22 Februari 2010

» Home » Media Indonesia » Kebijakan Energi Prokesejahteraan

Kebijakan Energi Prokesejahteraan

INDONESIA dikenal sebagai negara yang kaya sumber daya alam, termasuk sumber energi, tetapi kemiskinan rakyat Indonesia masih tinggi. Indonesia ternyata belum mampu mengelola sumber daya energinya secara mandiri. Dari sekitar 80%-90% pengelolaan kekayaan energi kita dikuasai perusahaan multinasional (Rakhmanto, 2008), manfaatnya tidak sebanding bila dilihat dari tingkat kesejahteraan (human development index) rakyat Indonesia.

Sementara itu, cadangan minyak bumi Indonesia semakin menipis. Batu bara tersisa untuk 146 tahun, cadangan gas untuk 62 tahun, dan cadangan minyak bumi untuk 23 tahun. Fluktuasi harga minyak di pasar internasional sangat berdampak pada pengeluaran APBN dan jalannya pembangunan. Hal itu menunjukkan bahwa energi merupakan salah satu persoalan yang sangat mendasar dalam pembangunan di Indonesia.



Sebenarnya pemerintah telah memiliki sejumlah program dalam menjamin ketahanan energi nasional. Pada 2025, Indonesia sedikit demi sedikit ditargetkan mengurangi ketergantungan pada energi fosil dengan mengganti sebagian dengan energi alternatif yang dapat memberikan kontribusi 15% dari kebutuhan energi nasional. Kontribusinya 5% berasal dari panas bumi, 5% berasal dari bahan bakar nabati, dan 5% berasal dari energi terbaru lain seperti nuklir, mikrohidro, dan energi angin. Meski demikian, jika dibandingkan dengan negara lain seperti Jepang, kebijakan energi Indonesia masih jauh tertinggal. Saat ini saja, komposisi energi terbarukan di Jepang sebesar 8%-9% dan jika ditambah dengan energi nuklir bisa mencapai 23%.

Konsistensi kebijakan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Darwin Z Saleh beberapa waktu lalu menjanjikan draf Kebijakan Energi Nasional (KEN) selesai Maret 2010. Sebagai tindak lanjut dari cetak biru pengelolaan energi nasional 2005-2025 dan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006, kebijakan itu diharapkan bisa menjadi acuan operasional jangka panjang dalam pengelolaan energi dalam negeri.

Dalam cetak biru atau blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005-2025 disebutkan bahwa setelah 2007 pemerintah tidak akan memberikan subsidi pada semua jenis bahan bakar minyak, termasuk untuk minyak tanah, solar, dan premium. Namun, hingga saat ini pemerintah masih mempertahankan kebijakan subsidi sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 9 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Perpres No 55/2005 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri. Hal itu menyiratkan belum adanya konsistensi kebijakan energi.

Kebijakan energi merupakan kebijakan yang bersifat multisektor. UU No 30/2007 tentang Energi menyebutkan 'kebijakan energi nasional adalah kebijakan pengelolaan energi yang berdasarkan prinsip berkeadilan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan guna terciptanya kemandirian dan ketahanan energi nasional.'

Selanjutnya dalam Pasal 2 disebutkan, 'energi dikelola berdasarkan asas kemanfaatan, rasionalitas, efisiensi berkeadilan, peningkatan nilai tambah, berkelanjutan, kesejahteraan masyarakat, pelestarian fungsi lingkungan hidup, ketahanan nasional, dan keterpaduan dengan mengutamakan kemampuan nasional.' Selanjutnya dalam Pasal 7 disebutkan bahwa harga energi ditetapkan berdasarkan nilai keekonomian berkeadilan.

Dengan menyimak substansi kebijakan energi, sangat kental terasa bahwa kompleksitas yang melingkupi sektor tersebut. Hal yang cukup menyulitkan bahwa antara satu prinsip dan prinsip lainnya dapat bertolak belakang. Sebagai contoh, sisi efisiensi ataupun rasionalitas dengan kesejahteraan masyarakat.
Oleh karena itu, pemerintah dalam hal ini Menteri ESDM bersama-sama dengan DPR perlu melakukan sinkronisasi peraturan perundang-undangan di sektor energi agar tercipta kepastian hukum sehingga investor tidak khawatir setiap pemerintahan memiliki kebijakan yang berbeda-beda.

