02 Maret 2010

» Home » Lampung Post » Gagal Century, Rezim Gagal

Gagal Century, Rezim Gagal

Ridwan Saifuddin
Pengajar STAIN Metro
Belum lama, satu universitas di Amerika Serikat merilis hasil penelitian terbaru tentang perilaku kekuasaan. Intinya, bahwa otoritas paling berkuasa akan menjadi pihak paling munafik terhadap perilaku mereka sendiri, tetapi membuatnya sangat ketat dalam menilai orang lain (Kompas.com, 11 Jan 2010).
Peneliti etika pada Kellogg School University Northwestern itu membuktikan bahwa kekuasaan membuat orang lebih ketat mengawasi perilaku orang lain, tetapi membuat mereka begitu longgar terhadap dirinya sendiri. Temuan ini mengonfirmasi, kenapa banyak orang berkuasa, gagal menerapkan etika yang mereka buat sendiri.
Selama ini, sudah terlalu sering kita dengar penilaian publik tentang perilaku subjek kekuasaan. Pejabat publik yang lebih suka mementingkan diri dan kelompoknya sendiri, dan lebih mengutamakan citra pribadi ketimbang substansi. Kecenderungan yang telah berlangsung lama tersebut melahirkan sikap apriori massal terhadap penguasa dan kekuasaan; terhadap politik dan politisi. Politik identik dengan pengabsahan untuk melakukan segalanya atas nama kewenangan, sedangkan politisi adalah subjek yang gemar menghalalkan segala cara, sembari tak pernah lupa merawat citra.


Pelan tapi pasti, publik kehabisan rasa empati. Nyaris tak ada lagi figur politisi yang dianggap layak didengar dan dikhidmati oleh rakyat. Nyaris tak ada lagi praksis politik yang benar-benar bisa menggugah hati dan menumbuhkan kepercayaan dari rakyat yang merasa menjadi bagian darinya. Rakyat kemudian menjadi lebih rasional; di antaranya sangat pragmatis. Publik tak lagi melihat siapa yang berkuasa, melainkan apa yang bisa diberikan kekuasaan terhadap mereka.
Kasus Century ini begitu kaya akan mobilisasi citra. Tak cukup dengan media massa, hari-hari terakhir lengkap dengan pengerahan massa. Soal substansi kasus itu sendiri, sampai tulisan ini dibuat, kabarnya masih saling lobi di antara faksi dan fraksi. Namun, publik telanjur membentuk opininya sendiri.
Sejak kasus Bank Century menjadi bola panas yang terus menggelinding, jajak pendapat yang dilakukan Kompas menangkap ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan yang semakin tinggi. Meski pemerintah mengklaim berhasil melewati masa seratus hari pemerintahan dengan baik, penilaian tersebut ternyata tidak sejalan dengan apa yang dirasakan publik. Ketidakpuasan masyarakat terhadap hukum (78,5%), kesejahteraan sosial (67,3%), perekonomian (65,4%), politik dan keamanan (62,3%) begitu mencolok (Kompas, 1 Maret 2010).
Kasus Century adalah pertaruhan citra (dan kerja) yang dimobilisasi lewat media dan aksi massa, ketika eksistensi terancam dan publik mempertanyakan kepercayaan yang telah diberikan.
Apakah kesalahan dalam kasus Bank Century ada dalam domain policy, atau kesalahan pada tataran eksekusi, yang pasti kasus tersebut telah berdampak negatif terhadap performa rezim sekarang di mata rakyatnya. Rasa keadilan publik terusik, ketika pemerintah menggelontorkan dana talangan Rp6,7 triliun, yang katanya demi menyelamatkan perekonomian dari dampak sistemik Bank Century. Dana yang tak sedikit, di tengah persoalan perekonomian rakyat dan kemiskinan yang belum tertangani secara baik.
Pemerintah yang berdiri di atas landasan kepercayaan (baca: legitimasi) publik, sedikit demi sedikit kehilangan rohnya sendiri. Keberadaannya kemudian dipertanyakan: untuk menyejahterakan atau menyengsarakan masyarakat. Apakah ini merupakan bukti dari kecenderungan kekuasaan yang munafik, yang lebih mengutamakan citra ketimbang esensi? Kekuasaan yang lebih mementingkan dirinya sendiri ketimbang melayani kepentingan rakyatnya? Publik pasti akan menilai.
Publik kini kehilangan kepemimpinan politik yang dengan besar hati berani mengakui kelemahan atau kesalahannya, untuk kemudian mengoreksi diri. Pemimpin yang tidak menutupi kesalahan dengan kesalahan baru, untuk sekadar menjaga citra. Kelalaian dalam kasus Bank Century pun, kemudian dikamuflasekan seolah-olah sebagai tindakan penyelamatan terhadap krisis yang lebih besar karena ada ancaman sistemik tanpa ada indikator yang kredibel. Publik sudah mafhum, bahwa Bank Century bangkrut karena jaringan moral hazard yang begitu kuat dari para pengelolanya berikut ororitas pengawas perbankan di negeri ini.
Kasus Bank Century merupakan penanda, apakah rezim yang ada menjadi problem solver atau problem maker yang baik. Penyelesaian melalui lobi-lobi politik, tanpa mengindahkan rasa keadilan masyarakat, akan membuat ketidakpuasan publik yang semakin tinggi terhadap pemerintah, sekaligus memperkuat gejala psikologi kekuasaan yang munafik yang telah menjangkiti rezim ini. Kekuasaan yang amat terfokus pada dirinya sendiri, seperti jargon gaul anak muda sekarang: "biar narsis, asal eksis".
Rakyat menunggu akhir episode Century, tanpa banyak berharap, kecuali untuk melihat wajah asli rezim ini, sambil tetap "menikmati" tontonan kemiskinan dan korupsi setiap hari tiada henti di negeri ini. Kasihan sekali... n

Opini Lampung Post 03 Maret 2010