Dunia pendidikan kembali diguncang praktik plagiarisme. Di Bandung, seorang guru besar/profesor sekaligus mantan dekan di Universitas Parahyangan (Unpar) terbukti melakukan plagiarisme karena memublikasi karyanya yang sebagian ternyata karya Carl Ungerer, tanpa menyebutkan sumber tulisannya. Carl Ungerer sendiri merupakan penulis sekaligus kolumnis kenamaan berkebangsaan Australia, yang sering menulis di beberapa koran nasional negeri ini. Menurut pemberitaan, plagiarisme karya Carl Ungerer yang dilakukan sang profesor bukan hanya sekali, melainkan sampai enam kali.
Kasus plagiasi juga terjadi di kota pelajar Yogyakarta. Menurut keterangan salah satu pejabat Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah V Yogyakarta, plagiarisme dilakukan oleh dua calon guru besar dari salah satu perguruan tinggi swasta (PTS) terkemuka kota ini. Dua calon guru besar itu menjiplak skripsi mahasiswa S-1 guna melengkapi syarat mendapat gelar guru besar.
Kasus plagiasi di Unpar menjadi ramai dibicarakan, lantaran keistimewaan yang dimiliki sang profesor. Konon sang profesor memiliki cara mengajar yang menarik dan amat disukai mahasiswanya; yaitu model mengajar dengan melakukan sinergi antara teori dan praktik. Sang profesor dikenal luas dan populer di kancah dunia akademik. Sementara itu karyanya telah diterbitkan di berbagai media massa dan jurnal nasional ataupun internasional. Karier sang profesor juga amat cemerlang, karena usia 41 tahun sudah mendapatkan gelar profesor di bidang ilmu hubungan internasional, sekaligus profesor termuda di Indonesia.
Pertanyaan yang muncul, pelajaran apa yang patut diambil dari kasus plagiarisme itu? Tindakan apa yang harus dilakukan para pemangku kepentingan agar kejadian memalukan itu tidak terulang kembali dalam dunia akademik kita?
Budaya menerabas
Plagiasi di kalangan dunia pendidikan memang bukan kali pertama. Kasus serupa juga pernah terjadi, baik dilakukan oleh siswa di tingkat dasar, mahasiswa S-1, S-2, S-3 maupun guru besar. Laksana gunung es, kasus plagiasi yang menyembul hanya bagian puncak, sedangkan badan dan akarnya tidak terlihat sama sekali. Singkatnya, kasus di Unpar dan Yogyakarta hanya sebagian kecil dari kasus-kasus lain yang belum terungkap.
Maraknya plagiasi menandakan betapa budaya instan dan menerabas itu belum bisa lepas dari dunia pendidikan kita. Pelaku pendidikan kita masih mengamini budaya meraih prestasi, kedudukan, dan kehormatan dengan cara yang serbacepat dan mudah, tanpa melalui proses perjuangan yang panjang dan meletihkan. Padahal, jauh-jauh hari para founding father telah mengharamkan budaya instan dan menerabas itu, lantaran bertolak belakang dengan esensi dasar pendidikan, yaitu sebagai transfer nilai-nilai luhur dan susila.
Terlepas dari itu, dalam dunia pendidikan khususnya dalam kegiatan penulisan karya ilmiah, memang ada ketentuan yang acap kali menyeret penulis--lebih-lebih penulis pemula--menjadi plagiator. Yaitu adanya keharusan mengutip tulisan atau pendapat penulis lain, sebagai penguat sekaligus menjadi tolok ukur keabsahan karya ilmiah itu. Dengan kata lain, sebuah karya tulis tidak akan dianggap ilmiah jika tidak mengutip pendapat atau tulisan penulis lain. Entah disengaja atau karena lupa menuliskan sumber kutipan, seorang penulis bisa dianggap sebagai plagiator.
Istilah plagiasi/plagiarisme, sebagaimana didefinisikan dalam web Wikipedia, adalah penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah karangan dan pendapat sendiri. Plagiat dapat dianggap sebagai tindak pidana karena mencuri hak cipta orang lain. Plagiasi berbeda dengan mengutip; karena dalam mengutip sumber disebutkan secara akurat. Selain itu, teknik mengutip seperti membubuhkan sepasang tanda kutip di awal dan akhir teks kutipan, justru diharuskan dalam dunia akademik. Teknik mengutip yang lain adalah menuliskan kembali teks yang hendak dikutip dengan bahasa atau pemahaman sendiri. Teknik terakhir memang agak sulit, karena bisa jadi ide berbahasa si pengutip terserap habis oleh ide yang terdapat dalam kutipan.
