Industri film kita telah menjadi korban kepentingan barter ekonomi yang membuktikan bahwa hitung-hitungan dagang mengorbankan kepentingan kebudayaan
FESTIVAL Film Indonesia (FFI) yang sekian lama mati suri, akhirnya digelar kembali. Para sineas muda yang tumbuh dalam idiom seni generasi MTV, mulai giat membuat film, dan menciptakan lapisan baru dari bagi tradisi perfilman kita.
Sementara MTV yang menjadi ikon budaya pop dunia, secara rutin menggelar MTV Indonesian Movie Awards, yang semula dianggap sebagai perangsang kebangkitan (kembali) sinema Indonesia. Hal ini cukup menggembirakan sekaligus memprihatinkan, karena kondisi perbioskopan nasional kita sebagai penunjang industri hiburan ini, tetap berantakan.
Padahal selama ini gedung bioskop yang menjadi penghubung antara film dan penontonnya. Maka cukup absurd juga membayangkan sebuah festival film tanpa penonton (yang mengelu-elukan film terpilih di gedung bioskop) serta masyarakat yang dingin, tanpa antusias seperti yang nampak pada setiap pawai artis pada penyelenggaraan FFI pada masa silam.
Selama ini, film bioskop (cinema, movie) yang dilahirkan sebagai tontonan umum di awal 1900-an, dianggap sebagai salah satu penanda kehidupan masyarakat modern. Sebuah kota akan dianggap terpinggir, atau ketinggalan karena di sana tak ada gedung bioskop.
Para pakar dan pemerhati budaya pop, dari yang berpandangan klasik seperti Wilbur Schramm dan James Monaco, hingga pemikir posmo seperti Barthes atau Baudrillard atau mereka yang berada di kubu cultural studies seperti Chandra Mukerji dan lainnya, hampir semuanya sepakat bahwa film dan bioskop adalah kesatuan yang merupakan penanda dari gaya hidup dan struktur sosial sebuah masyarakat modern.
Begitu juga di Indonesia, yang masa kejayaan bermula di Jakarta, saat diresmikan Bioskop Metropole (1951). Bioskop mewah ini berkapasitas 1.700 kursi, berteknologi ventilasi peniup dan penyedot udara, bertingkat tiga dengan ruang dansa dan kolam renang di lantai paling atas (Antariksa, 2003:28). Sedang tahun 1990 bisa disebut sebagai masa puncak bagi film nasional, dengan 115 judul produksi film setahun. Gedung bioskop sendiri mencapai bentuk baru (gedung sinepleks) pada akhir 1980-an, yang letaknya di kompleks pertokoan, atau mal yang menjadi referensi tempat bersosialisasi (gaul) anak muda perkotaan.
Namun tahun 1990 juga merupakan era madu dan racun bagi perfilman kita. Setelah mengalami booming produksi pada 1991 industri perfilm kita mendadak sekarat. Produksi lokal terjun bebas dari 119 film pada tahun 1990 menjadi 60 saja pada tahun 1991, hingga akhirnya menjadi 12 saja pada September 1992. Salah satu penyebabnya adalah daya tarik film layar lebar Amerika Serikat terhadap orang Indonesia, di samping praktik monopoli yang dilakukan oleh grup Cineplex 21.
Imperialisme Budaya Namun agenda utama di balik kehancuran industri film kita adalah imperialisme budaya Amerika Serikat (dalam hal ini diwakili oleh Motion Picture Export Associate) yang mendorong Carla Hill, ketua Perwakilan Dagang Amerika Serikat, untuk mendesakkan pasar yang lebih luas lagi bagi produksi film Hollywood.
Ternyata pemerintah bertekuk lutut, memberi akses lebih besar kepada industri film AS sebagai barter atas kenaikan kuota AS untuk produksi tekstil Indonesia menjadi 35%. Industri film kita telah menjadi korban kepentingan barter ekonomi yang membuktikan bahwa hitung-hitungan dagang mengorbankan kepentingan kebudayaan.
Padahal bila merujuk data Institute for Statistics (Unesco, 11 Maret, 2003), posisi Indonesia masih lumayan dalam daftar jumlah bioskop per kapita dalam 100 negara yakni ada di posisi 12, dengan nilai 1,009 (1997). Negara ASEAN lainnya menempati posisi di atas 70.
Kemudian data tentang minat masyarakat untuk menonton film di gedung bioskop (atau top 100 countries cinema attendance - per kapita ) Indonesia berada di urutan 39, dengan 808,87 per 1.000 penduduk. Artinya, dari 1.000 penduduk, 808-nya menonton film di gedung bioskop. Walau posisi Singapura (yang jumlah penduduknya jauh lebih sedikit) ada di urutan ke-6, posisi Indonesia jauh lebih baik daripada Malaysia (urutan 78, dengan nilai 14.54) dan negara ASEAN lainnya.
Bila pada tahun 1990-an, produksi film nasional mencapai 112 judul, dalam tempo 13 tahun kemudian (2003) merosot ke titik nadir dengan 10 produksi, dari sisi ini kita malah paling tertinggal dibanding Malaysia, Thailand, dan Filipina. Data International Movie Data Base (IMDB) tentang produksi film di 100 negara dunia, jelas menunjukkan bahwa Indonesia berada di urutan buncit, yaitu posisi ke-49 dengan 10 produksi. Posisinya di bawah Malaysia (urutan ke-42 dengan 18 produksi), Thailand (38 dengan 20 produksi), atau Filipina (18 dengan 84 produksi ).
Bila mengingat situasi dan kondisi gambar tanpa layar ini hanya terjadi di Indonesia (di negara ASEAN lainnya, hingga kini keseimbangan bisokop dan film tetap terjaga), bukankah hal ini cukup absurd ? Bukan mustahil kelak romantisme nonton film roman dengan si dia, atau larut dalam kegembiraan bersama sahabat untuk merayakan peristiwa yang menyenangkan dengan beramai-ramai nonton film di gedung bioskop, akan menghilang. (10)
- Heru Emka, pengamat film dan peminat kajian budaya
Wacana Suara Merdeka 30 Maret 2010