FENOMENA menarik berkaitan dengan korupsi di Pemkab Brebes. Sekelompok masyarakat yang menamakan diri Kaukus Mahasiswa dan LSM Gerakan Berantas Korupsi (Gebrak), termasuk sejumlah kepala satuan kerja pemerintah daerah (SKPD) dan aparatur pemerintahan tingkat desa menggalang tanda tangan, sebagai upaya memberikan jaminan atas pengajuan permohonan penangguhan penahanan Bupati Brebes Indra Kusuma yang ditahan KPK (SM, 26/03/10 .
Indra Kusuma ditahan setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK berkaitan dengan kasus dugaan korupsi pengadaan tanah senilai Rp 11 miliar. Dalam kasus pidana, pengajuan penangguhan penahanan merupakan hal yang normatif, karena diatur dalam Pasal 31 KUHAP.
Dalam pasal tersebut, tersangka, ataupun keluarga dan penasihat hukumnya bisa mengajukan penangguhan penahanan (schoorsing). Kewenangan untuk mengabulkan permohonan ini ada pada penyidik dengan memerhatikan empat alasan, yaitu tersangka dalam proses penyidikan bersikap kooperatif atau tidak berbelit-belit, tidak dikhawatirkan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau tidak akan melarikan diri.
Mendasari hal kontekstual normatif ini, sah-sah saja mengabulkan permohonan penangguhan, lebih-lebih dengan jaminan orang, yang melibatkan beberapa lapisan masyarakat. Namun, seperti diberitakan pimpinan KPK yang menerima rombongan para penjamin tersebut dengan tegas mengatakan tidak akan pernah menggubris.
Jadi, dalam hal ini ada dua kepentingan yang berbenturan. Pertama; berkaitan dengan kegigihan kelompok masyarakat Brebes yang memperjuangkan bupatinya agar tidak ditahan. Kedua; KPK, meskipun secara yuridis dibenarkan oleh hukum untuk mengabulkan permintaan tersebut secara tegas menyatakan tidak menggubris permohonan itu.
Dimensi Moral
Dalam kondisi yang demikian, bila ditelisik dari aspek semangat pemberantasan korupsi, pihak mana yang perlu menyadari posisinya untuk tidak memaksakan diri demi terciptanya rasa adil? Menurut HLA Hart (1965), bahwa untuk menciptakan rasa adil, hukum harus ditempatkan pada tiga unsur yaitu kewajiban, moral, dan aturan.
Hal ini ditegaskan lagi oleh Murphy dan Coelman, 1984: dalam The Philosophy of Law, bahwa hukum tidak dapat dipisahkan dari dimensi moral.
Perlu disadari, seandainya saja KPK mengabulkan penangguhan penahanan, apa yang bisa didapatkan dari upaya ini? Paling-paling bupati hanya bebas untuk sementara waktu karena KPK dipastikan sesegera mungkin mengajukan perkara ini ke persidangan. Dalam sejarah pembentukan KPK, belum pernah sekalipun KPK menangguhkan penahanan. Mengapa demikian?
Penulis minggu yang lalu pada saat mengikuti Pendidikan Spesialis Penyidik Tindak Pidana Korupsi di Pusat Pendidikan Reskrim Megamendung, Bogor, memperoleh pencerahan dari penyidik KPK. Dalam hal penangguhan penahanan, meskipun dibenarkan oleh UU, KPK tidak akan pernah mengabulkannya. Hal ini berkaitan dengan dimensi moral, seperti dikatakan Murphy dan Coelman tadi.
Perkara yang sudah ditangani penyidik KPK yang tergabung dalam satgas KPK sudah melalui pentahapan gelar perkara yang di dalamnya melibatkan unsur penyidik, penuntut umum dan BPKP. Sehingga bila perkara sudah ditingkatkan dalam tahap penyidikan dan sudah menetapkan tersangkanya, bisa dipastikan akan berakhir dengan vonis di Pengadilan Tipikor.
Pimpinan KPK tidak pernah melakukan intervensi terhadap kinerja penyidikan oleh satgas, sehingga terhadap upaya penangguhan penahanan, dikatakan oleh Yudiawan, salah seorang penyidik KPK, sebagai hal yang langka dan tidak akan terjadi di lingkungan KPK.
Di samping sebagai hal yang akan sia-sia, Satgas KPK telah berkomitmen mencitrakan diri bersih dari perilaku dan persepsi tercela. ’’Seandainya saja di KPK ada penangguhan penahanan, pasti akan ada pula LSM yang menyoroti hal ini dan akan mengaitkannya dengan pertanyaan ada apa dengan penangguhan tersebut?’’ kata Yudiawan.
Sebab selama ini, penangguhan penahanan identik dengan persepsi negatif yang berbau KKN. Hal ini jelas dihindari oleh personel satgas KPK. (10)
— Herie Purwanto, Kepala Pembinaan Operasional Sat Reskrim Polresta Pekalongan, mahasiswa S2 Kajian Ilmu Hukum Universitas Djakarta
Wacana Suara Merdeka 30 Maret 2010