29 Maret 2010

» Home » Media Indonesia » Mengupayakan Pemberantasan Mafia

Mengupayakan Pemberantasan Mafia

Awalnya dimulai dari pengakuan mantan Kepala Badan Reserse dan Kriminal Komisaris Jenderal Susno Duaji (Komjen SD) atas dugaan adanya makelar kasus di Mabes Polri. Ia memang tidak main-main karena bahkan melaporkan hal itu ke Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum serta berkoar lantang ke publik. Dalam pengakuannya, ia mengatakan bahwa sejumlah petinggi Polri bermain mata dengan kasus manipulasi pajak, pidana pencucian uang, dan korupsi yang dilakukan pegawai Dirjen Pajak. Sejumlah petinggi itulah yang mencairkan uang yang sangat besar dengan tujuan yang tidak jelas.

Ketidakjelasan yang jangan-jangan bisa terjelaskan jika melihat proses peradilan terhadap kasus tersebut. Model peradilan yang agak terlihat ajaib. Pada awalnya disangka dengan pidana berlapis, yakni pidana korupsi, pencucian uang, dan penggelapan. Dakwaan kelas kakap. Namun di ujungnya, dakwaan jaksa hanya terkait dengan pidana penggelapan. Tuntutan hukumannya pun sangat ringan, yakni satu tahun penjara dengan satu tahun masa percobaan. Malah akhirnya, divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Tangerang yang menyidangkan kasus ini.



Menggelikan

Ada satu kata pasti yang bisa diucapkan dengan kesemua proses ini, menggelikan! Proses yang wajar terasa menggelikan karena beberapa alasan. Pertama, mafia pajak dan peradilan pajak. Pengakuan sang pegawai pajak ini memang luar biasa. Selain memiliki sejumlah kekayaan yang luar biasa, ia ternyata mampu memainkan peran luar biasa meski dengan kedudukan biasa-biasa saja. Ia mampu mengatur perihal pajak hingga ke pengadilan pajak. Ia telah menjadikan pengadilan pajak sebagai surga bagi para penjahat pajak yang ingin mengatur kasus-kasus perpajakan.

Negeri ini telah menciptakan sebuah pengadilan yang memiliki jenis kelamin tidak jelas. Ia merupakan jenis pengadilan khusus yang sayangnya tidak terposisikan secara baik sebagai bagian dari struktur kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung. Hasilnya adalah menciptakan pengadilan yang tidak begitu jelas jenis pengawasannya. Dalam ketidakjelasan sistem pengawasan, mafia tentunya tumbuh subur. Bahkan pegawai rendahan Ditjen Pajak mampu menjadi pengatur hasil pengadilan. Pegawai yang lebih tinggi punya jatah yang berbeda. Pembagian yang dalam pengakuan sang pegawai pajak bahwa tinggi rendahnya pangkat dan jabatan akan menentukan besar kecil kasus pengadilan pajak yang akan menjadi kompetensi para pegawai yang juga makelar kasus pajak.

Potret yang tentunya menggelikan. Kita selalu tertinggal dengan model kesadaran berjalan di belakang. Kemudian kita baru sadar dan tersentak bahwa ada sistem yang kita buat, tapi tidak berjalan dan gagal total.

Kegelian jenis kedua tentu adalah persoalan mafia di kepolisian. Lembaga-lembaga macam kepolisian ternyata belum banyak berbenah. Terkhusus perasaan pembelaan dan menutup diri dari kasus seperti ini. Sering kali perkara macam ini hanya dijadikan model defensif kelembagaan dan selalu gagal dijadikan batu pijakan perbaikan. Hanya dalam rentang waktu yang tidak lama, kepolisian diguncang isu cicak vs buaya, penangkapan-penangkapan serampangan, dan kembali mafia perkara.

Itulah mengapa menggelikan. Alih-alih menjadikannya sebagai batu pijakan perbaikan, hampir setiap ada isu langsung ditanggapi dengan tuduhan pencemaran nama baik dan/atau tindakan defensif lainnya. Tidak ada keterangan mengapa tidak lebih dulu memeriksa secara mendalam orang-orang yang dituduhkan tersebut? Karena dengan pemeriksaan yang mendalam akan substansi kemungkinan tindakan koruptif dan mafia perkara akan jauh lebih membuat publik merasa ada itikad kuat kepolisian untuk membuka perkara ini selebar-lebarnya.

Ketiga, mafia di proses peradilan. Ini bukan contoh yang tunggal. Proses peradilan yang terbeli bukanlah suatu hal yang baru di negeri ini. Operasi besar-besaran uang di belakang proses peradilan bukan hal yang mewah. Kita semua paham, tapi belum kunjung dapat memperbaiki. Menjadi menggelikan karena fakta betapa tajamnya pedang keadilan untuk kasus kelas teri. Pengadilan seakan memang hanya bagi penjahat yang tidak berpunya.

