29 Maret 2010

» Home » Kompas » Tsunami Jepang dan Pembelajaran

Tsunami Jepang dan Pembelajaran

Tsunami. Gempa bumi. Dua jenis bencana ini sejak tahun 2004 memunculkan perspektif baru tentang bagaimana menghadapi bencana meskipun diskursus tentang hal itu masih belum berakhir. Jika kita bicara soal manajemen bencana, semakin tidak jelas urusannya.
Mulai dari perangkat keras hingga perangkat lunak belum juga beres. Mulai dari kesiapan alat berat untuk membongkar reruntuhan, peraturan bangunan (building code), standar cara-cara penyelamatan diri dari berbagai jenis bencana, hingga sumber daya manusia terlatih dan sumber dana yang memadai masih belum selesai diurus.


Tak bisa diprediksi
Tak semua bencana tak bisa diprediksi. Banjir dan tanah longsor sampai pada tingkat tertentu bisa diprediksi bakal terjadi. Gempa bumi baru bisa diprediksi untuk rentang kemungkinan yang cukup panjang, bisa pada orde tahunan.
Sri Widiyantoro dalam diskusi tersebut menunjukkan betapa masifnya dampak dari bencana gempa bumi. Dan, bagaimana sebenarnya safety culture perlu dibangun secara sistematik mulai dari pemerintah hingga akar rumput. Dia mencontohkan Jepang, negara yang sering dilanda gempa bumi.
Di Jepang, pemahaman akan gempa bumi diawali dari kepercayaan pada legenda adanya lele raksasa di bawah bumi. Saat sang dewa marah, lele itu dipukul hingga dia menggeliat. Saat menggeliat itu terjadilah gempa. Dari legenda, Jepang bergerak ke ilmu pengetahuan yang menguak rahasia terjadinya gempa bumi.
Sri Widiyantoro yang biasa dipanggil Ilik menggambarkan mantel bumi sebagai air yang dipanasi. Pemanasnya adalah magma yang temperaturnya sekitar 5.000 derajat Celsius dengan kedalaman sekitar 6.000 kilometer. Pergolakan mantel bumi itu membawa lempeng-lempeng yang bergerak di atasnya. Indonesia yang posisinya pada ring of fire (cincin api) memiliki banyak gunung api dan memiliki banyak patahan yang berpotensi menimbulkan gempa saat terjadi gesekan antarlempeng.
Materi yang keluar bersama magma bisa berupa batu mulia. ”Jadi, selain banyak gempa, Indonesia juga kaya,” ujarnya.
Dia menggambarkan kehancuran akibat gempa di Alaska yang menghancurkan kota setelah diguncang gempa selama semenit.
Dengan gempa semenit yang berkekuatan 12 skala Richter, kota Tokyo tahun 1923 hancur total. Jembatan bergerak bak gelombang air dan selanjutnya patah berkeping, disusul nyala api akibat gas bocor, dan mobil-mobil pun tertelan rekahan jalan. Deskripsi ini menjadi mengerikan ketika kita menyaksikan sosok-sosok manusia berusaha menyelamatkan diri. Periode gempa Tokyo adalah 100 tahun dengan plus minus waktu geologi 10 tahun.
Berkah tersembunyi
Gempa merupakan salah satu pemicu munculnya tsunami (tsu > pelabuhan, nami > gelombang) Aceh tahun 2004. Tsunami menyerang Banda Aceh, menelan korban lebih dari 200.000 jiwa.
Victor Rembeth menegaskan, ”Tsunami akhir tahun 2004 menjadi sebuah pemicu yang merupakan sebuah blessing in disguise (berkah tersembunyi) untuk penguatan upaya-upaya manajemen bencana yang lebih baik,” ujarnya.
Tahun 2005 di Kobe, Jepang, dalam Konferensi Dunia tentang Pengurangan Dampak Bencana, lahir Kerangka Aksi Hyogo yang ditandatangani 168 negara termasuk Indonesia.
Risiko bencana dipengaruhi oleh kerentanan manusia, kerentanan sosial, dan kemampuan keseluruhan merespons atau mengurangi bahaya-bahaya yang ada. Kemiskinan merupakan salah satu aspek kerentanan itu.
Sri Widiyantoro menegaskan, setelah ada undang-undang itu, Indonesia perlu menyusun langkah-langkah konkret, langkah antisipatif, di antaranya dengan menetapkan peraturan bangunan. Dia bersama delapan orang lainnya merupakan Tim Sembilan yang menyusun peraturan bangunan. Dia menyebutkan perlunya program retrofitting—penguatan kembali bangunan tua—dan jika perlu menambahkan shockbreaker pada bangunan seperti yang dilakukan Jepang pada sejumlah bangunan di Tokyo.
Dia menyebutkan, implementasi peraturan tersebut di Jepang, antara lain, adalah setiap orang dilatih untuk siap menghadapi bencana, misalnya dengan menyiapkan sepeda untuk mengamankan diri.
”Masyarakatnya rajin melakukan latihan, alat penyelamat gempa dijual di supermarket-supermarket, sejak SD anak-anak Jepang dilatih langsung dengan menggoyang bangunan sehingga mereka terbiasa bagaimana menyelamatkan diri,” ujar Sri Widiyantoro.
”Pemerintah Jepang menginvestasikan kekayaannya untuk melindungi masyarakatnya,” katanya.

Opini Kompas 30 Maret 2010