Plagiarisme dalam dunia akademik dan keilmuan pada umumnya masuk dalam kategori haram. Itu karena plagiasi mencederai syarat sebuah karya tulis, yaitu kejujuran—yang merupakan basis sekaligus fondasi dasar bangun keilmuan. Jika fondasi sudah dimulai dengan ketidakjujuran, bisa dipastikan bangun keilmuan akan keropos bahkan roboh. Selain merugikan si pelaku, hilangnya kejujuran juga akan merampas hak intelektual yang merupakan hak mutlak dari penulis yang dikutip tulisannya.
Maka sudah tepat jika pelaku plagiarisme mendapat sanksi yang berat seperti kehilangan kesempatan menyelesaikan studi, masuk dalam daftar hitam yang bersifat permanen, pencabutan gelar akademik, dan sanksi penjara. Sanksi moral-sosial yang harus diterima sang plagiator juga tak kalah beratnya. Ia akan dicap negatif oleh masyarakat, dan ucapannya tidak akan dipercaya.
Kasus plagiarisme di Unpar dan Yogyakarta bukan hanya mencoreng nama kampus bersangkutan, melainkan juga dunia pendidikan pada umumnya. Tidak hanya plagiarisme merupakan tindakan tercela sekaligus 'haram', tetapi karena pelakunya seorang profesor. Menurut Kebamoto (2004), profesor atau guru besar itu bukan orang sembarangan. Jabatan guru besar menandakan kebesaran strata, keterbedaan (antara guru dan dosen), prestasi maksimum dalam karier dosen, dan kelebihan lainnya.
Djoko Santoso (2009) bahkan menegaskan bahwa guru besar merupakan ujung tombak keilmuan dan pembawa nama perguruan tinggi. Keberadaannya yang sangat minim—untuk mengatakan sedikit—menjadi bukti bahwa tidak semua orang bisa menjadi guru besar. Karena itu, seorang guru besar harus benar-benar menjadi sosok vital dalam memajukan ilmu pengetahuan. Atas dasar kehebatannya itu, guru besar harus senantiasa hadir di tengah-tengah kebuntuan dan membuka ruang-ruang transformatif secara terbuka bagi masyarakat.
Tindakan tegas
Masyarakat luas mungkin akan memaklumi jika plagiarisme itu dilakukan mahasiswa biasa. Tetapi jika pelakunya seorang profesor, tentu tidak bisa ditoleransi. Bukankah seorang profesor sudah paham betul bahwa menjiplak karya orang lain itu prilaku haram, tercela, dan harus dihindari, tetapi mengapa tetap dilakukan?
Maka, sudah sepatutnya jika presiden melalui Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), melakukan tindakan tegas kepada profesor yang terbukti melakukan plagiasi itu. Jika mahasiswa terbukti melakukan plagiasi dicopot dan dikeluarkan dari kampus, profesor harus diperlakukan sebanding, bahkan lebih berat lagi sanksinya. Seperti dicopot gelar guru besarnya, dikenai sanksi hukum, sampai tidak boleh mengajar selama beberapa waktu.
Kasus plagiarisme di Yogyakarta dan Unpar patut menjadi pelajaran kita bersama. Di satu sisi, kita memang mengapresiasi secara positif keputusan dan kejujuran sang profesor Unpar. Karena, begitu terbukti melakukan plagiasi, sang profesor dengan jujur mengakuinya di depan umum beserta mahasiswanya. Bahkan, dia telah memberikan surat pengunduran diri tepat ketika salah satu artikel yang ditulisnya dicurigai merupakan plagiat.
Di sisi lain, kita tetap menolak berbagai bentuk plagiarisme yang dilakukan sang profesor. Bagaimanapun, dunia pendidikan dan keilmuan pada umumnya dibangun di atas nilai-nilai luhur seperti kejujuran, keikhlasan, tanggung jawab, dan pengabdian kepada masyarakat. Jika salah satu bangun pendidikan itu dilanggar atau dicederai, jangan diharapkan lagi sisi positif dunia pendidikan bagi masyarakat.
Sudah saatnya semua pihak menentang dan memberantas berbagai praktik plagiarisme dalam dunia pendidikan dan keilmuan pada umumnya. Citra korps guru besar sebagai penyuluh masyarakat harus segera dikembalikan. Jika terlambat, tidak menutup kemungkinan lenyapnya kepercayaan masyarakat pada guru besar. Itu menandakan tamatnya dunia pendidikan kita.
Oleh Agus Wibowo Penulis buku Malpraktik Pendidikan (2008), Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
Opini Media Indonesia 23 Februari 2010
22 Februari 2010
» Home »
Media Indonesia » Setop Plagiarisme dalam Pendidikan
Setop Plagiarisme dalam Pendidikan
Thank You!