Bukan cuma itu. Ratusan rumah buruh perkebunan teh di Kabupaten Bandung yang sebagian besar terbuat dari bambu dan berdinding gedek juga tetap utuh meski diguncang gempa berkekuatan 7,3 skala Richter yang berpusat di Tasikmalaya itu. Padahal, sekitar 8.800 rumah lain yang umumnya terbuat dari bata rusak berat dan sekitar 9.300 rumah lainnya rusak ringan.
Di antara rumah yang rusak berat, termasuk di antaranya bangunan-bangunan megah dan bertingkat yang terbuat dari beton. Ironisnya, kandang kambing di sekitarnya yang umumnya terbuat dari bambu dan kayu tetap utuh. Sama sekali tidak rusak.
Saat terjadi gempa bumi yang mengguncang Padang Pariaman, Sumatera Barat, akhir September 2009, kondisinya hampir sama. Bangunan-bangunan beton bertingkat, termasuk hotel dan rumah, hancur diguncang gempa dahsyat berkekuatan 7,6 skala Richter. Namun, bangunan tradisional rumah gadang yang sebagian besar terbuat dari kayu tetap utuh tak mempan diguncang gempa.
Inilah salah satu bentuk kearifan lokal masyarakat yang sebagian masih terpelihara dengan baik. ”Masyarakat zaman dahulu sudah mengetahui daerahnya rawan gempa. Karena itu, saat membangun rumah pun, dengan alam pikiran yang sederhana, mereka merancang bangunan yang tahan gempa,” kata Arifin Panigoro, pendiri Medco yang membentuk Posko Jenggala untuk menangani korban bencana alam.
Bangunan tradisional yang terbuat dari bambu atau kayu umumnya tidak rusak diguncang gempa karena bahan bangunan itu mempunyai sifat lentur terhadap guncangan. Selain itu fondasi bangunan, ikatan tiang, dan pasak pada kayu diatur sedemikian rupa sehingga bisa lentur saat terjadi guncangan.
Kearifan lokal inilah yang kini secara tidak sadar mulai ditinggalkan masyarakat. Berlagak ingin disebut modern, bangunan rumah pun dibuat dari bata atau beton. Mereka hanya memperhitungkan segi estetis tanpa memerhatikan aspek keamanannya. ”Mereka tidak memperhitungkan jika daerah mereka rawan gempa,” kata Sri Widiyantoro.
Dampak dari diabaikannya kearifan lokal ini boleh dibilang cukup fatal. Saat terjadi gempa bumi di Sumatera Barat, September 2009, misalnya, sekitar 200 orang tewas dan 500 bangunan hancur. Korban tewas umumnya karena tertimpa bangunan bata atau bangunan beton yang runtuh.
Pendiri Harian Kompas Jakob Oetama dalam diskusi tersebut mengingatkan, bencana alam, termasuk gempa bumi, kerap terjadi di Tanah Air. Meski demikian, kesadaran semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat masih lemah. Antisipasi bakal terjadinya bencana masih belum optimal sehingga korban masih banyak berjatuhan.
”Menjadi tanggung jawab bersama untuk melakukan langkah-langkah penyadaran agar masyarakat semakin waspada terhadap datangnya bencana,” tutur Jakob. ”Masyarakat harus akrab dengan bencana dan melakukan langkah antisipasi sehingga jumlah korban bisa ditekan,” paparnya.
Dalam soal kesadaran dan langkah antisipasi menghadapi bencana, masyarakat Jepang sangat layak menjadi contoh. Di Jepang, misalnya, sosialisasi dan pelatihan menghadapi bencana gempa bumi terus-menerus dilakukan secara periodik. Selain itu, infrastruktur dan bangunan sudah dirancang sedemikian rupa sehingga sangat aman ketika terjadi bencana gempa bumi. Bahkan, hal-hal kecil pun sudah diperhitungkan.
Alat pengontrol untuk mematikan saluran gas di rumah, misalnya, sudah diperhitungkan ditempatkan di kolong meja. Dengan demikian, ketika terjadi gempa, bawah meja menjadi tempat berlindung sekaligus mematikan aliran gas agar tidak menyulut kebakaran.
Di Hokaido, Jepang, di setiap blok permukiman selalu ada taman pada lokasi yang posisinya lebih tinggi. Lokasi itu dijadikan zona aman ketika gempa terjadi dan menimbulkan potensi tsunami. ”Kalau ada peringatan bahaya tsunami, setiap orang tahu mereka harus lari ke taman itu,” kata Sri Widiyantoro.
Di Indonesia, kesiapsiagaan menghadapi bencana masih sangat rendah. Bahkan, banyak pemerintah daerah yang belum menyiapkan rencana kesiapsiagaan menghadapi bencana dan menghadapi situasi darurat.
”Kita masih berperilaku seperti pemadam kebakaran yang datang hanya saat terjadi bencana,” kata Victor Rembeth. Agar tidak sekadar menjadi pemadam kebakaran, Victor menyebut perlunya partisipasi semua lapisan masyarakat untuk menghadirkan culture of safety atau budaya aman dari bencana.
Dalam kaitannya dengan culture of safety, Ketua Ikatan Arsitek Indonesia Endy Subijono mengatakan, sekitar 13.000 arsitek yang tersebar di Tanah Air sebenarnya siap memberikan bantuan merancang bangunan tahan gempa. Namun, keahlian mereka selama ini kurang dimanfaatkan secara optimal.
Hanya beberapa pihak saja yang sudah memanfaatkan jasa arsitek ini dalam penanggulangan bencana. Posko Jenggala yang menangani korban bencana alam, misalnya, sudah membangun rumah tahan gempa di Aceh, Sumatera Barat, dan Jawa Barat masing-masing sekitar 200 rumah dengan memanfaatkan potensi dan kearifan budaya lokal.
Di Sumatera Barat, misalnya, karena banyak pohon kelapa berusia tua dan tidak produktif, maka digunakan batang pohon kelapa untuk membangun rumah tahan gempa. ”Biaya jauh lebih murah, hanya sekitar Rp 17,5 juta untuk rumah tipe 48,” kata Andi Sahrandi, aktivis penanganan bencana dari Posko Jenggala.
Adapun di Jawa Barat, sesuai potensi dan budaya lokalnya, digunakan bambu untuk konstruksi bangunan tahan gempa. ”Ada sekitar 1.250 jenis bambu, sekitar 140 jenis di antaranya banyak terdapat di sekitar kita. Namun, potensi ini tidak dimanfaatkan secara optimal,” kata Bambang P Nugroho.
Menyadari potensi ini, pihaknya bersama Posko Jenggala membangun sekolah, masjid, dan rumah percontohan di Kabupaten Garut dengan menggunakan konstruksi bambu. ”Kelihatannya lebih indah, mudah didapat, sangat kuat jika cara penebangannya benar dan biaya pembangunannya murah. Tugas kita menyadarkan masyarakat agar jangan gengsi menggunakan bambu untuk daerah-daerah rawan gempa,” kata Arifin Panigoro.
Kearifan lokal yang mulai ditinggalkan kini dicoba untuk ditumbuhkan kembali..
Opini Kompas 30 Maret 2010