Yang tak kalah pentingnya adalah implementasi kebijakan. Sebetulnya arah kebijakan energi nasional yang terkandung dalam cetak biru dan Peraturan Presiden No 5/2006 sudah cukup memadai. Namun, segudang kebijakan dan perundang-undangan tidak akan berarti apa-apa bila tidak didukung penuh oleh konsistensi kemauan politik (political will) pemerintah untuk mengimplementasikan kebijakan secara benar tanpa disimpangi perilaku korup para mafia energi.

Menghindari kutukan
Hasil penelitian Sachs dan Warner (1999) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi negara yang memiliki sumber daya melimpah cenderung lebih lambat jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi negara tidak memiliki sumber daya alam melimpah. Fenomena seperti itu kemudian melahirkan istilah 'kutukan sumber daya alam'.

Kita berharap mudah-mudahan kutukan itu tidak tertuju ke Indonesia, meski tanda-tandanya mulai mengarah ke sana. Yang terpenting saat ini adalah bagaimana kita membuktikan teori Sachs dan Warner salah dan tidak tepat untuk Indonesia?

Joseph Stiglitz (2005) memiliki sejumlah resep untuk menghindari kutukan dan menjamin perolehan negara pemilik, pertumbuhan ekonomi negara pemilik, dan manfaat yang terdistribusi secara luas.

Pertama, penentuan laju ekstraksi. Sumber daya alam adalah aset sehingga ekstraksi tidak lebih daripada realokasi portofolio dari bentuk sumber daya alam menjadi bentuk aset yang lain. Jika pemilik sumber daya belum mampu menggunakan dana yang diperolehnya dari eksploitasi sumber daya alam, membiarkan sumbe rdaya tetap dalam tanah dapat lebih menguntungkan, nilainya akan meningkat karena komoditi sumber daya tersebut semakin langka.

Kedua, kehati-hatian dalam meminjam dana. Bank internasional sering berperan mendorong negara penghasil sumber daya alam untuk berbelanja melebihi kemampuan membayarnya. Ketika harga komoditi sumber daya alam tinggi, bank berlomba meminjami, tetapi ketika negara peminjam sedang kesulitan karena harga komoditi sumber daya alam sedang turun, bank menarik uangnya. Itulah sebabnya aliran dana, khususnya dalam jangka pendek, cenderung bersifat pro-cyclical yang memperberat fluktuasi ekonomi.

Ketiga, tertib akunting. Salah satu alasan mengapa pemerintah sering gagal mengelola penerimaan berkaitan dengan kerangka akunting standar yang banyak digunakan. Pemerintah cenderung menunjukkan keberhasilannya dengan mengemukakan angka laju pertumbuhan. Namun, produk domestik bruto (PDB) tidak memberikan ukuran yang sesungguhnya dari kesejahteraan. Alternatif terhadap kerangka akunting yang ada adalah apa yang lazim disebut dengan 'PDB hijau', suatu upaya untuk mengukur kesejahteraan yang lebih tepat. Kerangka itu memasukkan deplesi dan kerusakan lingkungan seperti halnya perusahaan menghitung depresiasi dari asetnya.

Keempat, reformasi kelembagaan. Harga komoditi di pasar internasional sangat bergejolak. Hal itu dapat menjadi dorongan bagi terbentuknya 'dana stabilisasi' yang akan berfungsi menghaluskan belanja, mengurangi risiko, memberikan perangkat untuk mengatasi kecenderungan pemerintah membelanjakan seluruh sumber daya yang ada, dan lebih menjamin bahwa dana diinvestasikan dengan lebih terarah sehingga deplesi sumber daya alam diimbangi dengan peningkatan sumber daya manusia dan fisik.

Kelima, transparansi. Kebijakan yang dapat meningkatkan transparansi sangat diperlukan; informasi tentang bagaimana pemerintah berinteraksi dengan pihak pengekstraksi sumber daya alam harus lebih dibuka; kontrak yang disepakati; jumlah komoditi sumber daya alam yang diproduksi; dan penggunaan pendapatan yang diperoleh. Transparansi akan mencegah perilaku mencari rente dan korupsi. Begitu juga pada rancangan lelang. Ketika pemerintah tidak mempunyai informasi yang cukup tentang sumber daya alam di suatu wilayah, cara yang paling mudah untuk menangkap rente ekonomi adalah melalui lelang kompetitif. Penawaran kawasan yang terlalu luas sebaiknya dihindari karena akan menambah risiko bagi investor yang dikonversi menjadi harga penawaran yang lebih rendah.

Oleh Marwan Ja'far, Anggota DPR

Opini Media Indonesia 23 Februari 2010