29 Maret 2010

» Home » Lampung Post » Pluralisme Bangsa di Ujung Tandu

Pluralisme Bangsa di Ujung Tandu

Janpatar Simamora
Dosen Fakultas Hukum UHN, sedang studi lanjut di Program Pascasarjana UGM Yogyakarta
Dalih bahwa permohonan para pemohon dikategorikan tidak berdasar dan tidak beralasan hukum oleh majelis hakim Mahkamah Konstitusi, akhirnya memupus perjuangan para penggugat Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Ancaman terhadap pluralisme bangsa karena kabur dan ambiguitasnya definisi pornografi sebagaimana tertuang dalam pasal 1 dan berbagai bentuk cacat yuridis lainnya dalam UU kontroversial itu, ternyata oleh majelis hakim justru diklaim cukup jelas dan mampu memberikan kepastian hukum.
Putusan ini akan semakin memperpanjang kisruh seputar pemberlakuan Undang-Undang Pornografi yang pada saat pengusulan dan pengesahannya di parlemen sudah menimbulkan sikap pro-kontra pada 2008 lalu. Mahkamah Konstitusi yang menjadi satu-satunya sandaran dan harapan banyak pihak dalam mengungkap tabir hitam yang mengancam pluralisme bangsa ini di balik legalitas UU Pornografi, ternyata justru terjun sebagai lembaga penyokong dan mematenkan legalias yuridis produk hukum yang satu ini.
Sesungguhnya, penolakan terhadap UU Pornografi sudah mengemuka semenjak pengusulannya. Hanya saja, pemerintah justru terkesan tutup mata dan mengabaikan suara-suara pluralis yang bergema sebagai reaksi atas gagasan terhadap kehadiran UU kontroversial ini. Ketika itu, bahkan beberapa kepala daerah dengan tegas menyatakan “perang” terhadap UU Pornografi.


Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dijelaskan bahwa sejumlah asas harus menjadi acuan dalam membentuk dan melahirkan produk hukum. Produk hukum kontroversial ini tidak mencerminkan beberapa asas sebagaimana yang seharusnya menjadi acuan pembetukannya, mulai dari asas kejelasan tujuan, rumusan, kesesuaian jenis dan materi serta asas kedayagunaan sebagai syarat mutlak dalam pembentukan produk hukum, khususnya dalam kategori Undang-Undang.
Sekalipun dalam putusan final yang dibacakan pada 25 Maret lalu itu, Majelis Hakim berargumen bahwa kegiatan seni, budaya, olahraga dan sastra serta ilmu pengetahuan dan adat istiadat tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk pornografi, namun pandangan ini tidak akan secara otomatis memberikan jaminan terhadap pelaksanaan semua bentuk aktivitas masyarakat yang berhubungan dengan berbagai kegiatan di atas.
Bagaimanapun harus diakui bahwa kekaburan dalam penerapan asas sebagai pijakan terhadap semua peraturan dan hukum akan berimplikasi pada titik kulminasi yang luar biasa dalam menerapkan aturan hukum pada suatu peristiwa konkret. Konstruksi bangunan hukum hanya akan menjadi sebuah kekuatan prosedural tanpa mampu menjernihkan suatu persoalan yang hendak diselesaikan secara adil. Pergeseran makna, pemahaman yang keliru, agresivitas yang salah tempat dan anomali yang berlebihan bisa jadi akan timbul ketika hukum tidak mampu memberikan jaminan dan memahami keadilan yang sesungguhnya.
Kalau kemudian, para hakim yang akan menghadapi berbagai bentuk kasus pornografi mampu melakukan analogi dan penalaran secara tepat, maka persoalan pluralisme bangsa tidak akan menghadapi tantangan berat. Dalam agumentum analogi, asas keadilan berakar pada tindakan “memperlakukan yang sama terhadap peristiwa yang sama dan memperlakukan tidak sama terhadap peristiwa berbeda”. Konsep ini tentu akan membawa hakikat keadilan pada setiap kasus yang mengemuka sepanjang dijalankan seiring dengan analogi hukum secara proaktif.
Namun ketika konsep yang mengemuka nantinya adalah konsep campur aduk dan tidak mampu memilah persoalan hukum yang sedang terjadi, maka defenisi pornografi sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 44 Tahun 2008 itu justru akan menjadi liar dan selalu siap menelan mangsanya. Definisi yang teramat kabur dan berwahyu arti (ambiguitas) hanya akan membawa malapetaka dalam proses penegakan hukum di negeri ini.
Kendati upaya yuridis sudah menemui jalan buntu, yakni ketika MK menolak gugatan terhadap UU ini, hal ini tidaklah mengunci mati upaya pembebasan bangsa ini dari ancaman pularisme. Wakil rakyat dengan kewenangan legislative review-nya masih bisa diharapkan sebagai solusi sepanjang para wakil rakyat di Senayan membuka nuraninya untuk membebaskan bangsa ini dari belenggu kebebasan yang berlebihan.
Opin Lampung Post 30 Maret 2010