Upaya luar biasa

Hal-hal tersebut semakin menggelikan mengingat kita baru saja diributkan dengan berbagai mafia-mafia lainnya. Termasuk serangan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi oleh mafia perkara korupsi. Oleh karena itu, di tengah kesemua hal menggelikan tersebut, kita benar-benar membutuhkan lompatan yang luar biasa. Dan biasanya lompatan luar biasa tersebut hanya kita dapatkan jika dengan menggunakan upaya yang luar biasa. Setidaknya ada dua hal yang bisa dijadikan upaya luar biasa.

Pertama, memaksimalkan lembaga luar biasa untuk mengerjakan hal-hal ini. Sebagai contohnya adalah KPK. Lembaga luar biasa ini harus didorong untuk segera mengonversi keluarbiasaannya menjadi daya kerja yang luar biasa. Ada baiknya kasus besar seperti ini lebih baik diselesaikan KPK. Keraguan kemampuan dan independensi lembaga-lembaga yang ada untuk menyelesaikannya akan terkikis habis jika didorong ke KPK. Tentunya dalam porsi yang tepat sesuai dengan kewenangan yang dimiliki KPK.

Juga Satgas Pemberantasan Mafia. Posisi luar biasanya harus dapat dimanfaatkan menjadi dobrakan luar biasa dalam pemberantasan mafia. Hal yang hingga saat ini masih kita tunggu karena harus ada perbaikan besar yang mengiringi pembongkaran skandal oleh tim ini. Pertanyaan lanjutan terbesar setelah pembongkaran kasus ini adalah apa yang akan dilakukan lembaga-lembaga terkait sebagai bagian dari pembenahan. Satgas harus berani lantang perihal hal tersebut. Kita tidak ingin seperti pembenahan lembaga pemasyarakatan yang tidak jelas meski telah dihajar satgas ketika menemukan sel-sel mewah di lembaga pemasyarakatan. Kita selalu menunggu peran membongkar, tetapi yang diikuti dengan kemauan untuk menyusun ulang. Satgas harus mampu memerankan hal tersebut.

Hal penting yang kedua tentu saja adalah kesadaran untuk melakukan perubahan yang luar biasa untuk pemberantasan mafia. Semuanya harus mau bekerja dan membuka kran perubahan meski terasa akan menyakitkan. Kepolisian, kejaksaan, dan peradilan, bahkan Kementerian Keuangan harus berani bertanggung jawab untuk melakukan perbaikan bagi petaka skandal makelar kasus ini. Perbaikan yang harus didorong dengan proses perbaikan personal, struktural, dan kultural. Perbaikan yang tidak hanya dengan mengganti orang atau membuat posisi-posisi jabatan baru, tapi juga penciptaan kultur pengawasan yang kuat.

Perbaikan sistem peradilan menjadi tidak kalah pentingnya. Model sistem peradilan khusus, seperti pajak, illegal fishing, dan berbagai sistem peradilan khusus lainnya menjadi pekerjaan rumah yang sangat penting. Kejadian model membangun struktur tanpa fondasi yang jelas tidak boleh terulang. Jangan sampai terjadi ada sistem peradilan yang tidak jelas ranah pengawasannya.

Dan tentu saja bukan hanya pada kejaksaan, kepolisian, sistem peradilan, dan Kementerian Keuangan. Petaka makelar kasus pajak adalah wajah semua sektor. Amat mungkin hal yang sama lebih juga terjadi di tempat lainnya. Harus ada program menyeluruh yang terintegrasi dalam keseluruhan gerak dan langkah perbaikan kelembagaan dan pemberantasan mafia di negeri ini. Hal yang tentu saja bisa dilakukan ketika pendekatannya juga menyeluruh dan tidak parsial, seperti yang pernah kita lakukan hanya dengan menggeber perbaikan di sektor keuangan.

Upaya luar biasa ini harus dilakukan. Atau dari semua kegelian yang terjadi di negeri ini hanya akan menjadi pertanda bahwa kita akan benar-benar mengalami apa yang ditakutkan Olle Tornquist, perihal datangnya 'demokrasi kaum penjahat', yakni negeri yang berdemokrasi, tetapi para pembentukan kebijakannya oleh kaum penjahat yang menyaru menjadi pejabat. Oleh karena itu, kita membutuhkan upaya luar biasa itu sekarang dan harus sekarang, demi Indonesia yang lebih baik.

Oleh Zainal Arifin Mochtar, Pengajar FH UGM Yogyakarta; Direktur PuKAT Korupsi FH UGM, Yogyakarta
Opini Media Indonesia 30 Maret 2010