Oleh Lunyka Adelina Pertiwi
Timur Tengah dalam beberapa minggu terakhir kembali memanas. Alasannya, karena Israel yang dikenal sebagai sekutu abadi Amerika Serikat kembali berulah. Seakan tak pernah jera atau bahkan sudah kebal dengan berbagai kecaman dunia internasional terhadapnya, Israel menguncang melalui kebijakan kontroversial terkait Jalur Gaza, yaitu rencana pembangunan 1.600 apartemen untuk masyarakat Yahudi di wilayah penuh sengketa tersebut. Tindakan Israel ini seakan-akan menantang sekaligus menabuh genderang perang terhadap upaya perdamaian yang ingin diusung Gedung Putih melalui Wakil Presiden Joe Biden saat berkunjung ke Israel. Seakan tak percaya, Amerika Serikat pun menganggap ini menjadi sebuah hinaan terbesar dalam sejarah hubungan bilateral kedua negara.
Tak bisa dipungkiri, kerumitan sengketa Palestina-Israel tak lepas dari campur tangan pendahulu Obama, yaitu George W. Bush, yang menganut politik luar negeri ekstrem yang selalu menempatkan Israel sebagai yang utama atau anak kesayangan. Berbagai perlindungan, bantuan militer, serta ekonomi berlebih, tak segan-segan diberikan percuma oleh AS. Jika mau ditilik, faktor ini juga yang membuat ekonomi Amerika cukup morat-marit.
Implementasi politik luar negeri tersebut juga dipengaruhi oleh kemunculan Iran dengan sosok presiden fenomenalnya, Mahmoud Ahmadinejad, yang siap menghadang arogansi Amerika Serikat di Timur Tengah. Bagi AS, saat itu Israel dianggap sebagai negara yang paling tepat diarahkan menjadi tameng untuk menyaingi Iran yang sedang naik daun.
Meskipun begitu, ternyata tidak semua petinggi Amerika setuju dengan strategi Bush. Pandangan politik "even handed" menjadi oposisi. Pada intinya, pandangan ini lebih menekankan pada perlunya merangkul semua negara di Timur Tengah dalam satu lingkaran, bukan hanya negara tertentu, bila tidak ingin pamor Amerika Serikat hilang begitu saja. Sayangnya, eksistensi aliran ini selalu kalah bersaing.
Kini, pemerintahan Amerika telah berganti. Obama cenderung memilih politik luar negeri berdasarkan konsep "even handed". Namun, keputusan ini harus dibayar mahal. Kemanjaan yang dulu Amerika tawarkan harus dibalas telak dengan penghianatan menyesakkan. Amerika saat ini mungkin sedang merasa ditusuk dari belakang karena mendengar pengumuman pambangunan permukiman Yahudi oleh Israel.
Bagi Israel sendiri, upaya perdamaian yang diajukan Amerika diinterpretasikan sebagai sebuah gangguan serius bagi dominasinya di Timur Tengah. Mengapa? Fasilitas berkelas yang selalu diterima Israel sepertinya sudah menempatkan negara ini dalam zona nyaman. Mereka maju, disegani, ditakuti, dan berpengaruh di Timur Tengah. Dan Palestina adalah sebuah negara yang sangat potensial bertransformasi (berubah) menjadi sebuah negara besar hingga pada suatu saat mampu menggoyah ketenaran Israel.
Palestina mempunyai sumber daya alam penentu masa depan yang cukup lengkap, seperti gas alam dan air. Yang lebih menarik lagi, gas alam yang tersimpan di negara ini mencapai kurang lebih 1,2 trliun meter kubik (sumber: www.oilandgasinvestingglossary.com/palestines_natural_gas_troubles.asp). Maka tidak mengherankan bila Palestina dibiarkan hidup tenang mengolah kekayaan alam mereka sendiri, bukan mustahil negara ini dapat tumbuh menjadi superpower (adidaya) baru di Timur Tengah dan mengendalikan suplai energi dunia serta dengan mudah menarik investor asing. Pada akhirnya, bisa kita bayangkan, betapa majunya sektor ekonomi Palestina jika ini terjadi. Di lain pihak, bagi Israel ini adalah mimpi buruk yang tidak boleh menjadi nyata. Berbagai perbuatan keji pun dilakukan Israel untuk memporak-porandakan Palestina.
Ironisnya, dalam situasi genting seperti ini, organisasi seperti Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan Liga Arab terlihat mandul. Berbagai konflik kepentingan di antara negara anggota membuat pergerakan kedua organisasi ini menjadi kurang gesit menunjukkan taringnya dalam penyelesaian konflik Palestina-Israel. Bahkan, kebijakan Liga Arab yang seharusnya berfungsi mewadahi semua negara Arab terkadang dinilai labil karena organisasi ini harus hidup di antara intervensi dan ketergantungan secara langsung ataupun tak langsung terhadap pihak asing.
Selanjutnya, berkaitan dengan masalah ini, apakah Indonesia memang harus tinggal diam? Secara tegas, tentu kita menjawab "tidak".
Lalu, apa yang bisa dilakukan oleh Indonesia sebagai salah satu negara berpenduduk Muslim terbesar?
Saat ini Indonesia dikenal memiliki keluwesan dan kualitas diplomasi yang sudah berkembang pesat sebagai salah satu yang terbaik di dunia. Kelebihan ini pula yang diharapkan mampu mendorong Indonesia menyajikan sebuah komunikasi persuasif, setidaknya di depan negara-negara anggota OKI dan Liga Arab, agar lebih fokus, kritis, dan berani berupaya membela hak-hak Palestina sehingga perdamaian di Timur Tengah cepat terwujud.***
Penulis, lulusan Hubungan Internasional Universitas Parahyangan, aktif menulis di media massa.
Opini Pikiran Rakyat 30 Maret 2010