Oleh Tredi Hadiansyah
Masyarakat banyak yang tahu kalau aset Kementerian Keuangan telah menjadi jaminan sukuk, dan mungkin suatu saat aset kementerian lain juga dapat dijadikan sebagai jaminan. Sukuk negara telah menjadi salah satu alternatif pendanaan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) serta ins-trumen investasi bagi pemilik dana. Untuk memperluas basis sumber pembiayaan anggaran negara, pemerintah telah menerbitkan instrumen pembiayaan yang berbasis syariah. Instrumen investasi ini diterbitkan dengan dasar akad (perikatan) ijarah, yaitu akad sewa-menyewa atas suatu aset. Karena berbasis syariah, pemerintah tidak memberikan bunga sebagaimana Surat Utang Negara (SUN), tetapi memberi imbal hasil. Instrumen investasi ini menggunakan aset/barang milik negara sebagai jaminan/acuannya (underlying asset).
Secara terminologi, sukuk berasal dari bahasa Arab, bentuk jamak dari "sak" yang berarti "sertifikat". Undang-Undang No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) memberikan pengertian sukuk negara adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah sebagai bukti atas penyertaan terhadap aset surat berharga syariah negara baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.
Menarik untuk dikaji adalah bagaimana status aset negara bila pemerintah selaku penerbit sukuk melakukan wanprestasi atau gagal bayar. Akankah aset negara akan disita atau beralih ke tangan suatu korporasi atau investor pemegang sukuk?
Surat berharga syariah
Selama ini yang telah menggunakan basis syariah dalam menghimpun pendanaan baru di sektor swasta dan perbankan. Undang-Undang No. 19/2008 membolehkan menjaminkan aset negara untuk penerbitan sukuk sepanjang telah mendapat persetujuan DPR, dengan demikian secara legal ada landasan hukumnya. Dalam penerbitan sukuk negara, ada empat pihak terkait yaitu pemilik aset, penyewa, investor, dan special purpose vehicle. Pemilik aset dan penyewa umumnya satu instansi yang sama, investor yaitu pembeli yang membeli sertifikat sukuk, dan special purpose vehicle, badan hukum yang dibentuk khusus menerbitkan sukuk dan sebagai wali amanat.
Aset sukuk merupakan barang milik negara yang memiliki nilai ekonomis seperti tanah/bangunan/projek, dan jelas dari segi fisik dan nilainya. Penggunaan aset ini dapat dilakukan dengan cara dijual, disewakan, atau cara lain yang mengacu kepada prinsip syariah.
Penggunaan aset negara sebagai underlying asset hanya dalam bentuk hak manfaat (beneficial title) dan tidak ada kewajiban untuk penyerahan fisik serta pengalihan/pemindahan hak kepemilikan (legal title). Jadi tidak memengaruhi posisi fisik aset yang menjadi underlying (hanya sebagai assesoir dan instrumen yang menjadi dasar kontrak). Imbal hasil sukuk juga telah ditetapkan dalam APBN. Apabila terjadi default (gagal bayar), pemerintah wajib membeli kembali aset tersebut.
Dalam hal terjadi sengketa, penyelesaiannya dilakukan sesuai dengan prinsip syariah, yaitu musyawarah menurut ajaran Islam. Meski demikian, sengketa atau perselisihan sering kali tidak dapat dihindarkan. Bila tidak ada titik temu dalam musyawarah, pihak yang bersengketa tetap tunduk pada hukum positif yang berlaku. Karena dasar akad (perjanjian) adalah kebebasan berkontrak sesuai dengan 1338 KUHPerdata, para pihak dapat menentukan cara penyelesaian sengketa, seperti melalui badan arbitrase atau pengadilan negeri. Dengan demikian, tidak serta merta aset negara dapat disita oleh investor pemegang sukuk.
Untuk optimalisasi aset negara, pengelola aset mempunyai peran strategis sebagai pembuat kebijakan. Pengelola aset dalam memanfaatkan barang milik negara dapat melakukan sewa, pinjam pakai, kerja sama pemanfaatan, dan bangun guna serah/bangun serah guna tanpa mengubah status kepemilikan. Dalam hal aset negara yang dijadikan underlying, basis data harus baik, tertata, dan memiliki kekuatan legal sehingga pengelola mengetahui aset apa saja yang dapat dioptimalkan. Kalau perlu bukan hanya tanah dan bangunan, tetapi juga waduk, projek, jembatan, kapal, atau mobil mewah milik negara jika ada. Jadi, dana yang dikeluarkan pemerintah untuk membeli aset sejak berdirinya republik ini dapat dimanfaatkan secara ekonomis.
Proses pembuatan kebijakan dan implementasi perlu dilakukan monitoring dengan baik, bahkan perlu dilakukan evaluasi berkala. Manajemen risiko harus dikelola dengan baik sehingga mencegah kemungkinan yang dapat timbul seperti risiko gagal bayar.
Penerbitan sukuk yang telah mendapat fatwa halal dari dewan syariah nasional MUI harus dimonitor agar pelaksanaannya tetap dalam koridor syariah. Penggunaan aset yang dijaminkan dan dana yang diperoleh dipergunakan untuk projek-projek yang juga harus memenuhi kaidah syariah.
Catatan yang dapat diambil dengan menjaminkan aset negara yaitu, pertama, tidak ada yang salah menjadikan aset negara menjadi jaminan karena UU tidak melarangnya. Yang perlu dilakukan prinsip kehati-hatian dalam implementasinya.
Kedua, tidak ada transfer of the ownership aset negara ke special purpose vehicle ataupun investor karena hukum yang ada tetap melindungi kepentingan aset negara. Kekhawatiran aset negara yang menjadi underlying akan beralih ke pihak lain tidak perlu terlalu dicemaskan --hak kepemilikan tidak berpindah-- karena aset tersebut bukan collateral seperti di perbankan yang bisa dieksekusi jika terjadi wanprestasi.
Ketiga, pengelolaan aset negara yang baik akan memberikan kontribusi peningkatan penerimaan negara yang dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat.
Semoga APBN makin sehat karena dana yang diperoleh sesuai dengan syariah dan halal. Sekali lagi, mari benahi aset negara. Kalau bukan sekarang, kapan lagi!!!***
Penulis, bekerja di Ditjen Kekayaan Negara - Kementerian Keuangan (artikel pendapat pribadi).
Opini Pikiran Rakyat 30 Marer 2010