29 Maret 2010

» Home » Jawa Pos » Catatan Hari Film Nasional, 30 Maret 2010

Catatan Hari Film Nasional, 30 Maret 2010

ADA kaitan yang tidak terpisahkan antara perfilman nasional dengan situasi politik dan kondisi perekonomian. Perfilman nasional dapat digunakan sebagai rujukan dari spirit gagasan-gagasan dominan (ideologi) yang dijalankan penguasa. Selain itu, aneka karya film dapat dipakai untuk membaca jenis ekonomi yang sedang berkembang. Hal ini terjadi karena film menjadi kekuatan instrumental yang menghadirkan kembali (merepresentasikan) ambisi dan citra diri para pemegang kontrol politik dan ekonomi.

Terlebih jika film dianggap sebagai karya budaya. Terminologi budaya tidak sekadar mencakup keindahan dan kemegahan fisik. Budaya selalu berkaitan erat dengan persoalan politik dan ekonomi. Budaya, kata John Hartley (Key Concepts in Communication and Cultural Studies: Second Edition, 1994), merupakan produksi sosial dan reproduksi rasa, makna, dan kesadaran. Budaya, dengan demikian, adalah wilayah makna yang mempersatukan wilayah produksi (ekonomi) dan wilayah relasi-relasi sosial (politik).



Ketika perfilman nasional telah menjadi budaya, kita dapat menelusuri sistem perekonomian yang diyakini kebenarannya oleh komunitas yang bernama bangsa. Misalnya, apakah sistem perekonomian yang menjadi preferensi itu adalah sosialisme atau kapitalisme. Sistem perekonomian itu, tentu saja, tidak perlu ditampilkan dalam ceramah maupun khotbah yang berbusa-busa melalui mulut kalangan protagonis atau antagonis dalam adegan-adegan film.

Sistem perekonomian itu dapat disimak pada pembagian kelompok-kelompok sosial, baik yang bersifat hierarkis (kelas sosial) maupun yang bercorak ideologis (gender, seksualitas, etnis, dan agama). Interaksi di antara kelompok-kelompok sosial itulah, yang dinamakan dengan politik.

Tema Horor

Bagaimana perfilman kita saat ini? Dominasi tema horor begitu nyata. Dalam rentang 2001-2009, diproduksi 57 film horor. Hal ini menunjukkan setiap tahun rata-rata diproduksi tujuh film horor. Gejala yang istimewa terjadi pada 2009 ketika film horor yang berhasil diproduksi mencapai 21 judul. Sementara itu, hingga Maret 2010, terdapat 11 judul film horor yang beredar di gedung-gedung bioskop, yakni Toilet 105, Suster Keramas, Diperkosa Setan, Pemburu Hantu The Movie, Rumah Dara atau Macabre, Hantu Puncak Datang Bulan atau Dendam Pocong Mupeng, Jinx, Te(Rekam), Affair, Tiran (Mati di Ranjang), dan Arisan Brondong.

Film-film bertema horor itu sering dipenuhi dengan adegan-adegan seks yang vulgar. Bahkan, untuk menarik minat penonton, bintang porno dari Jepang sengaja dihadirkan. Ketika mendatangkan Miyabi gagal, hadirlah Rin Sakuragi (Koran Tempo, 28 Maret 2010).

Ada tiga sudut pandang yang bisa diberikan untuk menilai kehadiran film-film horor itu. Pertama, dari perspektif negara (state). Membeludaknya film-film horor itu tidak lepas dari kebijakan politik yang dikembangkan pejabat birokrasi. Jika pada era Orde Baru peran negara begitu dominan dalam dunia perfilman, pada masa pasca-Orde Baru, gejala itu tidak dapat ditemukan lagi. Kekuatan negara sengaja disurutkan atau negara sengaja mengundurkan diri dari kancah produksi perfilman. Boleh saja negara menghasilkan undang-undang perfilman yang dinilai membelenggu kalangan sineas. Namun, aturan hukum sejenis itu gampang disiasati.

