Banjir Bengawan Solo yang selalu terulang setiap tahun mempengaruhi cara pandang masyarakat, yaitu bahwa banjir merupakan sesuatu bencana yang tidak dapat dikendalikan. Sikap skeptis dan apatis menyebabkan rendahnya partisipasi masyarakat, yang dipengaruhi dari berbagai langkah upaya pengendalian selama ini. Penanganannya, diduga kurang menyentuh akar masalah banjir
Daerah Aliran Sungai (DAS) Solo dengan sungai utamanya Bengawan Solo mengalami masalah yang kompleks yang berpangkal pada tekanan penduduk yang sangat berat sehingga fungsi dan manfaat DAS menurun. Tercatat terjadi beberapa banjir besar akibat luapan Bengawan Solo yaitu tahun 1968, 1987, 1993 dan pada tahun 2007 banjir menggenangi delapan kabupaten antara lain Kota Solo, Kab Sragen, Ngawi, Madiun, Bojonegoro, Blora, Tuban dan Lamongan. Banjir tersebut menelan korban jiwa 67 orang, terbesar selama 40 tahun terakhir
Banjir disebabkan oleh faktor-faktor alam dan kegiatan manusia yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya alam yang menyebabkan menurunnya fungsi tata air (hidrologis) tata ekosistem DAS. Faktor alam terutama disebabkan karena curah hujan yang sangat tinggi dan kondisi bentuk DAS (geomorfologi) . Sedangkan faktor manusia disebabkan karena perubahan penggunaan lahan, sarana prasarana drainase yang belum baik serta kelembagaan pemerintah dan masyarakat yang belum mantap.
DAS unik
Sungai Bengawan Solo yang memiliki panjang kurang lebih 600 km yang memanjang dari hulu sungai di Wonogiri hingga ke hilir Kabupaten Gresik, merupakan sungai terpanjang di Pulau Jawa, luas tangkapan airnya kurang lebih 1.565.691 ha. Dari luas tersebut, areal penggunaan lain di wilayah DAS kurang lebih 75,52%, sedangkan sisanya adalah hutan negara, hanya sedikit kawasan DAS Solo sebagai hutan lindung (2,06%). Hutan lindung hanya terdapat di sekitar puncak Gunung Lawu, Gunung Wilis-Liman dan Gunung Merapi-Merbabu.
Karakter DAS Solo berbeda dibandingkan dengan karakter DAS di Jawa lainnya (Brantas, Citarum dll), karakter unik DAS Solo terletak pada bentuk yang memiliki lebih dari satu hulu DAS. Batas hulu DAS di sisi barat terdapat Gunung Merapi dan Merbabu yang mengalirkan air melalui anak sungai (baca sub-DAS) Pepe, Dengkeng, Brambang, Cemoro dll, sedangkan batas hulu DAS sisi timur terdapat puncak Gunung Wilis. Keunikan lainnya yang tidak ditemui di DAS lain yaitu adanya hulu Gunung Lawu yang terletak di tengah-tengah wilayah DAS dengan tinggi puncak 3.300 dpl. Batas DAS selatan dan utara terdapat formasi pegunungan Kendeng dan pegunungan Seribu.
Akar masalah
DAS sudah banyak yang berubah fungsi, padahal kebanyakan masyarakat awam memahami DAS hanya pada air sungai yang mengalir. Padahal sistem sungai adalah suatu hal yang sangat kompleks dan terkait erat serta dipengaruhi berbagai faktor suatu DAS. Karenanya, tidak mengherankan bila saat ini banyak kawasan resapan air di hulu DAS mengalami perubahan fungsi, misalnya menjadi permukiman dan usaha pertanian.
Ada beberapa hal yang disinyalir sebagai penyebabnya, di antaranya penjarahan dan perambahan hutan serta ketidaktaatan baik aparat pemerintah maupun masyarakat terhadap tata guna lahan. Kasus Puncak di Bogor merupakan contoh yang sangat baik untuk menggambarkan hal tersebut.
Problematika perubahan penutupan lahan yang tidak mengikuti kaidah pengelolaan DAS, misalnya, pada lahan-lahan yang terjal yang hanya diperbolehkan untuk vegetasi tetap, oleh masyarakat malah digunakan untuk pertanian tanaman semusim dengan pengolahan lahan sangat intensif. Apalagi saat digunakan untuk sawah maka yang akan terjadi adalah air kurang meresap ke dalam tanah ketika hujan turun, tetapi air langsung menjadi limpasan. Hal inilah yang akhirnya menyebabkan banjir.
Masalah lainnya adalah konflik kepentingan antara ekonomi dan kelestarian lingkungan, diperparah adanya paradigma bahwa kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan adalah suatu hal yang tidak mungkin dipertemukan. Keduanya merupakan trade-off yang harus diambil oleh pemerintah. Padahal baik ekonomi maupun kelestarian lingkungan, keduanya memiliki hubungan timbal balik yang sangat erat. Yang satu tidak dapat mengabaikan yang lain. Bahkan, keduanya haruslah dilakukan seiring sejalan.
Faktor lain yang tidak kalah hebatnya adalah pasar. Dalam masyarakat yang terbuka dan masuknya ekonomi uang dalam kehidupan masyarakat, faktor pasar sangat mempengaruhi perilaku masyarakat dalam mengusahakan lahannya. Petani akan mengusahakan lahannya untuk komoditas-komoditas yang menguntungkan. Hutan rakyat yang merupakan salah satu strategi pemerintah dalam rangka memperluas areal berhutan ternyata ikut terimbas oleh adanya pasar. Ketika harga kayu tinggi, masyarakat berbondong-bondong mengubah lahannya menjadi hutan rakyat. Namun, pada saat harga kayu jatuh petani beramai-ramai pula menebang tanaman kayunya.
Dengan demikian proses ke arah rehabilitasi dan konservasi lahan DAS Solo, bukanlah pekerjaan mudah. Lemahnya kelembagaan pemerintah dan masyarakat menjadi akar masalah DAS Solo.
Guna memperoleh keseimbangan antara lahan sebagai penopang hidup dan sistem perlindungan DAS maka keduanya harus sejalan untuk lestari. Solusi untuk keduanya diperlukan strategi pendekatan, dengan mempertimbangkan aspek biofisik dan sosial ekonomi masyarakat.
Contoh yang dapat dilakukan di antaranya pada daerah yang memiliki kelerengan tinggi di atas 40% di wilayah tanah vulkanis seperti lereng Lawu, Merapi Merbabu, Wilis dapat diarahkan vegetasi tetap dengan pemilihan jenis bukan kayu. Hal ini untuk menghindari terbukanya lahan akibat penebangan. Menyiasatinya, perlu tanaman buah-buahan untuk menyumbangkan dua kepentingan, ekonomi dan lingkungan. Cara ini sejalan dengan karakter biofisik DAS namun tetap mempertimbangkan aspek sosial ekonomi.
Tujuan itu dapat dilakukan dengan mendorong partisipasi masyarakat melalui saluran informasi budi daya tanaman buah dan pengelolaan lahan secara tepat, berisi teknik pemilihan jenis dan pemeliharaannya. - Oleh : Idi Bantara Alumnus Magister Pengelolaan DAS Geografi UGM, pegawai BPDAS Solo
Opini SoloPos 23 Februari 2010
22 Februari 2010
Memahami karakter banjir DAS Solo
Thank You!