering menggunakan dalih agama, sosial, dan budaya untuk memuluskan alur permainan politiknya. Ruang politik fatamorgana DPR, menurut kaca mata politik Baudrillard dalam The Evil Demon of Images (1993: 139), hanya akan menghadirkan iblis-iblis politik yang mendistorsi dunia dengan membangun ilusi-ilusi tentang kejahatan dengan wajah yang suci, demokratis, dan manusiawi. Wajah kebenaran, keadilan, kemanusiaan, demokrasi dipalsukan dan ditampilkan dalam wajah-wajah seduksi penuh trik dan tipuan.
Di tengah berbagai tudingan miring tersebut, sudah saatnya DPR kembali kepada khitahnya. Dalam logika demokrasi, rakyat adalah raja. Sementara birokrasi pemerintah adalah pelayan. DPR sebagai juru bicara raja harus menuruti segala yang dipe-rintahkan sang raja. Kembali ke khitah, berarti DPR harus menaati segala yang diperintahkan raja. Sekarang sang raja sedang menderita diterpa berbagai bencana, baik bencana alam maupun bencana pemiskinan global. Sebagai juru bicara sekaligus pelayan, DPR seharusnya mengkaji secara mendalam kebutuhan sang raja agar dijalankan oleh pemerintah. Jangan malah berkhianat dan seenaknya sendiri mencuri kekuasaan sang raja.
Di samping itu, menurut Syamsuddin Haris, untuk menegakkan akuntabilitas publik DPR, perlu upaya maksimal dari kinerja Badan Kehormatan (BK) DPR. Tugas utama BK adalah menjaga dan menegakkan martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas dewan. Kasus penutupan sidang yang sepihak bisa dilaporkan kepada BK, dan BK bisa bekerja secara profesional untuk memberikan teguran dan sanksi atas berbagai pelanggaran anggota DPR.
Kembali ke khitah dan memaksimalisasi kinerja BK akan menjadikan DPR sebagai lembaga berwibawa yang menjunjung tinggi keadilan, kemanusiaan, dan demokrasi bangsa, serta nantinya mampu mengubur habis berbagai praktik kesewenang-wenangan dan premanisme politik yang merugikan dan menghancurkan masa depan bangsa.***
Opini Pikiran Rakyat 03 Maret 2010