Negara di era Orde Baru mampu menampilkan diri sebagai tokoh paternalisme yang bermain sempurna. Munculnya konsep Bapak Pembangunan yang dilekatkan pada Soeharto menjadikan tokoh itu berhasil mendominasi percaturan film nasional. Bapak mengetahui yang terbaik (Father knows the best), itulah spirit utama paternalisme. Dengan begitu, tidak mengherankan film-film yang diproduksi selama era Orde Baru adalah film yang berisi semangat kebapakan, keteraturan, dan harmoni. Sebab, politik negara yang menjadi kekuatan pengikat semua pihak ialah militerisme. Lebih banyak ditampilkannya aneka unsur kekerasan yang eksesif, adegan pornografis, serta ketidakpastian tatanan dalam film-film horor saat ini adalah bukti makin surutnya peranan negara.

Kedua, dari perspektif pasar (market). Merebaknya film-film horor merupakan cerminan dari selera konsumen. Pasar muncul sebagai hasil dari transaksi penjual dengan pembeli. Penjual, dalam kaitan ini para produser beserta seluruh pekerja film, menawarkan karya-karya film yang direspons oleh masyarakat sebagai pembeli. Jika sekarang ini dalam film-film horor yang muncul lebih didominasi hantu bergentayangan, adegan kecabulan tanpa rasionalitas yang jelas, dan berbagai ketidakbernalaran, semua itu adalah selera masyarakat. Tapi, menyalahkan semua itu sebagai kebodohan masyarakat juga tidak sepenuhnya tepat. Sebab, selera pasar dapat direkayasa oleh pihak-pihak yang memiliki kapital (modal) besar.

Situasi Sosial

Ketiga, dari perspektif masyarakat (society) -dan hal ini adalah gejala yang paling penting- membanjirnya film-film horor merupakan representasi situasi sosial yang sedang terjadi. Representasi bisa dimaknai sebagai penghadiran kembali realitas sosial. Namun, merujuk pemikiran Jean Baudrillard (1929-2007), representasi adalah cermin kenyataan sosial yang sebenarnya. Apa yang ditampilkan film-film horor merupakan keadaan yang benar-benar dialami masyarakat. Ketegangan, kerisauan, kejijikan, dan berbagai ketidakmasukalan yang disuguhkan dalam film-film horor merupakan pantulan sempurna dari situasi yang berkembang dalam masyarakat.

Apabila film diposisikan sebagai salah satu bentuk budaya media, yakni kultur yang menghasilkan tontonan sekaligus memproduksi aturan-aturan keseharian, film-film horor dapat dibaca dalam arah yang serupa. Horor, menurut The Merriam-Webster Dictionary (2004), memiliki tiga pengertian. Pertama, kengerian, ketakutan, dan kecemasan yang menyakitkan dan begitu hebat. Kedua, kejijikan yang luar biasa. Ketiga, sesuatu yang menakutkan.

Sosok yang menakutkan dalam film-film horor kita adalah hantu yang bergentayangan untuk melampiaskan dendam. Dalam kehidupan nyata, sang hantu yang sebelumnya adalah manusia biasa selalu teraniaya, diperkosa, diinjak-injak, dan dihinakan. Balas dendam hanya bisa terjadi ketika sang manusia berubah sebagai hantu.

Itulah refleksi masyarakat kita yang dikontrol kekuatan politik hantu karena anomi (keadaan tanpa nilai-nilai) yang berkepanjangan. Negara tidak mampu lagi mengatur dan mengendalikan warga sendiri. Lebih tragis lagi, hantu itu menebarkan hasrat seksual yang dahsyat. Itulah ekonomi libido masyarakat yang menonjolkan egoisme yang selalu menuntut untuk dipuaskan. (*)

*). Triyono Lukmantoro, dosen sosiologi komunikasi FISIP Undip, Semarang

Opini JawaPos 30 Maret 2010