Akankah pemunculan Tiger Woods di muka publik, dengan permintaan maaf yang disiarkan secara terbuka, diliput besar-besaran oleh media cetak dan elektronik akhir pekan lalu, bakal kembali menempatkan pegolf dunia itu ke habibatnya sebagai idola dan olahragawan terbesar saat ini? Media mencatat, inilah pengakuan dan permintaan maaf seorang tokoh yang mengundang perhatian sangat luas, seperti 12 tahun lalu ketika Presiden Amerika Serikat Bill Clinton membeberkan skandal seksnya dengan Monica Lewinsky.
Pemunculan terbuka Woods sejak perselingkuhannya dikuak oleh media massa pada November tahun lalu itu, menyita perhatian sedemikian luas. Liputan yang luar biasa, sampai aktivitas di lantai bursa Wall Street di New York, digambarkan seolah-olah terhenti. Belasan situs web melakukan live streaming dari markas besar PGA Tour di Ponte Vedra Beach, Florida. Bisa dipahami, Woods adalah pegolf nomor satu yang juga salah satu atlet terhebat dunia dewasa ini, dan skandalnya sangatlah menciptakan shock.
Berbeda dari tampilannya yang cenderung lembut dan kalem, Woods terlibat perselingkuhan dengan belasan perempuan. Belakangan diketahui dia mengidap ”ketagihan seks”, dan harus menjalani terapi untuk rehabilitasi. Dia mengakui, uang dan ketenaran memudahkannya untuk mengakses godaan. ”Saya memohon maaf yang sebesar-besarnya atas tindakan saya yang tidak bertanggung jawab dan hanya memikirkan diri sendiri,” katanya. Dia meminta publik untuk meyakini agar suatu saat nanti akan kembali memercayainya lagi.
Woods dan keluarganya merupakan cermin dari kolaborasi ikhtiar rehabilitasi mental yang luar biasa. Ellen Nordegren, istrinya yang terpukul dan marah besar atas skandal tersebut, mendampingi proses terapinya, namun bagaimana kelanjutan relasinya masih harus kita tunggu. Sang ibu, Kultida Woods mengatakan tetap bangga kepada anaknya. Katanya, peristiwa ini mengajarkan Tiger cuma manusia biasa yang punya kesalahan, tetapi kita harus terus melanjutkan kehidupan ketika membuat kesalahan dan belajar dari itu.
Uang dan ketenaran. Inikah bagian dari jerat kesalahan terhadap manusia seperti yang dialami Tiger Woods? Seperti John Terry, kapten tim nasional sepak bola Inggris yang juga terlibat kasus perselingkuhan, mereka mengalami keterpurukan justru setelah meraup uang dan ketenaran. Persoalannya, sebagai manusia yang dinilai punya posisi luar biasa, apa yang mereka lakukan pun selalu menjadi tidak biasa, selalu ada dalam sorotan publik. Sebagai milik publik, keniscayaan untuk berbuat keliru harus terus ditekan.
Konsekuensinya, sebagian dari hak-hak privat harus dikorbankan, karena figur publik — apalagi atlet yang hidup di ranah sportivitas — menjadi panutan bagi generasi muda. Terry tak boleh salah, Woods harus hidup ideal. Namun sejarah mencatat hakikat manusia tetap dengan sifat-sifat kemanusiaannya. Ke-extraordinary-an yang berselimut baju ”hanya seorang manusia” tak bisa total dipisahkan. Jadi harus mutlakkah menghukum Woods atau Terry, atau semua itu kita jadikan referensi penguat tentang hakikat hidup dan kehidupan?
Wacana Suara Merdeka 23Februari 2010